Share

BAB 4 Antara Permintaan Terakhir Dan Cita-cita

“Ya, itu yang ayah inginkan. Jika kamu berkenan, anggap saja ini sebagai permintaan terakhir ayah,” kata Roman dengan tulus.

Stella memandang ayahnya dalam diam, mencoba memahami maksud di balik permintaan tersebut.

Entah apa yang ada di dalam pikiran gadis itu. Dia tentu dalam keadaan bingung saat ini.

Setelah berpikir sejenak, Stella segera berkata, “Ayah, kenapa tiba-tiba kamu menanyakan hal ini? Ayah tahu aku tidak punya pacar, kan? Lagipula, aku masih muda. Masih ingin menghabiskan masa muda bersama ayah.”

Roman tersenyum dan menatap putrinya dengan tulus.

“Jika ayah masih berumur panjang, meski kamu ingin menikah di usia tiga puluhan, juga tidak masalah. Sayangnya, masa hidup ayah hampir habis. Ayah khawatir tidak bisa melihatmu menikah, dan tidak tahu apakah suamimu bisa menggantikan ayah untuk menjagamu,” kata Roman menjelaskan.

Roman diam sejenak dan melanjutkan, “Karena ayah tahu kalau kamu jauh dari saudara-saudaramu. Jadi menurutku, hanya calon suamimu yang akan mencintaimu sebesar cinta ayahmu padamu. Dengan cara ini, ayah bisa lebih tenang. Jadi pikirkan dan pertimbangkan baik-baik.”

Stella merenung sejenak, meresapi kata-kata ayahnya.

Dia menatap ayahnya dalam diam.

Penerimaan memang sulit, namun penolakan akan sangat menyakitkan.

Dia memikirkannya dan sulit menemukan jawaban untuk sementara waktu.

“Baiklah, aku akan memberitahu jawabannya nanti.”

Roman tersenyum dan mengangguk.

Apapun keputusan yang diambil putrinya, dia sepertinya siap menerimanya.

Di malam yang tenang, sebuah Mercedes-Benz A-Class meluncur dengan elegan melalui pusat kota.

Saat mencapai sebuah kafe, mobil itu berbelok dengan gesit dan dengan keahlian yang mengagumkan parkir di tempat yang sempurna.

Ketika pintu mobil terbuka, cahaya kecil dari kafe yang berdekatan memperlihatkan siluet seorang wanita misterius.

Dengan langkah yang penuh keyakinan, gadis itu muncul dari dalam mobil. Kakinya yang halus keluar dengan lembut, menyentuh tanah dengan keanggunan.

Dibungkus dalam sepatu hak tinggi yang menyempurnakan langkahnya, dia melangkah menuju pintu kafe dengan langkah yang anggun dan penuh pesona.

Sorot matanya yang tajam memancarkan kepercayaan diri, dan senyumnya yang lembut menambah keindahan malam itu.

"Stella," panggil dari gadis di ujung sana memecah keheningan malam itu. Dengan senyum hangat, Stella mendekatinya tanpa ragu.

"Tumben sekali mengajakku bertemu di malam seperti ini. Ada apa?" tanya Livy sambil menatapnya dengan rasa ingin tahu.

Stella duduk di seberangnya, menyeimbangkan tubuhnya dengan santai. "Aku ingin merepotkanmu dengan membagi keluh kesahku," ucapnya sambil menatap Livy dengan tatapan serius.

Gadis di seberangnya adalah Livy, sahabatnya sejak mereka duduk di sekolah tingkat kedua. Dalam tatapannya terpancar kehangatan persahabatan yang telah terjalin selama bertahun-tahun.

Livy memandang Stella dengan penuh kekhawatiran, mengerutkan keningnya. "Ada apa lagi, Stella? Masalah apa yang bisa menghampirimu?"

Sebagai nona keluarga Yuan, Stella tentu saja hidup dengan kenyamanan dan kelebihan yang melimpah. Setiap masalah yang muncul, selalu terselesaikan dengan mudah. Jadi apa yang membuatnya gelisah sekarang?

Saat itu, seorang pelayan mendekati mereka dengan ramah. Tanpa ragu, keduanya memesan kopi kesukaan mereka.

Setelah pergi, Stella menghela nafas, memperhatikan ekspresi Livy dengan penuh perasaan.

"Sebenarnya, aku sedang menghadapi masalah yang cukup rumit. Aku merasa seperti terjebak di antara tebing yang terjal. Rasanya sulit untuk menemukan keseimbangan saat ini."

Livy memandang Stella dengan serius. Selama berteman dengannya, Stella tidak pernah terlihat begitu bingung. Livy hampir tidak percaya jika Stella mengalami kesedihan dalam hidupnya hingga pada titik ini.

"Coba katakan padaku apa yang sebenarnya terjadi. Apakah kamu berselisih dengan saudara-saudaramu lagi?" tanya Livy, mencoba mencari tahu akar masalahnya.

Stella diam sejenak, mencerna pertanyaan Livy dengan hati-hati. Namun, setelah beberapa saat, dia menggelengkan kepalanya.

"Lebih dari itu. Ini tentang ayahku dan aku," akhirnya dia menjawab dengan suara yang agak bergetar.

Stella akhirnya mulai menceritakan masalahnya pada Livy. Dia membuka hatinya, menjelaskan konflik yang sedang terjadi di dalam keluarganya.

“Apa yang kau katakan? Menikah?" Livy terbelalak saat mendengar Stella mengucapkan kata-kata itu.

Stella hanya mengangguk pasrah sambil menghela nafas tak berdaya.

Tepat pada saat itu, seorang pelayan datang untuk mengantarkan minuman mereka. Setelah menyajikan, ia segera pergi meninggalkan mereka.

Livy memandang Stella dengan bingung. Dia menatapnya dengan alis yang meruncing.

"Stella, bukankah ayahmu yang melarangmu untuk berpacaran hingga menyelesaikan pendidikanmu? Tapi kenapa dia sekarang memintamu untuk menikah?"

Stella hanya melamun, membiarkan pikirannya melayang di udara. Setelah beberapa saat, ia menjawab, "Kata dokter, penyakit ayahku cukup serius. Dia mungkin tidak akan hidup lama. Jadi, sebagai permintaan terakhirnya, dia meminta aku untuk segera menikah."

Stella menatap ke atas, menahan air matanya agar tidak jatuh.

Livy menatap Stella tidak percaya.

Jadi, selama ini, Stella tidak fokus pada kuliah karena ini?

“Stella, kenapa kamu tidak pernah memberitahuku sebelumnya? Kenapa kamu baru memberitahuku sekarang? Jadi, kamu sering datang terlambat ke kelas dan tidak fokus selama pelajaran karena hal ini?”

Stella menganggukkan kepalanya, meminum sedikit kopinya, tubuhnya terasa lemas.

“Aku tidak punya waktu untuk menghubungimu. Yang ada di pikiranku hanya ayah dan penyakitnya. Bahkan tidur pun tidak tenang,” ujarnya.

Livy menganggukkan kepala, memahami kondisi sahabatnya.

Dari bertahun-tahun menjadi sahabat, baru kali ini Livy melihat Stella benar-benar sedih dan tampak kehilangan harapan.

Biasanya, gadis cantik itu bahagia dan ceria di setiap harinya, meskipun ada masalah yang menimpanya.

Namun malam ini sangat berbeda.

Stella menceritakan seluruh kejadian dan perasaannya, membuat situasi hatinya menjadi lebih tenang.

“Stella, jika aku berada di posisimu, aku akan memilih untuk memenuhi permintaan terakhir itu. Kita tidak pernah tahu kapan kita bisa membuat mereka merasa senang lagi,” saran Livy.

Stella memandangnya dengan serius sejenak. Dia kemudian kembali meminum kopinya, mencoba memikirkannya dengan baik.

Di sisi lain, di rumah sakit, Roman masih terjaga. Dia berbaring memandang ke atas, sepertinya sedang merenungkan sesuatu.

Tidak lama kemudian, ponsel di dekatnya berdering. Roman segera meraihnya dan menjawab panggilan itu.

"Bagaimana?" tanya Roman begitu panggilan terhubung.

"Saya sudah menemukan orang yang Anda cari, tuan," kata seseorang di ujung panggilan.

Roman tampak terbelalak dan tersenyum, seolah-olah melihat tumpukan uang kertas setinggi gunung di hadapannya.

"Benarkah? Apakah kamu mengambil gambarnya?" tanya Roman.

"Saya sedang mengirimkannya kepada Anda. Silakan Anda lihat," jawab suara dari ujung panggilan.

Roman tersenyum dan mengangguk. Dia menunggu foto masuk dan segera membukanya. Setelah melihatnya, dia memandangnya dengan serius.

"Benar, ini orang yang aku cari."

Tepat saat itu, pintu ruangan terbuka, dan Jiwan masuk ke dalam kamar bersama istrinya.

Melihat kedatangan mereka, Roman melirik sejenak dan menganggukkan kepalanya.

Dia segera berbicara dengan penelpon menggunakan nada lirih, "Bagus, tetap awasi dia dan tunggu instruksi selanjutnya. Aku akan menghubungimu lagi nanti."

Roman mengakhiri panggilan dan Jiwan mendekat sambil bertanya, "Kakak tertua, bagaimana kondisimu?"

Roman tersenyum kepadanya, “Sudah lebih baik.”

Istri Jiwan meletakkan oleh-oleh yang dibawanya ke atas meja. "Apa kau sendirian? Dimana Stella? Kenapa dia tidak menemanimu?”

Roman mencoba untuk bangkit dengan bantuan Jiwan. Dia duduk dan bersandar pada bantal. “Stella sedang keluar sebentar. Mungkin dia akan kembali tak lama lagi,” katanya.

Dia memandang Jiwan dan bertanya, “Bagaimana dengan Grup Yuan?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status