Share

06. Perhatian tapi Gengsi

Sepanjang perjalanan pulang, Zein terus melamun. Ia tidak menyangka ternyata Intan mengalami nasib seberat itu. Obrolannya dengan ibu Intan tadi telah membuka mata hatinya.

 

"Bagaimana mungkin gadis dengan beban hidup seberat dia masih tetap bisa beraktifitas seperti orang normal?" gumam Zein.

 

Ia masih tidak percaya bahwa Intan jauh dari apa yang ia pikirkan. "Berarti selama ini aku telah mendzaliminya? Astaghfirullah ...." Zein sangat menyesal karena telah mempersulit Intan.

 

Ia selalu menganggap Intan pemalas. Hal itu pula yang membuatnya memberi pekerjaan berat pada Intan.

 

"Seandainya aku tahu bahwa dia sedang kesulitan, mana mungkin aku menambah bebannya seperti itu?" Rasanya Zein ingin memutar waktu. Sehingga ia bisa merubah sikapnya terhadap Intan. Namun sayang, nasi telah menjadi bubur. Intan sudah terlanjur ia siksa sampai pingsan seperti itu.

 

Meski tidak secara langsung. Namun ia ingat betul tadi Intan belum selesai makan saat dirinya memaksa Intan pergi ke ruang operasi. “Berarti tadi dia operasi dalam kondisi perut kosong,” ucapnya lagi.

 

Keesokan harinya, saat Zein sedang berada di ruangannya, Intan datang untuk melapor bahwa hari ini dirinya masuk dan siap untuk kembali bekerja.

 

Tok, tok, tok!

 

"Masuk!"

 

Ceklek!

 

"Permisi, Prof," ucap Intan, ragu.

 

Zein mengerutkan keningnya. Ia heran mengapa Intan nekat masuk kerja. Padahal dirinya masih terlihat begitu pucat.

 

"Mau apa, kamu?" tanya Zein, dingin. Ia gengsi untuk mengungkapkan penyesalannya. Sehingga Zein berusaha bersikap seperti biasanya.

 

"Enggak apa-apa, Prof. Saya cuma mau kerja seperti biasa," jawab Intan, heran dengan pertanyaan Zein. Padahal biasanya pun ia selalu bekerja dengan pria itu.

 

Ibu Intan belum menceritakan perihal siapa yang mengantarkannya ketika ia pingasan. Sehingga Intan belum mengetahui hal itu.

 

Pagi tadi ibunya sempat melarang Intan bekerja. Namun, Intan yang semangat menjalankan tugas di sisa waktunya itu tak mengindahkan ucapan ibunya. Ia lebih takut Zein marah. Sebab khawatir Zein akan mempersulitnya nanti.

 

"Lebih baik kamu pulang! Saya tidak mau didampingi oleh dokter yang tidak sehat. Apa kata pasien nanti jika dokternya saja tidak sehat?" usir Zein.

 

Sebenarnya ia sedang berusaha melindungi Intan agar tidak pingsan lagi. Zein berharap Intan bisa istirahat di rumahnya. Namun cara yang ia gunakan salah.

 

"Intan terkesiap. Ia tak menyangka Zein akan sesadis itu. Baginya ini penyiksaan karena diusir saat dirinya sudah siap bekerja. Jika harus pulang lagi pun tentu akan melelahkan.

 

"Maaf, Prof. Tapi saya tidak sakit. Kemarin saya pingsan cuma karena kelelahan," jawab Intan. Ia berusaha untuk tetap bisa bekerja.

 

"Apa pun itu, saya tidak peduli. Lebih baik kamu pulang!" sahut Zein tanpa menghiraukan Intan lagi.

 

Intan sangat kesal. Namun ia tidak bisa protes.

 

"Baiklah kalau memang itu yang Prof mau," ujar Intan. Kemudian ia pamit dan meninggalkan ruangan Zein.

 

Zein yang tadi pura-pura sibuk pun melirik ke arahnya. "Maaf, Tan. Aku cuma pingin kamu istirahat. Dengan begitu kesehatanmu bisa pulih lebih maksimal," gumam Zein sambil menatap ke arah pintu.

 

Di koridor rumah sakit, Intan yang baru saja meninggalkan ruangan Zein itu menggerutu sepanjang jalan.

 

"Gak punya perasaan banget, sih? Gak tau apa aku bela-belain datang ke sini jauh dari rumahku dan kondisiku lagi lemas. Eh, dia malah seenak jidat ngusir aku kayak gitu!"

 

Saat Intan sedang menggerutu, tiba-tiba ia melihat tangan seseorang menyodorkan permen ke arahnya.

 

"Kalau lagi marah, kamu harus makan manis! Biar moodnya balik," ujar pria tersebut. Ternyata dia adalah Bian.

 

"Terima kasih atas sarannya," jawab Intan. Saat ini ia sedang tidak ingin diganggu. Intan pun berlalu tanpa mengambil permen itu.

 

Bian hanya mengangkat kedua bahunya. Ini bukan kali pertama dia dijuteki oleh Intan. Sehingga Bian tidak heran.

 

"Jangan galak-galak, Dok! Nanti cinta, lho," ledek Bian saat Intan hampir berbelok di ujung koridor. Ia tidak mengejar Intan karena harus segera ke ruangan ayahnya.

 

Di ruangan loker.

 

"Lo kenapa lagi, Tan?" tanya Fani yang juga baru datang.

 

"Biasa, abis dimarahin profesor gila," sahut Intan, kesal.

 

Fani menyeringai. "Lo mah sewot mulu sama dia, sih? Padahal dia kan ganteng dan pinter, Tan."

 

"Ya udah kalau mau mah ambil aja, sana! Seandainya bisa dituker, mending gue tuker stase, deh. Gila aja, masa gue dikerjain kayak orang kerja rodi?"

 

"Itu kan demi kebaikan lo juga, Tan. Kalau gak gitu, mana mungkin lo bisa paham semuanya?"

 

Intan langsung menoleh ke arah Fani. "Kok lo dari tadi belain dia terus, sih? Kalian ada hubungan?" tanyha Intan. Ia heran melihat sahabatnya terus membela Zein.

 

"Lho, gue bukan belain dia. Tapi kan emang bener apa yang gue bilang. Lo-nya aja yang baper," cibir Fani. Ia tidak merasa ada yang salah dari ucapannya.

 

"Serah! Udah ah gue mau pulang," jawab Intan. Ia pun bangkit dan mengambil tasnya dari dalam loker.

 

"Lho, lo mau ke mana?" tanya Fani, heran. Ia tahu hari ini Intan shift pagi.

 

"Pake nanya, lagi. Ya balik, lah. Gue diusir sama profesor kesayangan lo, itu!" Intan curhat pada Fani.

 

"Hah? Serius? Kok bisa?" Ia tidak habis pikir mengapa Intan diusir oleh Zein.

 

"Ya bisa, ini buktinya!"

 

"Jadi sekarang lo mau balik?"

 

"Ya iyalah. Ngapain gue diem di sini? Dia aja belum tentu mau ngasih gue nilai, kok."

 

"Ya ampun, gue gak nyangka ternyata dia sekiller itu, ya?"

 

"Ya begitulah ... makanya jangan lihat orang dari luarnya! Ya udah gue duluan, ya?"

 

"Oke, TTDJ, Tan!"

 

"Siap!"

 

Intan meninggalkan rumah sakit. Ia tidak ingin terlalu loyal. Sebab saat ini dirinya memang belum mendapat gaji full.

 

"Gue mah simple aja. Disuruh kerja ya kerja. Disuruh pulang ya pulang," gumam Intan, kesal.

 

Seandainya ia tahu maksud baik Zein, pasti tidak akan menggerutu seperti itu. Sayang, Zein tidak bisa mengekspresikan perasaannya yang sudah mulai perhatian pada Intan.

 

"Mau pulang?" tanya Bian yang tidak sengaja bertemu dengan Intan di parkiran.

 

Intan hanya melirik sekilas. "Kamu itu kayak jin, ya? Bisa muncul di mana aja," ucap Intan sambil mengenakan helm. Ia selalu risih setiap Bian muncul di sekitarnya. Sebab, Bian selalu muncul saat dirinya sedang kesal.

 

Bian menyeringai. "Gak masalah, sih. Tapi kalau nanti tiba-tiba aku muncul di hati kamu, gimana?" Tahu Intan sedang kesal, bukannya mundur, Bian malah semakin menggodanya.

 

Intan geleng-geleng kepala karena semakin kesal pada Bian. Sementara Bian semakin gemas melihat Intan jutek seperti itu. Biasanya wanita yang melihatnya menggunakan seragam 'sakti' sebagai komandan, pasti selalu ramah padanya. Namun berbeda dengan Intan yang justru selalu jutek.

 

Tanpa permisi, Intan langsung pergi meninggalkan parkiran bersama motor maticnya.

 

"Biasanya kalau yang jutek gitu tuh suka jodoh, lho," gumam Bian sambil tersenyum menatap kepergian Intan.

 

Dari kejauhan, ada seseorang yang memperhatikan mereja sejak tadi. Ia melihat Intan dan Bian begitu akrab. Sebab pemandangan dari jauh kurang begitu jelas.

 

"Jadi mereka memang sudah akrab. Apa mereka punya hubungan khusus?" gumam Zein sambil menatap Intan yang semakin menjauh.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status