Di sebuah rumah sakit di kota Berlin, seorang pria berusia empat puluh tahun, yang merupakan pemimpin dari keluarga Yuan, sebuah keluarga berpengaruh di kota itu, terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit.
Dia adalah Roman Yuan, figur utama dalam keluarga Yuan saat ini. Meskipun sudah dirawat selama beberapa hari, Roman masih belum pulih dan tetap tidak sadar. Di dalam ruangan itu, banyak orang berdiri dengan wajah sedih, memandang Roman dari kejauhan. Seorang gadis cantik berusia dua puluhan tahun duduk di sampingnya, terlihat khawatir. Kekhawatiran itu dirasakan oleh semua orang yang hadir, tidak dapat disembunyikan lagi. Dengan hati yang penuh kekhawatiran, gadis itu berbisik dalam hatinya, "Ayah, tolong bangunlah. Aku tidak tahan melihatmu seperti ini terus-menerus. Aku berharap kamu segera sembuh," ucapnya sambil menggenggam erat tangan ayahnya. Sejak hari pertama di rumah sakit, gadis itu tidak pernah meninggalkan kursinya, selalu berada di samping ayahnya seolah enggan berpisah darinya. Di belakang, anggota keluarga Yuan menatap ke arah ranjang dengan serius, namun tidak ada yang mendekat. Meskipun mereka memiliki hubungan darah, terlihat ada jarak yang terasa di antara mereka, tanpa diketahui apa sebabnya. Martin Yuan berkata dengan ekspresi serius, "Penyakit Kakak Pertama semakin parah. Dokter bahkan mengatakan bahwa masa depannya sulit diprediksi. Aku khawatir Stella akan sangat terpukul jika sesuatu terjadi padanya." Semua anggota keluarga mengangguk setuju dengan pernyataan Martin. Stella Yuan yang tumbuh tanpa kehadiran ibu, hanya mengalami kasih sayang dari sang ayah. Ibu Stella meninggal setelah melahirkannya, sehingga kehadiran seorang ibu tidak pernah ia rasakan dalam hidupnya. Jika ayahnya meninggal, Stella akan benar-benar sendirian tanpa sosok yang tersisa kecuali keluarga Yuan. Jiwan Yuan bertanya, "Bagaimana dengan bisnis keluarga Yuan kita? Sepertinya tidak mungkin, kan, berjalan tanpa adanya penanggung jawab?" Andre menyela tanpa memberi jeda, "Kita akan membicarakannya nanti saat kita sudah berada di rumah. Membahasnya sekarang mungkin tidak tepat." Semua anggota keluarga mengangguk, tidak ada yang berbicara lagi. Di samping itu, Stella tetap menggenggam erat tangan ayahnya sambil mengusapnya dengan lembut. Tiba-tiba, tangan yang digenggamnya bergerak, membuat Stella terkejut. "Ayah?" panggilnya dengan suara pelan dan penuh harapan. Stella menatap mata ayahnya yang masih tertutup. "Ayah, apakah kamu sudah bangun?" keceriaan terpancar dari wajah Stella. Siapa yang tidak senang melihat ayahnya yang sakit bisa sembuh? Stella tentu saja sangat senang melihat hal ini. Dia mencoba membangunkan ayahnya dengan memanggilnya beberapa kali, namun mata ayahnya tetap tertutup, seolah menolak untuk terbuka. Stella terkejut melihat reaksi ayahnya yang tidak sesuai dengan harapannya. Dengan kekhawatiran yang semakin memuncak, Stella terus memanggil ayahnya dengan penuh kecemasan, "Ayah, ada apa? Katakan sesuatu!!" Namun, ayahnya tetap tidak merespon, matanya terus tertutup dengan kuat. Stella takut perkiraan dokter sebelumnya akan menjadi kenyataan. "Ayah, tolong bangun!!" Stella mengguncang tubuh ayahnya sambil terus memanggil dengan khawatir. Tanpa ragu, dia berlari keluar untuk meminta bantuan dokter yang merawat ayahnya. Para pamannya yang berada di belakang segera mendekati pria yang sedang kejang di ranjang itu. "Kakak tertua, ada apa?" Mereka memanggilnya dengan khawatir, sementara semua orang bergerak mendekat untuk melihat keadaannya. Roman yang masih memejamkan matanya dengan erat, terus mengalami kejang yang semakin parah. Tidak lama kemudian, seorang dokter paruh baya dan beberapa perawat masuk ke ruangan bersama Stella. Mereka meminta semua orang untuk menunggu di luar sementara mereka melakukan penanganan medis. Stella ingin tetap berada di samping ayahnya, namun dokter melarangnya untuk tetap di ruangan itu. Dokter dengan lembut meminta Stella untuk meninggalkan ruangan, "Nona, Anda harus meninggalkan ruangan ini agar kami dapat menangani pasien dengan lebih efektif." Dia kemudian meminta anggota keluarga Yuan untuk membantu membawa Stella keluar. Meskipun dihadapkan dengan permintaan tersebut, Stella menolak dan memberontak, "Aku tidak mau pergi! Aku ingin berada disini bersama ayahku. Aku ingin berada di sisinya!" Meskipun berusaha melawan, Stella akhirnya dipaksa keluar oleh para pamannya yang menahannya. Dalam keadaan putus asa, Stella hanya bisa menangis tanpa bisa melawan karena tubuhnya yang kecil tidak mampu melawan kekuatan pamannya. Salah satu pamannya mencoba menenangkan Stella, "Tenangkan dirimu, Stella. Dokter akan melakukan yang terbaik jika kamu tidak mengganggunya." Stella menatapnya, air matanya mengalir deras. "Bagaimana aku bisa tenang jika aku tidak bisa melihat ayahku? Bagaimana aku bisa tenang?!" Stella terus menangis di luar ruangan, tidak bisa masuk karena dihalangi oleh pamannya. Dia hanya bisa menatap pintu ruangan yang tertutup rapat dengan sedih sambil terus menangis dan memanggil ayahnya. Mereka semua menunggu di luar ruangan, di tengah-tengah tangisan Stella yang tak kunjung reda. Stella semakin cemas dan tangisannya tidak henti sejak tadi, bahkan semakin deras. Wajah anggota keluarga Yuan ikut menegang saat menunggu, karena mereka juga tidak mengetahui apa yang terjadi di dalam ruangan. Setelah beberapa waktu yang tegang, dokter akhirnya membuka pintu ruangan. Ketika pintu terbuka, dokter memanggil keluarga Yuan, dan semua segera mendekat, termasuk Stella yang penuh antusias. Stella bertanya dengan penuh harap, "Dokter, bagaimana kondisi ayah saya? Dia baik baik saja, kan?" Dokter tersenyum lembut dan mengangguk, "Tuan Roman Yuan sekarang sudah sadar. Ia dapat berbicara, namun kondisinya masih lemah." Stella merasa lega dan tersenyum mendengar kabar itu. Tanpa ragu, dia segera masuk ke dalam ruangan, melewati dokter. Sementara itu, anggota keluarga lainnya juga bertanya kepada dokter mengenai kondisi Roman. Ketika Stella mendekati ayahnya, pria paruh baya itu tersenyum senang melihat putrinya berjalan di sisinya. "Stella, kamu di sini... Ayah hampir tidak mengenalimu." Stella menatap ayahnya dengan khawatir, namun juga bersyukur karena ayahnya telah sadar kembali. "Ayah, apa yang terjadi tadi? Kenapa kamu…" Sebelum Stella menyelesaikan kalimatnya, Roman tersenyum dan mengusap lembut tangan putrinya. "Aku baik-baik saja sayang. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan," dia meyakinkan Stella sambil tersenyum. Namun, Stella tidak percaya. Bagaimana semuanya bisa baik-baik saja jika dia mengalami kejang seperti itu? "Ayah, aku mengkhawatirkanmu. Tolong beritahu aku bagaimana kondisimu saat ini," desaknya. Roman menggeleng, memahami kekhawatiran putrinya. "Stella, putriku sayang. Ayah baik-baik saja. Sungguh! Apa kamu tidak percaya padaku?" Wajah Roman tampak meyakinkan saat dia berbicara. Stella terdiam menatap wajah ayahnya. Dia bingung antara percaya dan ragu dengan apa yang dikatakan olehnya. Namun, dia juga lega karena ayahnya sudah sadar kembali. Dia mengangguk pelan sambil menatap ayahnya. "Ayah, apa yang kamu butuhkan? Biarkan aku mengambilkannya untukmu." Roman memandangnya sejenak, tampak khawatir tentang sesuatu mengenai putrinya. "Ayah tidak membutuhkan apa pun untuk saat ini. Hanya saja..." Roman terdiam, membuat Stella bingung. "Hanya saja apa?" Stella bertanya, penasaran. Saat itu juga, pamannya masuk dan menghampiri mereka. "Kakak tertua, bagaimana kondisimu?" Roman memandang mereka, lalu tersenyum dan mengangguk, "Aku merasa lebih baik. Terimakasih sudah mengkhawatirkanku." Stella menoleh untuk melihat mereka tetapi tetap duduk dekat ayahnya, enggan untuk pergi. "Maafkan aku. Bisnis keluarga terpaksa terhenti sementara karena kondisiku yang seperti inii," kata Roman dengan wajah serius. Mereka bertukar pandang sejenak sebelum salah satu dari mereka melambaikan tangan, "Aih, jangan membahas masalah lain untuk saat ini. Kamu harus fokus pada pemulihan terlebih dahulu. Oke?" "Benar, kamu perlu memulihkan diri sebelum membahas hal lain. Urusan hal lain, di bahas setelah kamu benar-benar pulih," mereka semua setuju sambil mengangguk serempak. Roman mempertimbangkan sesaat sebelum menganggukkan kepalanya. Mereka berbincang dengan penuh perhatian sebelum akhirnya pulang.Pukul sepuluh malam, ketika ruangan telah sepi dan hanya menyisakan Stella dan ayahnya, suasana menjadi semakin hening.Dengan cemas, Stella bertanya padanya, "Ayah, apakah kamu benar-benar sudah lebih baik sekarang?"Roman memandang wajah putrinya dengan senyuman penuh makna. "Kenapa kamu begitu khawatir pada ayah? Apakah kamu benar-benar takut kehilangan ayah?"Stella mengangguk, menunjukkan betapa besar kekhawatirannya."Dalam hidup ini, hanya ayah yang aku miliki. Tentu saja, aku tidak ingin kehilanganmu," ucap Stella dengan ekspresi sedih yang terpancar jelas dari wajahnya. Roman meraih tangan putrinya dengan penuh kasih sayang. Meskipun terlihat sedih, Roman mencoba menghilangkan kesedihan dengan menghela nafas. "Dunia ini penuh dengan misteri, Nak. Takdir seseorang tidak bisa diprediksi atau dikendalikan, termasuk takdir ayah," ujar Roman dengan serius. Stella menatapnya dengan kening berkerut, bertanya-tanya tentang maksud dari perkataan ayahnya. Roman menghela nafas pan
Dokter mengangguk serius, "Maafkan saya karena tidak menyadari hal ini sejak awal. Memang sulit membedakan gejala penyakit liver dan racun ini." Wajah Stella langsung memucat saat mendengar bahwa ayahnya terkena racun, sebuah fakta yang sangat berbeda dari apa yang pernah dia bayangkan sebelumnya. "Bukankah hasil tes sebelumnya menunjukkan penyakit liver? Kenapa sekarang menjadi terkena racun?" Stella bertanya dengan kebingungan. "Aku bisa menuntut kalian jika kalian bekerja seperti ini," tambahnya dengan nada bicara penuh emosi. Dokter mencoba menenangkan Stella, “Maaf, Nona. Tolong tenangkan diri Anda terlebih dahulu. Saya akan memberikan penjelasan.” Stella masih bingung dan emosional, namun ia berusaha menenangkan dirinya. Nafasnya naik turun dengan cepat, menunjukkan amarah yang membara. Setelah cukup tenang, Stella berkata, "Cepat katakan. Jika penjelasanmu tidak masuk akal, aku tidak ragu untuk melaporkan rumah sakit ini." Dokter mengangguk cepat, "Baik, saya akan menjel
“Ya, itu yang ayah inginkan. Jika kamu berkenan, anggap saja ini sebagai permintaan terakhir ayah,” kata Roman dengan tulus. Stella memandang ayahnya dalam diam, mencoba memahami maksud di balik permintaan tersebut. Entah apa yang ada di dalam pikiran gadis itu. Dia tentu dalam keadaan bingung saat ini. Setelah berpikir sejenak, Stella segera berkata, “Ayah, kenapa tiba-tiba kamu menanyakan hal ini? Ayah tahu aku tidak punya pacar, kan? Lagipula, aku masih muda. Masih ingin menghabiskan masa muda bersama ayah.” Roman tersenyum dan menatap putrinya dengan tulus. “Jika ayah masih berumur panjang, meski kamu ingin menikah di usia tiga puluhan, juga tidak masalah. Sayangnya, masa hidup ayah hampir habis. Ayah khawatir tidak bisa melihatmu menikah, dan tidak tahu apakah suamimu bisa menggantikan ayah untuk menjagamu,” kata Roman menjelaskan. Roman diam sejenak dan melanjutkan, “Karena ayah tahu kalau kamu jauh dari saudara-saudaramu. Jadi menurutku, hanya calon suamimu yang akan m
Setelah dirawat di rumah sakit, Roman menyerahkan sebagian tanggung jawabnya kepada Jiwan, mengambil alih semua aktivitas Grup Yuan. Jiwan melambaikan tangannya seraya berkata, “Kau tenang saja, masih seperti ini jangan terlalu memikirkan pekerjaan. Semuanya berjalan dengan lancar.” Jiwan tersenyum sambil menepuk punggung Roman. Roman pun tersenyum, meski terlihat kecut. "Apa kata dokter mengenai penyakitmu? Dan apa tindakan selanjutnya?" Saat ini Roman hanya termenung. Dia memandang mereka berdua untuk sesaat, kemudian berkata, "Saat ini hanya perlu menjalani. Mereka terus mengikuti perkembanganku. Jika lebih baik, maka bisa pulang dengan cepat." Jiwan memandangnya, memberi semangat kepadanya. Mereka berbicara sejenak sebelum memutuskan untuk pulang. Saat membuka pintu, mereka papasan dengan Stella. Ketiganya berbicara sebentar sebelum mereka pergi, dan Stella menutup pintu ruangan kembali, lalu berjalan menuju ayahnya. "Ayah belum tidur?" tanya Stella mendekat. Roman meng
Di hari berikutnya, saat siang tiba, Stella dengan penuh kasih menyuapi ayahnya dengan makanan yang disediakan oleh rumah sakit. Roman terlihat makan dengan lahap, seolah-olah tidak merasakan rasa sakit sedikit pun. Meskipun terus dipantau secara intensif oleh dokter dan perawat, keberadaannya di kelas VIP memberinya perlakuan istimewa. Stella meletakkan mangkuk itu setelah ayahnya selesai makan, lalu membawakan air minum untuknya. Roman minum dengan perlahan, dan kemudian memberikan gelas itu kembali pada putrinya. "Stella, apakah kamu tidak keberatan untuk menikah dalam waktu dekat dan menjalani kehidupan berumah tangga?" tanya Roman sambil menatapnya. Stella duduk di tepi ranjang, memikirkan pertanyaan itu dengan bingung. Jika dia berbicara jujur, dan jika ayahnya masih memiliki waktu yang panjang, tentu saja dia akan sangat keberatan dengan permintaan itu. Baginya, hidupnya saat ini penuh damai dan kebahagiaan, mengapa dia harus menikah dan menjadi istri orang? "Ini
Saat itu juga, Roman memanggilnya, "Stella, kemarilah." Stella menoleh ke arah ayahnya. Dia sebenarnya ingin menunggu jawaban dari Dani, namun pria itu hanya tersenyum seolah tidak ingin memberikan jawaban untuknya. Stella pun menatap Dani, memutar bola matanya dengan malas, lalu berjalan ke arah ayahnya. "Apa ada yang bisa saya bantu, Ayah?" "Stella, kenapa kamu buru-buru pergi? Kenalanlah dengan Aksa," kata Roman. Stella mendesah, "Untuk apa, Ayah? Jangan memaksa aku untuk melakukan hal-hal yang tidak terlalu penting." Stella berputar dan hendak berjalan pergi lagi, namun Roman memanggilnya lagi, membuatnya berhenti dan membalikkan tubuhnya memandang ayahnya. "Stella, bukankah Ayah baru saja menyuruhmu bersikap baik tadi malam? Mengapa kamu ingin mencari musuh sekarang?" tanya Roman. Stella mengerutkan keningnya, "Ayah, aku hanya tidak ingin mengenalnya. Kami tidak saling mengenal, bagaimana mungkin menjadi musuh?" Roman menatap Stella dalam diam. Namun Stella t
Beberapa hari kemudian, rumah besar Roman dipenuhi oleh beberapa orang yang sibuk menyiapkan acara pernikahan Stella. Mereka adalah tenaga profesional yang ditunjuk untuk menangani dekorasi dan berbagai keperluan lainnya untuk acara itu.Di dalam kamar Stella, gadis itu duduk di tepi tempat tidur sambil merenung. Wajahnya tampak sedih dan seperti tidak rela. Sementara itu, Livy berjalan dari jendela ke arah Stella, lalu duduk di sampingnya."Banyak pria yang mendekatimu dengan status sosial yang berbeda-beda. Mereka tampan dan kaya, tapi kamu menolaknya. Namun, bagaimana mungkin ayahmu mencarikan suami untukmu seorang mandor?" tanya Livy.Stella memang memiliki standar yang tinggi. Tapi mengapa ayahnya justru mencarikan calon suami yang statusnya lebih rendah dari dirinya?Stella menggelengkan kepalanya, "Aku juga tidak tahu kenapa aku dijodohkan dengannya. Padahal di luar sana masih banyak lagi pria tampan dan kaya raya. Tapi
Waktu berlalu sangat lambat, orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengan Roman masih menunggu di sana. Stella sangat lelah karena menangis, hingga akhirnya tertidur. Salah satu pria di sana memutuskan untuk mengambil tindakan. "Bawa istrimu pulang. Biar kami yang menunggu Tuan Roman di sini. Nona Stella terlihat sangat lelah," ujarnya dengan lembut kepada Aksa. Aksa memandang Stella yang sedang tertidur dan mengangguk setuju. Dia hendak menggendong Stella untuk membawanya pulang, namun mata Stella langsung terbuka dan menatap tajam ke arah Aksa. "Apa yang akan kamu lakukan? Jangan manfaatkan kesempatan ini untuk menyentuhku," kata Stella dengan nada kasar, membuat Aksa terdiam. Pria yang meminta Aksa mengantar Stella pulang segera bersuara, mencoba menenangkan situasi. "Nona Stella, sepertinya kamu lelah sekali. Pulanglah dan istirahatlah. Biarkan kami