Share

Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta
Dinginnya Hati, Hangatnya Cinta
Penulis: Kelvin Prayoga

BAB 1 Sudah Sadar

Di sebuah rumah sakit di kota Berlin, seorang pria berusia empat puluh tahun, yang merupakan pemimpin dari keluarga Yuan, sebuah keluarga berpengaruh di kota itu, terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit.

Dia adalah Roman Yuan, figur utama dalam keluarga Yuan saat ini.

Meskipun sudah dirawat selama beberapa hari, Roman masih belum pulih dan tetap tidak sadar.

Di dalam ruangan itu, banyak orang berdiri dengan wajah sedih, memandang Roman dari kejauhan.

Seorang gadis cantik berusia dua puluhan tahun duduk di sampingnya, terlihat khawatir.

Kekhawatiran itu dirasakan oleh semua orang yang hadir, tidak dapat disembunyikan lagi.

Dengan hati yang penuh kekhawatiran, gadis itu berbisik dalam hatinya, "Ayah, tolong bangunlah. Aku tidak tahan melihatmu seperti ini terus-menerus. Aku berharap kamu segera sembuh," ucapnya sambil menggenggam erat tangan ayahnya.

Sejak hari pertama di rumah sakit, gadis itu tidak pernah meninggalkan kursinya, selalu berada di samping ayahnya seolah enggan berpisah darinya.

Di belakang, anggota keluarga Yuan menatap ke arah ranjang dengan serius, namun tidak ada yang mendekat.

Meskipun mereka memiliki hubungan darah, terlihat ada jarak yang terasa di antara mereka, tanpa diketahui apa sebabnya.

Martin Yuan berkata dengan ekspresi serius, "Penyakit Kakak Pertama semakin parah. Dokter bahkan mengatakan bahwa masa depannya sulit diprediksi. Aku khawatir Stella akan sangat terpukul jika sesuatu terjadi padanya."

Semua anggota keluarga mengangguk setuju dengan pernyataan Martin.

Stella Yuan yang tumbuh tanpa kehadiran ibu, hanya mengalami kasih sayang dari sang ayah. Ibu Stella meninggal setelah melahirkannya, sehingga kehadiran seorang ibu tidak pernah ia rasakan dalam hidupnya.

Jika ayahnya meninggal, Stella akan benar-benar sendirian tanpa sosok yang tersisa kecuali keluarga Yuan.

Jiwan Yuan bertanya, "Bagaimana dengan bisnis keluarga Yuan kita? Sepertinya tidak mungkin, kan, berjalan tanpa adanya penanggung jawab?"

Andre menyela tanpa memberi jeda, "Kita akan membicarakannya nanti saat kita sudah berada di rumah. Membahasnya sekarang mungkin tidak tepat."

Semua anggota keluarga mengangguk, tidak ada yang berbicara lagi.

Di samping itu, Stella tetap menggenggam erat tangan ayahnya sambil mengusapnya dengan lembut. Tiba-tiba, tangan yang digenggamnya bergerak, membuat Stella terkejut.

"Ayah?" panggilnya dengan suara pelan dan penuh harapan. Stella menatap mata ayahnya yang masih tertutup.

"Ayah, apakah kamu sudah bangun?" keceriaan terpancar dari wajah Stella. Siapa yang tidak senang melihat ayahnya yang sakit bisa sembuh?

Stella tentu saja sangat senang melihat hal ini.

Dia mencoba membangunkan ayahnya dengan memanggilnya beberapa kali, namun mata ayahnya tetap tertutup, seolah menolak untuk terbuka.

Stella terkejut melihat reaksi ayahnya yang tidak sesuai dengan harapannya.

Dengan kekhawatiran yang semakin memuncak, Stella terus memanggil ayahnya dengan penuh kecemasan, "Ayah, ada apa? Katakan sesuatu!!"

Namun, ayahnya tetap tidak merespon, matanya terus tertutup dengan kuat. Stella takut perkiraan dokter sebelumnya akan menjadi kenyataan.

"Ayah, tolong bangun!!"

Stella mengguncang tubuh ayahnya sambil terus memanggil dengan khawatir.

Tanpa ragu, dia berlari keluar untuk meminta bantuan dokter yang merawat ayahnya.

Para pamannya yang berada di belakang segera mendekati pria yang sedang kejang di ranjang itu.

"Kakak tertua, ada apa?"

Mereka memanggilnya dengan khawatir, sementara semua orang bergerak mendekat untuk melihat keadaannya.

Roman yang masih memejamkan matanya dengan erat, terus mengalami kejang yang semakin parah.

Tidak lama kemudian, seorang dokter paruh baya dan beberapa perawat masuk ke ruangan bersama Stella.

Mereka meminta semua orang untuk menunggu di luar sementara mereka melakukan penanganan medis.

Stella ingin tetap berada di samping ayahnya, namun dokter melarangnya untuk tetap di ruangan itu.

Dokter dengan lembut meminta Stella untuk meninggalkan ruangan, "Nona, Anda harus meninggalkan ruangan ini agar kami dapat menangani pasien dengan lebih efektif."

Dia kemudian meminta anggota keluarga Yuan untuk membantu membawa Stella keluar.

Meskipun dihadapkan dengan permintaan tersebut, Stella menolak dan memberontak, "Aku tidak mau pergi! Aku ingin berada disini bersama ayahku. Aku ingin berada di sisinya!"

Meskipun berusaha melawan, Stella akhirnya dipaksa keluar oleh para pamannya yang menahannya.

Dalam keadaan putus asa, Stella hanya bisa menangis tanpa bisa melawan karena tubuhnya yang kecil tidak mampu melawan kekuatan pamannya.

Salah satu pamannya mencoba menenangkan Stella, "Tenangkan dirimu, Stella. Dokter akan melakukan yang terbaik jika kamu tidak mengganggunya."

Stella menatapnya, air matanya mengalir deras.

"Bagaimana aku bisa tenang jika aku tidak bisa melihat ayahku? Bagaimana aku bisa tenang?!"

Stella terus menangis di luar ruangan, tidak bisa masuk karena dihalangi oleh pamannya.

Dia hanya bisa menatap pintu ruangan yang tertutup rapat dengan sedih sambil terus menangis dan memanggil ayahnya.

Mereka semua menunggu di luar ruangan, di tengah-tengah tangisan Stella yang tak kunjung reda.

Stella semakin cemas dan tangisannya tidak henti sejak tadi, bahkan semakin deras.

Wajah anggota keluarga Yuan ikut menegang saat menunggu, karena mereka juga tidak mengetahui apa yang terjadi di dalam ruangan.

Setelah beberapa waktu yang tegang, dokter akhirnya membuka pintu ruangan.

Ketika pintu terbuka, dokter memanggil keluarga Yuan, dan semua segera mendekat, termasuk Stella yang penuh antusias.

Stella bertanya dengan penuh harap, "Dokter, bagaimana kondisi ayah saya? Dia baik baik saja, kan?"

Dokter tersenyum lembut dan mengangguk, "Tuan Roman Yuan sekarang sudah sadar. Ia dapat berbicara, namun kondisinya masih lemah."

Stella merasa lega dan tersenyum mendengar kabar itu.

Tanpa ragu, dia segera masuk ke dalam ruangan, melewati dokter.

Sementara itu, anggota keluarga lainnya juga bertanya kepada dokter mengenai kondisi Roman.

Ketika Stella mendekati ayahnya, pria paruh baya itu tersenyum senang melihat putrinya berjalan di sisinya. "Stella, kamu di sini... Ayah hampir tidak mengenalimu."

Stella menatap ayahnya dengan khawatir, namun juga bersyukur karena ayahnya telah sadar kembali.

"Ayah, apa yang terjadi tadi? Kenapa kamu…"

Sebelum Stella menyelesaikan kalimatnya, Roman tersenyum dan mengusap lembut tangan putrinya.

"Aku baik-baik saja sayang. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan," dia meyakinkan Stella sambil tersenyum.

Namun, Stella tidak percaya. Bagaimana semuanya bisa baik-baik saja jika dia mengalami kejang seperti itu?

"Ayah, aku mengkhawatirkanmu. Tolong beritahu aku bagaimana kondisimu saat ini," desaknya.

Roman menggeleng, memahami kekhawatiran putrinya. "Stella, putriku sayang. Ayah baik-baik saja. Sungguh! Apa kamu tidak percaya padaku?"

Wajah Roman tampak meyakinkan saat dia berbicara.

Stella terdiam menatap wajah ayahnya.

Dia bingung antara percaya dan ragu dengan apa yang dikatakan olehnya. Namun, dia juga lega karena ayahnya sudah sadar kembali.

Dia mengangguk pelan sambil menatap ayahnya. "Ayah, apa yang kamu butuhkan? Biarkan aku mengambilkannya untukmu."

Roman memandangnya sejenak, tampak khawatir tentang sesuatu mengenai putrinya.

"Ayah tidak membutuhkan apa pun untuk saat ini. Hanya saja..." Roman terdiam, membuat Stella bingung.

"Hanya saja apa?" Stella bertanya, penasaran.

Saat itu juga, pamannya masuk dan menghampiri mereka.

"Kakak tertua, bagaimana kondisimu?"

Roman memandang mereka, lalu tersenyum dan mengangguk, "Aku merasa lebih baik. Terimakasih sudah mengkhawatirkanku."

Stella menoleh untuk melihat mereka tetapi tetap duduk dekat ayahnya, enggan untuk pergi.

"Maafkan aku. Bisnis keluarga terpaksa terhenti sementara karena kondisiku yang seperti inii," kata Roman dengan wajah serius.

Mereka bertukar pandang sejenak sebelum salah satu dari mereka melambaikan tangan, "Aih, jangan membahas masalah lain untuk saat ini. Kamu harus fokus pada pemulihan terlebih dahulu. Oke?"

"Benar, kamu perlu memulihkan diri sebelum membahas hal lain. Urusan hal lain, di bahas setelah kamu benar-benar pulih," mereka semua setuju sambil mengangguk serempak.

Roman mempertimbangkan sesaat sebelum menganggukkan kepalanya. Mereka berbincang dengan penuh perhatian sebelum akhirnya pulang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status