Di hari berikutnya, saat siang tiba, Stella dengan penuh kasih menyuapi ayahnya dengan makanan yang disediakan oleh rumah sakit.
Roman terlihat makan dengan lahap, seolah-olah tidak merasakan rasa sakit sedikit pun. Meskipun terus dipantau secara intensif oleh dokter dan perawat, keberadaannya di kelas VIP memberinya perlakuan istimewa. Stella meletakkan mangkuk itu setelah ayahnya selesai makan, lalu membawakan air minum untuknya. Roman minum dengan perlahan, dan kemudian memberikan gelas itu kembali pada putrinya. "Stella, apakah kamu tidak keberatan untuk menikah dalam waktu dekat dan menjalani kehidupan berumah tangga?" tanya Roman sambil menatapnya. Stella duduk di tepi ranjang, memikirkan pertanyaan itu dengan bingung. Jika dia berbicara jujur, dan jika ayahnya masih memiliki waktu yang panjang, tentu saja dia akan sangat keberatan dengan permintaan itu. Baginya, hidupnya saat ini penuh damai dan kebahagiaan, mengapa dia harus menikah dan menjadi istri orang? "Ini adalah permintaan terakhir Ayah, jadi aku harus menyetujuinya," ucap Stella dengan keraguan. "Tapi bagaimana dengan Ayah? Aku masih ingin merawat Ayah, bahkan setelah menikah." Saat menikah, tentu ada suami yang akan hadir dalam kehidupannya. Dan Stella khawatir bahwa tidak akan ada yang merawat ayahnya dengan tulus seperti yang dia lakukan. Meskipun ada perawat khusus, namun perawatan dari seorang anak pasti akan lebih tulus. Roman tersenyum, "Kamu tidak perlu khawatir. Meskipun kamu sudah menikah, kamu tetap bisa tinggal di rumah bersama Ayah. Kamu bisa merawat Ayah hingga akhir hayat." Stella hanya menatapnya dalam diam. Ada perasaan yang rumit di hatinya, yang sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Hanya mereka yang mengalami situasi seperti ini yang bisa benar-benar memahami perasaannya. "Jangan begitu, Ayah," ucap Stella dengan suara lembut, matanya penuh dengan kepedihan. "Aku tidak tahan melihatmu seperti ini. Aku akan menuruti keinginan Ayah untuk melihatku menikah, tapi Ayah harus sembuh dulu." Roman memandangnya dengan tatapan penuh kasih. Dia menganggukkan kepalanya dengan lembut, tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Tidak lama kemudian, seorang perawat memasuki ruangan dengan langkah lembut. "Nona Stella, dokter memanggil Anda," ujarnya dengan suara lembut. Stella mengangguk, mencoba menahan rasa gelisahnya. Dia berdiri dan mengikuti perawat itu keluar dari ruangan. Sementara itu, Roman mengeluarkan ponselnya dan menelepon seseorang. "Di mana kamu?" tanyanya dengan suara terburu-buru. "Saya sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit, Tuan. Bersamanya," jawab suara di ujung panggilan. Roman menganggukkan kepalanya dalam pengertian, berbicara sebentar, lalu mengakhiri panggilan itu. Ia lalu merebahkan tubuhnya dengan tenang, seolah-olah beban terbesar dalam hidupnya telah terangkat. "Semoga saja apa yang telah menghantui pikiranku selama ini tidak akan terjadi," gumam Roman pada dirinya sendiri, mengisyaratkan ketegangan yang ia rasakan. Tak lama kemudian, pintu terbuka dan Stella masuk dengan ekspresi lesu. Langkahnya terasa berat, dan tubuhnya terlihat sangat lemah. Wajahnya pucat, bahkan lebih pucat dari ayahnya, meskipun begitu, kecantikannya tetap bersinar. "Apa yang terjadi, Nak? Kamu terlihat sedih," tanya Roman dengan khawatir. Stella duduk di tepi ranjang dengan pandangan kosong, lalu menggelengkan kepala pelan. Dari ekspresi wajahnya, Roman bisa merasakan kegelisahannya. Roman mengulurkan tangannya dan meraih tangan putrinya dengan erat. "Jika ada masalah, katakan saja pada Ayah. Jangan takut bahwa Ayah akan sedih. Yang penting, Ayah ingin tahu agar bisa membantumu." Stella berusaha untuk tersenyum, tapi ekspresinya masih terlihat tegang. "Tidak, Ayah. Dokter hanya mengatakan bahwa Anda harus tetap dirawat hingga sembuh. Takutnya jika pulang, dokter akan sulit memantau perkembangan Anda," ujarnya dengan suara serak. Roman berpikir sejenak, karena sebelumnya ia telah meminta dokter untuk menambah dosis obatnya agar ia bisa lebih cepat pulang atau bahkan mencoba berobat jalan. Namun, dokter melarangnya, sehingga Roman hanya bisa patuh pada anjuran dokter. "Ya sudah, tidak apa-apa. Ayah juga tidak keberatan untuk tetap di sini meskipun acara pernikahanmu berlangsung. Lagipula, kita bisa melakukan video call. Itu sama saja," kata Roman dengan tulus, mencoba menenangkan putrinya. Setelah ucapan itu, pintu diketuk oleh seseorang. Percakapan mereka terhenti, dan keduanya menoleh ke arah pintu secara bersamaan. Saat itu juga, seorang pria berusia tiga puluhan tahun tahun masuk ke dalam ruangan dengan pakaian formal yang layaknya seorang pejabat. Stella pasti mengenalnya, dia adalah Dani, orang kepercayaan ayahnya. Namun, yang membuatnya bingung adalah Dani tidak datang sendirian kali ini. Dia ditemani oleh seorang pria berusia dua puluhan tahun dengan pakaian sederhana dan wajah yang tampak datar. Stella merasa jijik melihatnya. "Astaga, mengapa Dani membawa pengemis ke sini? Atau apakah dia tidak sadar bahwa dia diikuti oleh pengemis dari tempat parkir?" tanya Stella dalam hati, keheranan melihat kedatangan tak terduga ini. “Tuan Roman, bagaimana kondisimu?” tanya Dani dengan penuh perhatian. Roman menganggukkan kepalanya. “Kondisiku stabil. Selama masih bisa berbicara, itu tidak terlalu buruk.” Dani mengangguk, lalu meletakkan sesuatu di atas meja. Roman menatap Dani, dan segera mengerti pesan yang disampaikan olehnya. Seorang pemuda kemudian mendekati Roman dengan langkah hati-hati. “Halo, Tuan Roman, saya Aksa,” sapa pemuda itu dengan ramah. Roman menganggukkan kepalanya sambil tersenyum lembut. Namun, Stella justru menatap Aksa dengan ekspresi jijik. Meskipun Aksa terlihat tampan, dari pakaiannya Stella bisa menebak bahwa dia adalah seorang yang kurang mampu. Bagi Stella, tidak masalah jika seseorang miskin, asalkan tidak merepotkan orang lain. Namun, jika seseorang miskin dan menjadi beban bagi orang lain, itu yang sangat menyebalkan baginya. Roman berusaha untuk bangkit, dan Aksa dengan cepat membantunya. "Aksa, kamu masih ingat aku?" tanya Roman sambil menatapnya. Aksa mengangguk, "Tentu saja, saya tidak mungkin melupakan seseorang yang menyelamatkan hidup saya. Selain itu, Anda juga bos saya. Sungguh tidak pantas jika saya tidak mengenal atasan saya sendiri. Ditambah dengan reputasi yang Anda miliki, sungguh bodoh jika saya tidak mengenali Anda sama sekali." Roman tersenyum mendengar hal itu. Kata-kata Aksa bukanlah sekadar omong kosong, melainkan fakta yang jelas. Tidak dapat disangkal bahwa Roman memiliki reputasi yang besar. Roman tersenyum dan mengangguk, "Syukurlah kalau kamu masih mengenaliku. Jadi tidak perlu berkenalan lagi." Stella yang mendengarkan percakapan mereka terkejut. Dia tidak menyangka kalau ayahnya cukup dekat dengan Aksa. "Apakah kamu masih bekerja di tempat yang kuberikan padamu?" tanya Roman. Aksa menjawab, "Masih Tuan. Saya mandor di sana." Stella yang mendengarnya, semakin jijik saat memandangnya. "Ah, ternyata hanya mandor. Kedatangannya, pasti ingin mengeluh soal gaji," cibir Stella dalam hatinya. Dia melipat kedua tangannya di depan dadanya, menatap Aksa dengan jijik. Roman menoleh ke arah Stella, "Nak, tolong bawa kuris itu ke sini." Stella memandang kursi di sebelahnya, lalu membawanya. "Aksa, ini putriku. Namanya Stella. Cantik, bukan?" tanya Roman sambil tersenyum, memperkenalkan Stella pada Aksa. Aksa melihat Stella dan menganggukkan kepalanya. Sementara Stella, dengan kening berkerut, hanya menatap ayahnya. Namun, Stella tidak mengatakan apapun. Dia langsung berjalan pergi menuju Dani yang masih duduk di sofa. "Siapa dia? Ayah sedang sakit, kamu malah menambah masalah dengan membawa orang yang akan meminta kenaikan gaji," Stella menggerutu pada Dani sambil duduk di sofa bersamanya. Dani hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya tak berdaya. Stella memang seperti itu, sangat dingin pada pria yang tidak dikenalnya. "Dia tidak datang untuk meminta kenaikan gaji, Nona. Saya yang membawanya kesini atas perintah Tuan," jelas Dani. Stella tentu saja terkejut mendengar hal ini. "Ayah yang mengundangnya? Bagaimana bisa?" tanya Stella dengan bingung.Saat itu juga, Roman memanggilnya, "Stella, kemarilah." Stella menoleh ke arah ayahnya. Dia sebenarnya ingin menunggu jawaban dari Dani, namun pria itu hanya tersenyum seolah tidak ingin memberikan jawaban untuknya. Stella pun menatap Dani, memutar bola matanya dengan malas, lalu berjalan ke arah ayahnya. "Apa ada yang bisa saya bantu, Ayah?" "Stella, kenapa kamu buru-buru pergi? Kenalanlah dengan Aksa," kata Roman. Stella mendesah, "Untuk apa, Ayah? Jangan memaksa aku untuk melakukan hal-hal yang tidak terlalu penting." Stella berputar dan hendak berjalan pergi lagi, namun Roman memanggilnya lagi, membuatnya berhenti dan membalikkan tubuhnya memandang ayahnya. "Stella, bukankah Ayah baru saja menyuruhmu bersikap baik tadi malam? Mengapa kamu ingin mencari musuh sekarang?" tanya Roman. Stella mengerutkan keningnya, "Ayah, aku hanya tidak ingin mengenalnya. Kami tidak saling mengenal, bagaimana mungkin menjadi musuh?" Roman menatap Stella dalam diam. Namun Stella t
Beberapa hari kemudian, rumah besar Roman dipenuhi oleh beberapa orang yang sibuk menyiapkan acara pernikahan Stella. Mereka adalah tenaga profesional yang ditunjuk untuk menangani dekorasi dan berbagai keperluan lainnya untuk acara itu.Di dalam kamar Stella, gadis itu duduk di tepi tempat tidur sambil merenung. Wajahnya tampak sedih dan seperti tidak rela. Sementara itu, Livy berjalan dari jendela ke arah Stella, lalu duduk di sampingnya."Banyak pria yang mendekatimu dengan status sosial yang berbeda-beda. Mereka tampan dan kaya, tapi kamu menolaknya. Namun, bagaimana mungkin ayahmu mencarikan suami untukmu seorang mandor?" tanya Livy.Stella memang memiliki standar yang tinggi. Tapi mengapa ayahnya justru mencarikan calon suami yang statusnya lebih rendah dari dirinya?Stella menggelengkan kepalanya, "Aku juga tidak tahu kenapa aku dijodohkan dengannya. Padahal di luar sana masih banyak lagi pria tampan dan kaya raya. Tapi
Waktu berlalu sangat lambat, orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengan Roman masih menunggu di sana. Stella sangat lelah karena menangis, hingga akhirnya tertidur. Salah satu pria di sana memutuskan untuk mengambil tindakan. "Bawa istrimu pulang. Biar kami yang menunggu Tuan Roman di sini. Nona Stella terlihat sangat lelah," ujarnya dengan lembut kepada Aksa. Aksa memandang Stella yang sedang tertidur dan mengangguk setuju. Dia hendak menggendong Stella untuk membawanya pulang, namun mata Stella langsung terbuka dan menatap tajam ke arah Aksa. "Apa yang akan kamu lakukan? Jangan manfaatkan kesempatan ini untuk menyentuhku," kata Stella dengan nada kasar, membuat Aksa terdiam. Pria yang meminta Aksa mengantar Stella pulang segera bersuara, mencoba menenangkan situasi. "Nona Stella, sepertinya kamu lelah sekali. Pulanglah dan istirahatlah. Biarkan kami
Keesokan harinya, rumah Roman yang kemarin pagi dipenuhi banyak orang, kini semakin ramai oleh kehadiran orang-orang penting di kota Berlin. Namun kali ini, mereka datang bukan untuk mengucapkan selamat kepada Stella dan Aksa, melainkan untuk menghadiri upacara duka atas meninggalnya Roman Yuan. Stella berdiri di dekat peti mati ayahnya, air mata mengalir deras di wajahnya. Suara pelan dari tamu yang berbicara terdengar seperti gumaman jauh di telinganya, semua terasa seperti mimpi buruk yang tak berujung. Dia berlutut di samping peti mati ayahnya, memegang erat pinggirannya. "Ayah, jangan tinggalkan aku. Aku tak mau hidup sendiri," bisiknya dengan suara bergetar. "Aku tidak tahu dengan siapa aku akan berada di dunia ini jika kamu pergi." Tangisannya pecah, menggema di ruangan yang penuh sesak. Air matanya mengalir tanpa henti. Setiap kenangan bersama ayahnya terlintas di benaknya, menambah beban berat yang ia rasakan.
Di rumah Roman, tidak ada seorang pun di sana setelah semua tamu yang melayat sudah pulang dan menjalankan aktivitas masing-masing. Suasana yang semula ramai dan penuh dengan kehadiran banyak orang, tiba-tiba berubah menjadi sunyi. Sebuah mobil Mercedes Benz A-Class melaju masuk dan berhenti di depan rumah. Pintu belakang terbuka, lalu Stella dan Livy turun dari mobil itu dan berjalan menuju rumah. "Halaman rumah yang kemarin dan tadi masih sangat ramai, dalam sekejap menjadi sepi," kata Stella sambil memandang sekeliling halaman yang kosong, hanya dihiasi oleh dekorasi pernikahan, meja, dan bunga yang masih tersisa. Livy mengangguk, memahami perasaan Stella, lalu mereka berdua memasuki rumah itu. "Livy, bisakah kamu tinggal di sini bersamaku, menemaniku? Rumah sebesar ini, tidak mungkin aku di sini sendirian," kata Stella, memandang Livy dengan wajah penuh harap.
Tak lama kemudian, Aksa datang membawa nampan yang berisi dua piring, disusul bibi yang sedang bertugas di dapur membawakan dua gelas jus jeruk di atas nampan juga. Mereka menyajikan makanan dan minuman dengan sangat hati-hati, seolah-olah sedang berada di restoran mewah. Namun, alis Stella berkerut saat melihat pemandangan ini. "Aksa, apa aku bilang padamu untuk meminta bantuan bibi?" Stella bertanya dengan cemberut, menunjukkan ketidakpuasannya. Aksa hendak menjawab, namun bibi yang mengantarkan jus itu dengan cepat berkata, “Ini inisiatif saya sendiri, Nona. Tuan Aksa ingin melakukannya sendiri, tetapi Bibi kasihan padanya. Jadi saya membantunya.” Tatapan Stella tertuju pada bibi itu, dan dengan nada tidak senang, dia berkata, "Lain kali, kalau aku hanya menyuruh Aksa, maka yang lain jangan membantunya. Bibi, sampaikan hal ini pada pelayan yang lain agar mereka mengerti." Stella mengatakan ini dengan ekspresi wajah teg
"Nak, dunia ini adalah tempat yang kompetitif. Jika kamu berada di bawah, kamu akan terinjak. Namun jika kamu berada di atas, maka kamu akan dirobohkan." “Hukum dan aturan di dunia ini, siapapun yang pintar dan kuat, dialah pemimpinnya. Jadi jika hidupmu ingin stabil dan mendominasi, jadilah pintar dan kuat.” Kata-kata Roman menggantung di udara, memberi kesan mendalam tentang kenyataan hidup yang keras. Dia melanjutkan dengan nada yang lebih tenang, "Sedangkan yang bisa kita lakukan hanyalah menjadikan diri kita terbiasa dengan posisi yang kita miliki." Stella menatap ayahnya dengan mata penuh pertanyaan, bibirnya bergetar saat mencoba memahami kenyataan pahit ini. Kemudian, dengan hati-hati, dia menyentuh tangan kekar yang sedang membelai pipinya, mencari kepastian dalam sentuhan yang familiar. “Tapi apakah Ayah tahu siapa yang meracunimu?” Roman menggelengkan kepalanya perlahan, sebuah kegetiran terpancar dar
Setelah makan malam, Aksa berdiri dan berjalan pergi meninggalkan Stella sendirian di ruang makan. Stella yang melihat hal itu segera menghabiskan sisa susunya dengan cepat dan berdiri untuk mengejarnya. "Aksa, tunggu sebentar," panggil Stella sambil berlari menuju ruang tamu. Aksa berbalik dan menatap Stella. Dia memasukkan tangannya ke dalam saku, menatapnya dalam diam. “Aku ingin bicara denganmu, ikut aku,” kata Stella sambil berjalan ke luar. Aksa tak punya pilihan selain mengikutinya. Mereka berjalan keluar rumah menuju halaman depan, di mana Stella duduk di kursi taman. Aksa duduk di seberangnya. "Kamu mengajakku ke sini hanya untuk berbicara? Apakah ada hal penting?" tanya Aksa sambil melihat sekeliling. Tidak ada seorang pun di taman kecuali mereka berdua. "Ada sesuatu yang penting atau tidak, apa urusanmu? Kalau kamu bisa ngobrol denganku