Share

BAB 5 Tidak Perlu Khawatir

Setelah dirawat di rumah sakit, Roman menyerahkan sebagian tanggung jawabnya kepada Jiwan, mengambil alih semua aktivitas Grup Yuan.

Jiwan melambaikan tangannya seraya berkata, “Kau tenang saja, masih seperti ini jangan terlalu memikirkan pekerjaan. Semuanya berjalan dengan lancar.”

Jiwan tersenyum sambil menepuk punggung Roman. Roman pun tersenyum, meski terlihat kecut.

"Apa kata dokter mengenai penyakitmu? Dan apa tindakan selanjutnya?"

Saat ini Roman hanya termenung. Dia memandang mereka berdua untuk sesaat, kemudian berkata, "Saat ini hanya perlu menjalani. Mereka terus mengikuti perkembanganku. Jika lebih baik, maka bisa pulang dengan cepat."

Jiwan memandangnya, memberi semangat kepadanya.

Mereka berbicara sejenak sebelum memutuskan untuk pulang.

Saat membuka pintu, mereka papasan dengan Stella. Ketiganya berbicara sebentar sebelum mereka pergi, dan Stella menutup pintu ruangan kembali, lalu berjalan menuju ayahnya.

"Ayah belum tidur?" tanya Stella mendekat.

Roman menggeleng dan tersenyum. Dia mengambil ponselnya, mengirimkan pesan singkat, lalu duduk tegak.

Wajah Roman tampak sedikit pucat, meski dia tidak mengatakan bahwa dia merasa sakit.

"Ayah, apa tujuan kedatangan Paman Jiwan Apakah dia hanya mengunjungimu?" tanya Stella.

Roman meletakkan ponselnya dan memandang putrinya.

"Ya, dia mengunjungiku. Mereka juga membawa oleh-oleh. Jika kamu mau, ambillah," kata Roman.

Stella memandang meja tanpa berkata apa-apa. Dia kemudian melihat ayahnya yang hendak kembali berbaring, lalu segera membantunya.

"Stella, apakah kamu sudah memikirkan permintaan ayah?" Roman bertanya, membuat Stella membeku. Dia bingung bagaimana menjawabnya.

"Sebelum saya menjawab, bolehkah saya menanyakan sesuatu?" Stella bertanya, memperoleh anggukan dan persetujuan dari Roman.

"Yang aku tahu, ayah punya banyak teman. Bahkan dimanapun aku berada, semua orang pasti kenal dengan ayah. Apakah ayah tidak pernah punya musuh?" Stella menanyakan pertanyaan yang membuat Roman tertawa kecil, seolah dia tahu maksud dari pertanyaan putrinya.

Roman kemudian menjawab, "Nak, dalam hidup kita pasti membutuhkan bantuan orang lain. Bahkan jika kamu menjadi ratu, bisakah kamu sendirian? Tentu saja pasti ada orang di sekitar kita."

Stella hanya diam, menunggu jawaban lebih lanjut dari ayahnya.

Roman memandang Stella dengan serius, "Musuh tidak memberikan dampak positif. Hal tersebut justru akan berdampak buruk bagi kita. Sebisa mungkin, jangan memiliki musuh dalam hidup kita," ucapnya, menyampaikan pesan tersirat untuk putrinya.

Stella diam sejenak, merenungkan kata-kata itu. Dia mengangguk pelan, "Apakah bisa menjamin jika ayah tidak memiliki musuh? Bagaimana jika perkataan atau tindakan yang ayah buat pernah menyinggung perasaan orang lain? Dan dia membenci ayah dalam diam," tanyanya, wajahnya menjadi serius.

Roman memahami maksud putrinya. Dia menghela nafas, diam untuk sementara waktu, lalu berkata, "Tugas kita hanyalah berusaha menjadi orang baik, dan lebih baik dari hari kemarin. Selama kita tidak bermaksud menyinggung siapapun, sekalipun ada yang tersinggung, paling tidak kita melakukannya tanpa sengaja. Jadi, kita hanya perlu lebih berhati-hati. Selebihnya tidak perlu terlalu dipikirkan."

Posisi Roman di kota Berlin sangat tinggi, dan pengaruh yang dibuatnya cukup besar.

Mungkin ada beberapa yang tidak mengenal wajahnya, tapi siapa yang tidak mengenal namanya?

Dengan posisi seperti itu, tentu banyak yang iri padanya.

"Kenapa kamu tiba-tiba bertanya tentang hal ini?" tanya Roman saat Stella tersadar dari lamunannya.

Stella bingung menjelaskan, "Aku... Ah, aku hanya bertanya saja, ayah. Tidak ada hal penting," kata dia cepat.

Roman mengangguk, "Lalu, apakah kamu sudah mempertimbangkan soal pernikahanmu?" tanyanya.

Suasana langsung terhenti saat Roman mengatakan itu. Jantungnya seakan berhenti berdetak saat ia mendengarkan ini.

Wajah Stella penuh keraguan, bingung bagaimana harus menjawab.

"Ayah, aku tidak punya pacar untuk dinikahi. Bukankah ayahku melarangku berpacaran sampai aku menyelesaikan pendidikanku? Jadi, aku tidak memiliki pacar, artinya tidak bisa menikah sekarang," jelas Stella.

Roman melihat jam di dinding ruangan, menunjukkan pukul sepuluh malam. Dia kemudian menatap Stella, sedikit tersenyum.

"Jadi maksudmu, kamu mau menikah, hanya saja belum mempunyai calon suami?"

Stella memejamkan matanya dan mengangguk.

Ingatannya kembali saat dia berada di kafe bersama Livy.

Livy berkata, "Begini saja. Jika ayahmu menanyakan kesiapanmu. Maka jawab saja kamu siap namun belum mempunyai pacar."

Kening Stella berkerut, "Apakah itu bekerja Bagaimana jika ayahku mencarikannya untukku?"

Livy mendekatkan duduknya, dan menepuk pundak Stella dengan lembut.

"Saat ini ayahmu sedang sakit. Bagaimana mungkin dia bisa menemukan pasangan untukmu? Sekalipun dia mencari untukmu, dengan koneksi ayahmu yang baik, kamu seharusnya bisa menemukan suami yang mapan."

Stella hanya menyesap kopinya perlahan, sembari memikirkan saran dari Livy.

Kemudian dia menoleh ke arah Livy dan berkata, "Aku tidak mau jika seperti itu. Aku tidak kenal, maka tidak ada kata cinta. Dan pernikahan tanpa cinta, tak jauh berbeda dengan lagu tanpa melodi."

Livy menatapnya dengan kening berkerut, dia mengambil cangkir yang dipegang Stella dan menciuminya.

"Eh?" Stella bingung menatapnya.

Livy menyentuh kening Stella dan menatapnya dengan bingung, membuat Stella semakin bingung.

"Ada apa denganmu? Kamu tidak mabuk, kan?" tanya Livy.

Stella menggelengkan kepalanya, "Tentu tidak. Kaulah yang mabuk, bertingkah seperti ini."

Keduanya bertatapan sejenak, kemudian Livy mengambil gelasnya dan meminum kopinya.

"Aku pikir kamu sedang mabuk hingga membicarakan soal cinta. Padahal kamu sendiri tidak tahu apa itu cinta," kata Livy.

Ingatan itu bergema di benaknya, dan dia tersenyum sedikit saat memikirkan hal ini.

Orang waras mana yang tidak tahu tentang cinta?

Roman memandang Stella yang sedang tersenyum melamun, juga tersenyum.

"Jika belum memiliki pacar, kamu tidak perlu khawatir. Selama kamu mau, ayah bisa mencarikannya untukmu," ucap Roman, membuyarkan lamunan Stella.

Senyumnya memudar saat dia menatap ayahnya dengan bingung. Dia terlihat ingin mengatakan sesuatu, namun tak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya.

"Kamu tidak perlu khawatir jika ayah mencarikannya untukmu. Seorang ayah pasti akan memberikan yang terbaik untuk anaknya, sehingga tak perlu dipikirkan lagi. Masalah ini telah teratasi," kata Roman sambil mengangguk.

"Ayah, tapi…" Stella ingin menolak, namun roman melambaikan tangannya, "Sudah, jangan protes. Besok ayah akan memperkenalkannya padamu," katanya tegas.

Stella ingin mengatakan sesuatu, tetapi tatapan ayahnya sepertinya meyakinkannya akan keputusan ini.

Melihat kondisi ayahnya yang seperti ini dan kesempatan hidupnya yang tak lama lagi, Stella hanya bisa menghela nafas pasrah dan menganggukkan kepalanya dengan pelan.

Terkadang kita harus menerima bahwa ada momen di mana keputusan sudah diambil dan tidak bisa diubah lagi.

Mau tidak mau, Stella harus menerimanya. "Sudahlah, malam sudah semakin larut. Pergilah tidur dan beristirahat, masalah besok kita bicarakan lagi," kata Roman kepada putrinya.

Stella pun menganggukkan kepalanya dan segera berjalan menuju sofa yang ada di sebelah sana untuk tidur.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status