Share

BAB 2 Racun?

Pukul sepuluh malam, ketika ruangan telah sepi dan hanya menyisakan Stella dan ayahnya, suasana menjadi semakin hening.

Dengan cemas, Stella bertanya padanya, "Ayah, apakah kamu benar-benar sudah lebih baik sekarang?"

Roman memandang wajah putrinya dengan senyuman penuh makna. "Kenapa kamu begitu khawatir pada ayah? Apakah kamu benar-benar takut kehilangan ayah?"

Stella mengangguk, menunjukkan betapa besar kekhawatirannya.

"Dalam hidup ini, hanya ayah yang aku miliki. Tentu saja, aku tidak ingin kehilanganmu," ucap Stella dengan ekspresi sedih yang terpancar jelas dari wajahnya.

Roman meraih tangan putrinya dengan penuh kasih sayang. Meskipun terlihat sedih, Roman mencoba menghilangkan kesedihan dengan menghela nafas.

"Dunia ini penuh dengan misteri, Nak. Takdir seseorang tidak bisa diprediksi atau dikendalikan, termasuk takdir ayah," ujar Roman dengan serius.

Stella menatapnya dengan kening berkerut, bertanya-tanya tentang maksud dari perkataan ayahnya.

Roman menghela nafas panjang, kesedihan semakin terlihat jelas di wajahnya.

"Ayah juga khawatir padamu, Ayah tidak ingin berada jauh darimu," kata Roman dengan penuh perasaan.

Kata-kata itu membuat Stella terdiam dalam pemikirannya, merenungkan arti dari kata-kata ayahnya.

"Aku tidak akan pergi, ayah. Aku akan tetap bersama ayah di sini," kata Stella dengan tegas.

Roman menggeleng pelan, ekspresinya membuat Stella bingung. Tatapannya kosong, tapi bibirnya tetap bergerak, "Bukan kamu yang pergi. Tapi ayah yang akan pergi."

"Maksud ayah?" Stella menatap ayahnya dengan serius, kerutan di dahinya semakin jelas.

Roman mengangguk perlahan, matanya bertemu dengan mata Stella, "Aku tidak tahu sampai kapan bisa bertahan. Dokter mengatakan penyakitku sulit untuk disembuhkan."

Kata-kata itu membuat Stella membeku. Wajahnya pucat seketika, ekspresinya mencerminkan kekhawatiran yang mendalam.

"Apa yang sedang ayah katakan? Bukankah ayah tadi mengatakan bahwa kondisimu sudah membaik?"

Stella yang sebelumnya tenang, kini kembali dilanda kekhawatiran.

Dia tidak bisa membayangkan kehilangan ayahnya, dan perasaan khawatir itu semakin merasuk dalam dirinya.

Roman mengangguk pelan, suaranya dipenuhi keraguan, "Sejujurnya, ayah tidak bermaksud membuatmu khawatir, tapi aku khawatir menyembunyikan kebenaran akan membuatmu membenci ayah. Lebih baik aku mengatakan yang sebenarnya padamu, daripada mengecewakanmu dengan kebohongan."

Mata Stella memerah, air mata tak tertahankan mulai mengalir membasahi pipinya.

Meskipun tak mengucapkan sepatah kata pun, bibirnya bergetar menahan tangis yang ingin pecah.

Roman melanjutkan, "Ayah ingin melihatmu tumbuh menjadi wanita dewasa dan mandiri, agar tidak tergantung pada ayah. Namun, umurku tidak lama lagi."

Air mata juga mengalir dari mata Roman saat ia mengatakan ini. Kepeduliannya terhadap Stella begitu tulus hingga tak mampu ditahan.

Berpisah dengan orang yang dicintainya memang menyedihkan, dan Roman tidak mampu menahan kesedihannya.

"Ayah tidak boleh mengatakan hal itu. Hidup ayah masih panjang. Aku tidak ingin ayah pergi!" Stella menggelengkan kepala dengan tegas, air mata tak terbendung mengalir deras di pipinya.

Roman juga semakin tak terkendali, tangisnya bergabung dengan tangis Stella.

Dengan erat, Stella memeluk ayahnya.

"Ayah tidak boleh pergi. Harus di sini bersamaku selamanya," desisnya di antara isak tangis.

Roman mengangguk, tapi dia juga menggelengkan kepalanya.

Benar-benar bingung dengan apa yang harus dia lakukan sekarang.

Orang yang tidak merasakan, tidak akan tahu apa yang dirasakan Roman.

"Iya, aku sangat ingin tinggal bersamamu, putriku tercinta. Hanya saja aku tidak bisa," ucap Roman sambil menepuk lembut punggung Stella, air mata mengalir tak terbendung dari matanya.

Stella berusaha memejamkan matanya untuk menahan air matanya, tapi rasa sesak di dadanya membuatnya tak bisa menahan tangisannya.

Seperti dadanya sedang dipukul oleh palu yang berat, membuatnya sulit bernafas karena kesedihan yang begitu mendalam.

Roman menenangkan Stella dengan lembut, mengusap air mata yang mengalir di pipinya. Dia kemudian mengangkat Stella yang masih memeluknya.

"Jangan bersedih, putri cantik ayah tidak boleh menangis," ucap Roman sambil menyeka air mata Stella, mencoba menenangkan gadis itu dari kesedihannya.

"Kenapa, kenapa ayah tidak berkata jujur sejak awal? Kenapa ayah mencoba untuk membohongiku?" tanya Stella tajam, tatapannya menembus hati Roman.

Pria itu menggenggam tangan putrinya dengan erat, mencoba menjelaskan, "Ayah sebenarnya ingin menyembunyikan ini darimu. Namun, ayah tak sanggup membohongi putri tercinta. Ayah hanya ingin pergi tanpa membawa kebencian darimu. Itu saja yang ayah inginkan."

Stella terdiam, tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun di tengah kebingungannya.

"Jika memang kematianku sudah dekat, ayah hanya meminta satu hal darimu," lanjut Roman sambil memandang langit-langit, menempatkan kedua tangannya di atas dadanya.

Stella meraih tangan ayahnya dan menggelengkan kepalanya, "Sudah, jangan katakan seperti itu lagi. Ayah harus sembuh!"

Roman pun mengangguk sambil tersenyum kepada putrinya.

Di rumah Martin, suasana hangat memenuhi ruang tamu saat mereka berkumpul.

Dua botol anggur membawa semangat, dan setiap gelas yang diisi penuh menjadi saksi keceriaan mereka.

Suara tawa dan percakapan riang mengisi malam mereka dengan kebahagiaan.

"Penyakit kakak tertua semakin parah. Peluang untuk sembuh juga kecil. Kita harus mulai membahas masalah ini," ucap Martin kepada mereka.

Mereka semua menganggukkan kepalanya sambil menuangkan anggur yang ada.

"Ya, dia mengurus sembilan puluh persen bisnis keluarga Yuan. Ini adalah kesempatan kita untuk mengambil alih kendali darinya," ucap Jiwan.

Andre meletakkan gelasnya di atas meja dan duduk dengan tegak. Matanya sudah memerah, tampaknya dia sudah sangat mabuk kali ini.

"Kita harus bertindak cepat. Jika memungkinkan, kita bisa mendapatkan semua harta keluarga Yuan sebelum dia benar-benar meninggal. Ah, senang sekali menjadi bos di sebuah perusahaan milik keluarga Yuan," katanya sambil tertawa.

"Mari kita minum untuk kondisi Kakak tertua yang semakin memburuk!" kata Andre sambil tertawa.

Mereka tertawa bahagia dan bersulang untuk merayakan momen yang telah mereka tunggu-tunggu.

****

Beberapa hari berlalu, rumah sakit yang sebelumnya ramai kini masih dipenuhi dengan aktivitas yang sibuk. Dokter, perawat, dan pengunjung keluar masuk ruangan seperti semut yang bergerak di sarangnya.

Aroma antibiotik khas rumah sakit menyelimuti udara di sekitar.

Di ruangan tempat Roman dirawat, dokter dan perawat dengan serius memeriksanya.

Stella berdiri di depan jendela di luar ruangan, melihat ayahnya yang lemah di tengah perawatan intensif dari tim medis.

Dalam hati, ia berbisik, "Ayah, kamu harus sembuh. Kamu harus sembuh, tidak boleh gagal!"

Dokter dengan serius memeriksa kondisi Roman, didampingi oleh perawat-perawat yang siap membantunya dengan penuh perhatian.

Setelah beberapa saat, dokter dan para perawat keluar dari ruangan Roman. Stella menunggu di depan pintu dengan ekspresi khawatir yang tak tersembunyi.

“Dokter, bagaimana kondisi ayah saya?” tanyanya cemas.

Dokter melepaskan maskernya dan menatap Stella, "Nona Yuan, ada hal yang perlu saya bicarakan dengan Anda secara pribadi. Silakan ikuti saya ke ruangan."

Stella tampak ragu sejenak, namun akhirnya menganggukkan kepala dan mengikuti dokter ke ruangannya.

Di dalam ruangan, mereka duduk di meja berhadapan.

Seorang perawat datang dan menyerahkan sebuah map, yang di letakkan di atas meja.

Dokter itu kemudian berbicara, "Kondisi ayah Anda semakin memburuk. Penyakit yang sebelumnya saya duga sebagai masalah liver, ternyata adalah akibat racun yang menyebar di tubuhnya."

Dokter mengambil folder terdekat dan membukanya.

Stella tentu saja terkejut dengan perkataan dokter itu.

Dia menatapnya dengan serius, "Apa? Racun?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status