Share

07. Sikap Aneh Zein

Sepanjang jalan intan melamun. Ia bingung mengapa Zein selalu membuatnya kesal. Seolah ia tidak memiliki hati nurani sedikit pun.

 

"Dia tuh kenapa, sih? Apa coba salahnya aku? Bahkan aku lagi sakit pun bela-belain datang ke rumah sakit biar dia gak marah dan ngatain aku pemalas. Tapi kenapa dia malah ngusir aku seenaknya? Dia pikir aku gak butuh usaha buat datang dari rumah ke rumah sakit?" Intan menggerutu sepanjang jalan.

 

Ia sangat kesal karena Zein tidak memiliki perasaan. "Ya Tuhan, gimana bisa aku harus hidup sama pria menyebalkan seperti dia? Lagian dia kenapa gak nolak aja waktu dijodohin? Ini benar-benar mimpi buruk buatku," keluh Intan.

 

Membayangkan harus hidup bersama pria yang paling ia benci itu rasanya membuat Intan gemas. Sebab, dari sikap Zein ia yakin bahwa pria itu tidak menyukainya. Namun mengapa ia tidak menolak ketika dijodohkan oleh orang tuanya.

 

Tiba di rumah, Fatma heran karena Intan sudah pulang. Padahal baru beberapa menit yang lalu ia pergi.

 

"Kamu kok sudah pulang?" tanya Fatma.

 

"Gak tau, aku diusir sama Prof," jawab Intan, ketus. Ia masih sangat kesal pada Zein.

 

"Ooh, mungkin karena dia tahu kamu sedang sakit, Nak," ujar Fatma. Ia ingat bagaimana kekhawatiran Zein saat mengantarnya pulang.

 

Intan menyunggingkan sebelah ujung bibirnya. 'Mending amat. Ibu gak tau aja kalau dia itu jahat,' batin Intan.

 

"Ya sudah kamu istirahat dulu, sana!" ucap Fatma. Ia melihat wajah anaknya masih nampak pucat.

 

"Iya, Bu. Masih ada yang perlu dikerjain, gak?" tanya Intan lagi. Meski sudah hampir menjadi dokter, tetapi Intan masih mau membantu ibunya.

 

"Gak ada, udah sana kamu istirahat aja!" sahut Fatma. Ia tidak ingin anaknya semakin drop jika tidak beristirahat.

 

"Ya udah aku tinggal ya, Bu," ucap Intan, sambil berlalu masuk kamar.

 

Tiba di kamar, Intan langsung mengganti pakaiannya. Kemudian ia membuka laptop karena Intan memang tidak terbiasa bersantai. Sehingga ia memilih untuk mengerjakan tugas atau mengetik jurnal untuk dikirim ke redaksi.

 

Saat sedang mengetik, ia tidak fokus karena terus terbayang harus menikah dengan profesor yang sangat menyebalkan itu.

 

"Argh! Kenapa harus dia, sih? Emangnya di dunia ini gak ada cowok lain lagi apa?" keluh Intan. Ia emosi sendiri.

 

Apalagi jika Intan ingat bagaimana tatapan sinis Zein terhadapnya. Rasanya ia sangat murka.

 

"Gimana rasanya hidup sama orang yang benci sama kita? Ya Tuhan, aku gak akan sanggup, hiks."

 

***

 

Keesokan harinya, Intan kembali datang ke rumah sakit untuk bekerja. Ia pantang menyerah. Meski kemarin telah diusir oleh Zein, tetapi bukan berarti hari ini dia tidak akan datang ke rumah sakit.

 

Tuk, tuk, tuk!

 

Intan mengetuk pintu ruangan Zein. Seperti biasa, ia harus menghadapnya sebelum mulai bekerja. Sebab, nanti Zein yang akan mengarahkan tugas apa yang harus Intan lakukan hari ini.

 

"Masuk!" ucap Zein tanpa menoleh.

 

Ceklek!

 

"Pagi, Prof," sapa Intan. Ia sangat gugup berhadapan dengan Zein. Sebab, bagaimana pun profesor galak itu akan menjadi suaminya.

 

Mendengar suara Intan, Zein menoleh ke arahnya. "Kenapa kamu sudah masuk? Memangnya kamu sudah sembuh?" tanya Zein.

 

"Alhamdulillah, sudah, Prof," jawab Intan. Saat ini ia berdiri di hadapan Zein.

 

"Oke, bagus kalau memang sudah sembuh. Tapi jangan sampai hal seperti itu terulang! Kamu itu dokter. Jika tidak menjaga kesehatan dengan baik, bagaimana pasien bisa percaya padamu?" tanya Zein.

 

Sebenarnya secara tidak langsung Zein menaruh perhatian pada Intan. Namun caranya salah. Sehingga Intan merasa Zein sedang menyindirnya.

 

"Baik, Prof. Kedepannya saya akan lebih aware lagi," jawab Intan.

 

"Ya sudah, sekarang kita visit ke ruangan VIP dulu, setelah itu kamu temani saya di poli, kemudian kita operasi!" ajak Zein.

 

Intan sedikit terkesiap. Tidak biasanya Zein meminta Intan untuk menemaninya seharian full. Biasanya Intan akan di tugaskan di bagian tertentu. Bahkan, untuk operasi pun sangat jarang Zein mengajak Intan karena selama ini Zein menganggap Intan tidak becus.

 

Bukan tidak mau. Intan justru senang jika memang bisa menghandle semuanya. Tugas yang Zein berikan membuat Intan merasa dipercaya oleh Zein.

 

"Baik, Prof," sahut Intan. Setelah itu Zein beranjak dan mereka pun meninggalkan ruangan tersebut.

 

"Sudah sarapan?" tanya Zein tanpa menoleh.

 

Intan terkesiap. Tidak biasanya Zein bertanya seperti itu.

 

"Heuh?" Intan khawatir dirinya salah dengar.

 

Zein pun menghentikan langkahnya dan menoleh. "Kamu sudah sarapan?" tanya Zein lagi.

 

"Biasanya saya jarang sarapan, Prof. Nanti paling sekalian makan siang," jawab Intan.

 

Zein menggelengkan kepalanya. "Bagaimana kamu tidak mudah sakit? Saya tidak mau asisten saya lemah," ucap Zein. Kemudian ia melihat jam tangannya. "Kalau begitu, kita sarapan dulu. Mumpung masih ada waktu setengah jam lagi," ajak Zein. Kemudian ia langsung balik badan dan berjalan tanpa menunggu persetujuan Intan.

 

Intan menelan saliva. "Dia lagi kenapa, sih?" gumamnya, pelan. Ia tetap berjalan di samping Zein.

 

"Sarapan itu penting. Bagaimana kamu tidak kekurangan gizi kalau kamu saja tidak sarapan? Apa sih susahnya makan? Takut gemuk? Sarapan tidak akan membuatmu gemuk selama porsinya pas dan kamu aktif bergerak," nasihat Zein.

 

"Iya, Prof. Terima kasih sarannya," jawab Intan.

 

'Ni orang tadi pagi sarapan apa, sih? Mabok banget, deh,' batin Intan.

 

"Pagi, Prof!" sapa beberapa perawat dan dokter yang berpapasan dengan mereka.

 

"Pagi," sahut Zein, singkat.

 

"Kamu tahu? Kalau kamu pingsan itu akan merepotkan banyak orang. Jadi seharusnya kamu lebih peduli pada kesehatanmu sendiri. Dokter macam apa yang pingsan saat sedang bekerja?" cibir Zein.

 

"Maaf, Prof," ucap Intan.

 

Zein masih gengsi untuk menunjukkan perhatiannya pada Intan. Sehingga ia menasihatinnya dengan cara seperti itu. Padahal intinya Zein tidak ingin Intan sakit lagi.

 

"Kamu mau makan apa? Biar sekalian saya yang pesan," tanya Zein saat mereka tiba di kantin.

 

"Eh, jangan, Prof! Biar saya saja," sahut Intan. Ia tidak ingin merepotkan Zein. Ia pun merasa tidak pantas jika Zein yang memesankan makanan untuknya.

 

"Lalu kenapa kamu diam saja?" tanya Zein.

 

"Oh iya. Maaf," sahut Intan, gugup. Padahal saat tiba di kantin, ia diam bukan apa-apa. Tetapi karena Intan sedang bingung, ingin memilih makanan mana yang akan ia makan pagi ini. Namun ternyata Zein malah mengira Intan tidak mau makan, sehingga lansung berkata seperti itu.

 

Akhirnya Intan pun memilih random makanan yang ada di sana. 'Duh, aku belum lapar. Kenapa dia maksa aku makan jam segini, sih?' batin Intan. Biasanya Intan memang jarang sarapan. Paling ia hanya makan buah dan minum ketika sedang break.

 

Sambil menunggu Intan, Zein memesan secangkir kopi. Sebab, ia sudah sarapan di rumah. Ia pun tak mungkin hanya melihat Intan makan tanpa melakukan apa pun.

 

"Lho, Prof gak makan?" tanya Intan setelah kembali ke mejanya.

 

"Saya sudah makan," jawab Zein singkat. Kemudian ia menyeruput kopi yang ada di hadapannya.

 

"Terus kenapa ke sini?" tanya Intan lagi. Ia bingung mengapa Zein ikut ke kantin jika memang sudah sarapan. Secara Zein orang sibuk dan disegani oleh banyak orang. Rasanya sangat aneh jika profesor itu datang ke kantin untuk menemaninya makan.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Kartinazahri Ilyas
sangat luar biasa
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status