"Euh, enggak, Prof. Maaf," jawab Intan, gugup.'Gimana aku mau semangat kalau dia marah-marah terus kayak gitu? Ya ampun, sampai sekarang aku masih gak nyangka orang kayak dia bakalan jadi suamiku. Semoga perjodohannya dibatalkan,' batin Intan."Kamu itu masih muda. Tolong lebih semangat lagi dalam bertugas!" pinta Zein. Kemudian ia kembali fokus ke pekerjaannya."Baik, Prof," jawab Intan.Setelah itu poli pun dimulai. Intan memerhatikan Zein serta keluhan pasien sesuai arahan dari konsulennya itu. Ia juga menjadi asisten Zein selama proses praktek berlangsung.Hingga datang seorang pasien paruh baya, ditemani oleh cucunya yang begitu cantik.
Intan langsung menoleh ke belakang. "Eh, Prof," ucapnya, salah tingkah. Ia malu karena tadi sedang menggumam.'Tadi aku ngomong apa, ya?' batin Intan. Ia mengingat-ingat apa yang telah ia ucapkan. Khawatir dirinya sudah menjelekkan Zein lagi."Kalau capek, lebih baik kamu pulang!" ucap Zein tanpa menoleh.Intan melirik sekilas. Ia merasa ucapan Zein itu sarkas. Sehingga Intan merasa sedang disindir. Padahal Zein serius memperhatikannya."Enggak kok, Prof. Ini cuma pegel biasa aja. Kurang olah raga," sahut Intan, kikuk."Oya? Kalau begitu kamu harus rajin olah raga. Jangan malas!" sahut Zein. Lagi-lagi perhatian yang Zein berikan membuat Intan salah paham.
Uhuk! Uhuk!Intan langsung tersedak setelah mendengar ucapan Zein. Mereka memang sudah dijodohkan. Namun, jangankan pernikahan, pertunangan saja belum dibahas."Lho, kenapa, Tan? Hati-hati makannya!" ucap Dimas, tanpa dosa. Ia belum tahu bahwa Intan adalah calon istri Zein.Zein menyunggingkan sebelah ujung bibirnya saat melihat reaksi Intan setelah mendengar ucapannya barusan.Ia senang menggoda Intan seperti itu. ‘Pasti kamu senang karena pernikahan kita akan segera terlaksana, kan?’ batin Zein. Ia selalu over percaya diri.Intan pun segera mengambil air mineral dan meneguknya. "Gak apa-apa, Dok," jawab Intan setelah tenggorokkannya kembali netral.Namun wajahnya terlihat merah padam.
Deg!Tubuh Intan membeku kala Zein mengukungnya dari belakang. Apalagi saat ini tangannya sedang digenggam oleh Zein.Bukan hanya Intan. Seluruh orang yang ada di ruangan tersebut pun sangat terkejut. Ini kali pertama mereka melihat Zein seperti itu. Bahkan selama ini Zein seolah tak pernah ingin disentuh oleh orang lain."Lemaskan tangannya! Jangan kaku," ucap Zein di telinga Intan.Intan bahkan dapat merasakan embusan napas hangat profesor itu.Napas Intan pun tercekat dibuatnya. Aroma tubuh Zein menguar hingga ke hidungnya. Membuat Intan semakin tidak fokus. Ia pun hanya menjawab ucapan Zein dengan anggukkan.Akhirnya Intan berusaha melemaskan tangannya. Meskipun sebenarnya saat ini ya
Intan terkesiap saat mendengar Zein mengatakan bahwapria ituakan membahas pernikahan dengannya. Ia sangat ingin protes. Namun Intan tidak berani melakukan hal itu.Sebab, tinggal beberapa hari lagi ia selesai koas. Intan khawatir jika dirinya terlalu menentang Zein, maka pria itu akan mempersulitnya atau mungkin memberikan nilai buruk padanya.Akan tetapi, ia tidak tenang jika hanya diam. Sebab, menurutnya ada yang salah jika mereka benar-benar menikah dalam waktu dekat.‘Pernikahan apaan, sih? Lamaran aja belum. Tiba-tiba bahas pernikahan. Helo … emang siapa yang mau nikah sama situ?’ batin Intan, kesal."M-maaf, Prof. Maksudnya mau bahas pernikahan siapa, ya?" tanya Intan.Sebenarnya pertanyaan itu merupakan sind
Jantung Intan terasa seperti hampir meledak saat Zein mengatakan bahwa ia adalah istrinya. Meski Zein menyebalkan. Namun sebagai seorang gadis, disebut istri oleh pria, membuat Intan sangat nervous.Intan memalingkan wajah karena khawatir Zein melihat wajahnya merona dan hidungnya kembang kempis karena hampir kehabisan oksigen.‘Kenapa dia harus ngomong begitu, sih? Kan aku jadi malu,’ batin Intan.Zein tersenyum kala melirik ke arah Intan. Ia sangat puas telah mengusili Intan seperti itu.Zein memang sengaja mengatakan bahwa Intan adalah istrinya. Ia hanya ingin tahu bagaimana reaksi gadis itu. Ternyata sangat menyenangkan melihat Intan malu."Sudah cukup. Itu saja," ucap Zeinpada pelayan.Akhirnya pelayan pun pergi dan m
Napas intan seketika terhenti untuk beberapa saat. Ia sangat terkejut mendengar ucapan Zein yang mengatakan bahwa dia ingin melamar Intan satu minggu lagi."Maaf, Prof. Tapi apa itu tidak terlalu cepat?" tanya Intan, memberanikan diri.Padahal sebelumnya ia sudah mendengar bahwa Zein ingin menikahinya bulan depan. Namun jika lamaran minggu depan, ia merasa itu terlalu cepat."Kamu punya waktu 7 hari dan sebentar lagi kamu sudah selesai koas. Lagi pula persiapan untuk lamaran tidak terlalu repot. Saya rasa 1 hari cukup untuk mempersiapkan semuanya," jawab Zein, santai.Intan menelan saliva setelah mendengar ucapan Zein. Sebab, bukan itu masalah utamanya. Namun persiapan mental yang lebih berat dari sekadar persiapan materi. Apalagi sampai saat ini sikap Zein masih seperti iblis.
'Hah? Merepotkan dia bilang? Apa aku gak salah denger? Perasaan tadi aku udah nolak dan dia yang maksa. Tapi kenapa dia bisa bilang aku merepotkan?' batin Intan.Zein pun duduk dan melanjutkan makannya tanpa dosa. Hal itu membuat Intan semakin kesal. Sudah bibirnya sakit, ditambah harus mendengar ucapan Zein yang sangat pedas itu. Rasanya ia ingin melemparkan saus ke wajah Zein.Hidungnya bahkan sampai kembang kempis saking kesalnya. Jika tidak ingat bahwa Zein adalah konsulennya, mungkin Intan sudah meninggalkan resto tersebut saat itu juga.Beberapa saat kemudian Zein sudah selesai makan. Ia berdiam sejenak, kemudian mengajak Intan pulang."Saya sudah selesai, mari pulang!" ajak Zein. Ia tidak ingin berlama-lama di tempat itu.