Share

05. Sisi Lain Intan

Bola mata Intan membulat sempurna. "Dia ada di belakang gue?" bisik Intan pada Fany yang duduk di depannya.

 

"Iya, gue juga tadi gak lihat," sahut Fany pelan sambil merapatkan giginya.

 

Mereka berdua sangat gugup karena ketahuan sedang menggunjing profesor galak di kantin.

 

'Mati gue!' batin Intan. Kemudian ia menoleh perlahan ke belakang.

 

"S-siang, Prof!" sapanya sambil tersenyum kikuk.

 

"Saya tunggu di ruangan operasi lima menit lagi!" sahut Zein. Kemudian ia berlalu.

 

"Kan, gue bilang juga apa," ucap Intan, kesal. Makanannya bahkan belum habis separuh. Namun Zein sudah memanggilnya lagi.

 

Akhirnya Intan pun pamit pada Fany dan berlari menuju ruang operasi agar tidak dimarahi Zein lagi karena terlambat.

 

"Bisa gak sih dia lebih manusiawi dikit? Gue harap perjodohan itu bisa dibatalin gimana pun caranya. Gue gak mau hidup sama manusia gak punya hati kayak dia," gumam Intan sambil berlari.

 

Saat Intan sedang berlari, Bian melihatnya dari kejauhan. Ia tersenyum karena melihat Intan sudah seperti booster baginya.

 

Kali ini Intan tidak terlambat. Ia berhasil tiba di ruang operasi sebelum lima menit dan segera berganti pakaian lalu membersihkan tubuhnya di sana.

 

"Selamat siang," sapa Intan saat masuk ke ruang operasi. Di sana sudah siap beberapa orang dokter dan juga perawat senior. Hanya Intan yang merupakan dokter muda dan bisa dibilang belum berpengalaman.

 

Saat Intan masuk ke ruangan tersebut, Zein sudah stand by di posisinya. "Operasi ini akan berjalan paling cepat 6 jam. Jadi, jika ada yang merasa tidak sanggup, silakan keluar dari sekarang!" Zein menyindir Intan.

 

Padahal dia yang memanggil Intan untuk datang ke sana. Namun, dia pula yang mengusirnya. Sebenarnya Zein hanya kesal karena Intan menggunjingnya tadi. Sehingga ia ingin menghukum dokter muda itu.

 

Intan sempat terkejut kala mendengar operasinya begitu lama. Namun ia tidak ingin mundur karena kesempatan seperti ini sangat langka.

 

Akhirnya Zein pun memulai operasinya. Selama itu Intan memperhatikan apa saja yang dilakukan oleh Zein. Ia pun terkesima melihat kepiawaian calon suaminya itu dalam melakukan operasi.

 

"Pantes aja dia dijuluki sebagai tangan magic. Ternyata dia memang ahli," gumam Intan pelan. Ia tidak melihat keraguan sedikit pun di wajah Zein.

 

Saat setengah perjalanan, Intan mulai mengantuk. Perutnya pun terasa lapar karena seharian ini ia baru makan sedikit.

 

'Kamu harus kuat, Intan! Jangan sampai Prof marah lagi,' batin Intan. Ia berusaha untuk tetap terjaga meski matanya sangat berat karena saat ini ia hanya menjadi penonton.

 

Sesekali Zein melirik ke arah Intan. Ia dapat melihat gadis itu sedang menahan kantuk. "Ini bukan tempat untuk tidur. Perhatikan baik-baik jika memang ingin belajar!" sindir Zein tanpa menoleh ke arah Intan.

 

Disindir seperti itu, Intan pun kembali segar. Ia berusaha berdiri tegak meski kakinya sudah hampir kram.

 

Beberapa jam kemudian, mereka sudah selesai melakukan operasi. Mereka keluar dari ruangan tersebut dan melepaskan pakaian (khusus operasi) masing-masing. Namun, Intan yang terakhir keluar dari ruangan itu, tiba-tiba kehilangan kesadaran saat hendak mencuci tangan.

 

"Intan!" pekik dokter anastesi yang berdiri lima meter dari Intan. Zein yang sedang mencuci tangan di dekat Intan pun langsung menoleh ke arahnya dan segera menangkapnya sebelum Intan terjatuh.

 

"Intan, bangun!" ucap Zein sambil berusaha menepuk pipi Intan. Tidak mendapat reaksi dari gadis itu. Zein pun segera menggendongnya dan membawa Intan ke sebuah ruangan.

 

"Tolong ambil peralatan saya!" pinta Zein. Ia ingin segera memeriksa calon istrinya itu.

 

Meski belum memiliki perasaan terhadap Intan. Namun Zein khawatir jika terjadi sesuatu terhadapnya. Bagaimana pun dia adalah konsulen yang harus bertanggung jawab jika terjadi kecelakaan kerja pada Intan.

 

Tak lama kemudian perawat memberikan peralatan pada Zein. Lalu ia langsung memeriksa kondisi Intan. Mulai dari detak jantung, kornea mata, hingga tekanan darahnya.

 

"Kenapa aku baru sadar wajahnya pucat sekali," gumam Zein. Ia yang terlalu sibuk dengan pekerjaannya itu baru menyadari bahwa Intan terlihat begitu pucat.

 

"Tolong ambil glukometer (alat untuk mengecek kadar gula darah)!" pinta Zein pada suster yang masih berdiri di dekatnya.

 

Beberapa saat kemudian, hasil test darah Intan sudah terlihat. Ternyata dia kekurangan gula darah hingga pingsan seperti itu.

 

'Apa aku keterlaluan?' batin Zein. Ia merasa bersalah karena telah memforsir Intan.

 

Seminggu terakhir Zein memberikan beban kerja yang cukup berat pada Intan. Setiap hari Intan pergi pagi pulang malam. Bahkan tak jarang ia baru bisa pulang dini hari.

 

Zein sengaja ingin menggembleng gadis itu agar bisa menjadi dokter yang kuat dan mampu menghadapi berbagai situasi. Namun sayangnya ia tak tahu bahwa Intan 'berbeda' dari calon dokter pada umumnya.

 

Calon dokter lain kebanyakan berasal dari kalangan menengah atas. Sehingga mereka tidak perlu memikirkan hal apa pun selain tugasnya untuk menjadi dokter.

 

"Biar saya antar dia pulang! Saya konsulennya, jadi harus bertanggung jawab terhadapnya," ucap Zein pada suster. Secara tidak langsung ia ingin suster itu mengurus izin Intan. Ia pun ingin menjelaskan bahwa dirinya tidak ada hubungan apa-apa selain pekerjaan.

 

"Baik, Dok. Nanti akan saya sampaikan ke bagian kepegawaian," jawab suster. Bagi Zein mungkin tidak masalah pergi atau datang kapan saja ke rumah sakit itu. Namun Intan yang hanya sebagai koas harus memperhatikan absennya.

 

Zein pun kembali mengangkat Intan dan membawanya ke mobil yang terparkir di depan lobby. Sebagai pemilik rumah sakit, Zein memiliki fasilitas parkir VIP.

 

Saat ini Zein dan Intan masih mengenakan pakaian operasi. Ia tidak sempat mengganti pakaian karena kejadiannya begitu cepat.

 

"Kenapa kamu bisa sampai kekuarangan gula darah seperti itu? Apa kamu memang lemah?" gumam Zein. Ia masih tidak habis pikir gadis seusia Intan bisa kekuarangan gula darah hanya karena beban pekerjaan yang padat.

 

Beberapa saat kemudian, mereka sudah tiba di rumah Intan. Saat ini Intan hanya butuh istirahat dan asupan gizi yang cukup. Sehingga Zein memilih untuk membawanya pulang.

 

"Ini rumahnya?" gumam Zein. Ia tak menyangka seorang calon dokter seperti Intan hidup di rumah yang sangat sederhana. Bahkan terbilang kecil.

 

Saat pertemuan keluarga mereka semalam bertemu di sebuah restoran. Sehingga Zein belum mengetahui bagaimana kondisi keluarga Intan saat ini. Tadi ia menghubungi Ibu Intan untuk menanyakan alamat rumahnya yang memang sudah pindah sejak lama.

 

"Assalamu alaikum," ucap Zein saat berada di depan pintu rumah Intan.

 

"Waalaikum salam," sahut ibu Intan. Kemudian ia membukakan pintu untuk Zein.

 

"Lho, Nak Zein? Intan kenapa?" tanya ibunya. Ia yang memiliki kelainan jantung itu sangat terkejut melihat anaknya tidak sadar seperti itu.

 

"Ibu jangan khawatir! Intan hanya kelelahan," jawab Zein. Kemudian ia dipersilakan masuk dan membawa Intan ke kamar.

 

"Ya ampun, Intan. Dia ini memang susah dinasihati. Sudah berulang kali Ibu bilang jangan diforsir tenaganya, tapi dia tetap keras kepala," keluh Ibu.

 

Meski Ibu sedang sakit, tetapi ia masih bisa beraktifitas seperti orang normal. Hanya saja pergerakannya tidak begitu gesit dan tidak boleh kelelahan.

 

Zein bergeming. Ia merasa bersalah karena dirinya yang telah membebani Intan. Ia merebahkan Intan di tempat tidur. Kemudian Ibu Intan kembali bercerita.

 

"Terima kasih ya, Na,?" ucap Ibu.

 

"Sama-sama, Bu. Ini sudah kewajiban saya," sahut Zein.

 

Saat ini ia sedang berdiri di samping Intan. Sementara Ibu duduk di salah satu sisi tempat tidur.

 

"Sejujurnya Ibu merasa bersalah karena sebagai orang tua tidak bisa mencukupi kebutuhan hidup kami. Sehingga Intan bekerja keras mencari uang dan belajar demi mendapat beasiswa," ujar Ibu.

 

Deg!

 

Zein terkesiap. "M-maksudnya bagaimana ya, Bu?" tanyanya.

 

"Mungkin Nak Zein tahu bagaimana sibuknya Intan di rumah sakit. Namun, meski begitu, ia tidak mengurangi aktifitasnya di rumah. Setiap hari sebelum berangkat kerja, Intan membersihkan rumah dan memasak untuk Ibu yang sakit ini," jelasnya. ia tidak tahu bahwa Intan sering dimarahi oleh Zein karena terlambat.

 

Ekspresi wajah Zein langsung berubah. Hatinya pun tidak karuan. Ia mendadak merasa jadi orang jahat.

 

"Bahkan, sepulang dari rumah sakit pun ia masih harus bergadang demi mendapatkan uang dengan menulis. Belum lagi dia belajar mati-matian agar beasiswanya tidak dicabut," ujar Ibu sambil menitikan air mata.

 

Zein merasa tertampar setelah mendengar penjelasan Ibu. Ia tidak menyangka ternyata beban hidup Intan cukup berat. Ia pikir selama ini Intan hanya seorang pemalas yang selalu kesiangan.

 

"Jadi selama ini Intan kurang istirahat, Bu?" tanya Zein. Entah mengapa hatinya terasa begitu perih membayangkan perjuangan Intan.

 

Ibu mengangguk. "Iya ... mungkin dalam sehari Intan hanya tidur selama 2 jam," jawab Ibu sambil menahan perih di hatinya.

 

Zein tercekat. Dirinya saja yang tidur selama kurang lebih 6 jam dalam sehari masih merasa kurang. Sedangkan Intan hanya tidur selama 2 jam. Ia pun menatap Intan dengan perasaan yang berkecambuk.

 

'Kenapa kamu membuat aku jadi seperti orang jahat begini?' batin Zein dengan hati yang bergetar.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status