“Apa benar kau dikutuk?” tanya Pangeran Hitam menyuarakan isi kepalanya.
Amanda hanya membuka dan mengisi udara dengan mulutnya tanpa ada satu pun kata yang berhasil keluar, sedangkan hidungnya seperti berhenti menghirup oksigen.
“Kau penyakitan?!” tanya pria itu lagi, kali ini dengan intonasi yang lebih tinggi. Hanya isakan sebagai jawaban. Pangeran Hitam yang tak sabaran mendorong Amanda ke tembok.
BRAK!
Sekarang Pangeran Hitam mengungkung gadis mungil itu sembari mendongakkan dagunya. “JAWAB!”, bentaknya yang malah membuat air mata Amanda semakin tak terkendali.
“Ck! Kau bisu ya? Atau tuli?!” kembali Pangeran Hitam bertanya dengan kasar.
“T-ti-ti ...,” Amanda tak berhasil menyelesaikan perkataanya, akhirnya ia hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban.
Pangeran Hitam memiringkan kepalanya, memperhatikan bibir merah Amanda yang juga gemetaran. Gadis itu sudah pucat pasi yang membuatnya semakin seputih kapas, andaikata Amanda adalah sebuah lukisan maka perpaduan netra ungu ametyst dan bibir merah cherry diatas kanvas putih kulitnya adalah kombinasi warna langka tapi sangat indah. Pria itu sedikit tertegun menikmati keindahan dalam belenggunya itu.
“Sial!” umpatnya kemudian entah karena apa.
Mata besar berwarna keunguan yang basah, dengan hidung mancung dan bibir merah merona yang terbuka sedikit, terisak-isak menahan tangis.
“Cantik. Sangat cantik,” batin Pria itu.
Netra hitam Pangeran mulai turun ke leher gadis itu, garis leher yang cantik mau tak mau membuat pria tampan itu menelan ludahnya. Kembali matanya menjelajahi tubuh gadis itu, matanya berhenti pada belahan dada yang terbingkai oleh maxi dress dengan belahan rendah. Padat berisi, membuat libido Pangeran Hitam tiba-tiba naik.
“Apa kau akan melaporkan semua hal yang akan terjadi malam ini pada Ratu?” bisiknya tepat di telinga Amanda. Gadis itu tak tahu harus menjawab apa pada pertanyaan yang tiba-tiba muncul dalam konteks yang tidak jelas.
“Ia melapor ke Ratu? Buat apa? Dan siapa dirinya?” tanyanya dalam hati.
“Hei ... Apa kau mandul?” suara berat Pangeran Hitam kembali terdengar di gendang telinga Amanda. Kali ini lebih jelas karena Pangeran menempelkan bibirnya tepat di daun kuping Amanda. Dan menggigitnya pelan. Seketika bulu roma gadis itu berdiri. Dan saat bibir tipis Pangeran mulai turun mengecupi tenguknya, Amanda berhasil mengeluarkan suaranya walau ketakutan yang teramat sangat masih menyelimuti.
“Pa-pa-pangeran ... .“
Dengan tangan gemetar gadis itu mencoba mendorong pria yang sedang meninggalkan tanda di ceruk lehernya.
“Ja-jang-jangan ... .”
Demi tuhan ia tak mengerti apa yang pria ini lakukan padanya, tapi hal itu membuat jantungnya berdetak kian cepat dan hawa panas mulai menjalar di sekujur tubuhnya. Pangeran Hitam menghentikan hisapannya, ia kembali menatap tajam gadis itu.
“Kau bisa bicara juga ternyata, kukira kau bisu. Jadi apa kau akan melaporkan segala hal pada sang Ratu? Berapa banyak ia membayarmu?”
Alis Amanda bertaut, “A-aku ... t-tak ... m-mengerti, s -sungguh ...,” jawabnya kemudian terisak kembali. Rahang Pangeran Hitam mengeras, ia tampak sangat jengkel tak berhasil mendapat informasi yang dia harapakan.
“Jangan kira aku mudah dibodohi! Sudah beratus-ratus orang mengeluarkan air mata di depanku, kemudian menusukku dari belakang, dan kau tak ada bedanya dengan mereka!” ucap pria itu sambil mencengkram kedua lengan Amanda dan membuat matanya sejajar dengan gadis itu. Menatap tajam pada netra ungu yang masih terus dialiri air. Amanda menghentikan kontak mata itu dengan menutupi kedua netranya.
Kembali bentakan keluar dari mulut sang Pangeran, “JANGAN TUTUP MATAMU!” dan cengkraman di kedua lengan gadis itu semakin erat. Gadis itu langsung membuka matanya, melemparkan pandangannya jauh ke pintu di seberang tempat mereka berdiri.
“Tuhan, aku takut. Aku ingin lari, lari sejauh mungkin dari ruangan ini! Aku bahkan tak tahu nama pria ini!” batin Amanda.
Jika dibandingkan ketakutannya pada pria ini maka ketakutan pada keluarga tirinya bukanlah apa-apa. Setidaknya keluarga tirinya tetap akan membiarkannya hidup, berbeda dengan monster besar yang mengukungnya sekarang.
“Tatap aku!” desis Pangeran dengan nada memerintah. Kembali sepasang manik ungu itu bertemu dengan netra hitam kelam. Amanda bisa merasakan napas berat sang Pangeran, ekspresinya tampak menginginkan sesuatu dan saat ini tak ada jarak di antara tubuh mereka. Gadis itu merasa ada sesuatu yang menekan perutnya, seringai muncul di bibir tipis pria tampan itu.
“Siapa namamu?” tanya Pangeran Hitam dengan suara baritonnya.
“A-a-amanda W-w-wha-white ...,” jawab gadis itu parau.
Pangeran Hitam menaikkan sebelah alisnya. “Hmm. Aku akan memberikanmu bahan untuk dilaporkan kepada sang Ratu,” ujarnya sebelum merobek gaun pengantin Amanda White.
Amanda menjerit kencang saat baju yang ia kenakan koyak oleh tangan besar Pangeran. “Ahh!” Gadis itu langsung menutupi bagian atas tubuhnya, sedangkan sosok tampan itu masih mendominasi dirinya.“Hei ... jangan berteriak seperti itu, orang-orang bisa mengira kalau akulah orang jahatnya,” bisik Pangeran Hitam sambil tersenyum penuh arti. Setelah berkata seperti itu, dengan sekali ayun Pangeran Hitam mengangkat Amanda White dalam gendongannya. Menghempaskan gadis itu di atas ranjang, segera Amanda membuat jarak sejauh mungkin dengan pria tinggi besar itu, tapi kepala ranjang mewah itu menghalanginya.Pangeran Hitam membuka kancing baju yang ia kenakan dengan tak sabar, kemudian menjatuhkan kemeja hitam itu di sisi ranjang. Terlihat dada bidang dengan bekas guratan luka di sana-sini, seluruh tubuhnya tampak memiliki luka teriris benda tajam yang teramat dalam. Pria itu kemudian naik ke atas ranjang sembari menarik kaki Amanda sehingga gadis i
Menjelang pagi, Baron Broke dengan semangat menuju kediaman Duke Alantoin, kakak kandung Ratu sekaligus seseorang yang berada di balik layar pernikahan Pangeran Hitam dan Amanda White. Pria tua itu berencana menagih sisa imbalan yang akan ia terima ketika putrinya telah dipersunting oleh Pangeran Hitam.Baron Broke mulai berbasa-basi saat tuan rumah sudah berada satu ruangan dengannya. Duke Alantoin duduk dengan kepala mendongak dan kaki terlipat, mengacuhkan kata apa pun yang keluar dari mulut pria dengan janggut tebal itu. Sedikit kesal mendapat perlakuan tak hormat, Baron Broke langsung menyatakan tujuan sebenarnya kesini, “Duke Alantoin, aku akan mengambil sisa imbalanku, pengorbanan anakku butuh biaya yang tak sedikit.”Duke Alantoin menaikkan sebelah alisnya “Pengorbanan anakmu? Dia sudah mati?”Baron Broke menelan salivanya, “Be-belum ... .““Belum? Berarti Pangeran Hitam membawanya serta?” tanya Duke
Dan waktu terus berjalan, tetapi siksaan dari ayah kandungnya tak pernah reda, begitu pun dari ibu dan adik tirinya. Mereka merasa Amanda adalah aib besar di keluarga Broke, selain karena gadis itu yang terlahir berbeda dari kebanyakan orang, ia juga ditinggal begitu saja setelah malam pernikahannya dengan Pangeran Hitam seolah menambah daftar panjang kenapa Amanda White begitu dibenci seluruh keluarga Broke.“Sepertinya sudah mulai memudar,” gumam Amanda, bukan merujuk pada noda hitam yang sudah tersingkir pada pantat kuali yang ia gunakan untuk bercermin melainkan pada luka memar di atas tulang pipinya. “Ayah tak pernah seperti ini. Ayah tak pernah memukulku, walau ia tak menyukaiku.”Amanda sadar, sejak lama Baron Broke seakan kehabisan napas ketika harus satu ruangan dengan dirinya. Tapi hanya saat mereka berdua, begitu ibu kandung Amanda masuk ke ruangan yang sama, suasana jadi begitu berbeda, hangat dan penuh cinta, seperti keluar
“Oh ...,” jawab Amanda singkat mendengar kabar itu, sedangkan tiga pelayan lainnya menatap ke arahnya dengan gugup.“Dia tak akan melaporkan perbuatan kita pada suaminya, ‘kan?” bisik pelayan yang sedari tadi memerintah Amanda pada pelayan lain yang urung memakan sup di depannya.“Tenang saja ia sudah dilupakan, bahkan jika ia memberi tahu suaminya kurasa Tuan Besarlah yang pertama mati.”Amanda melirik sekilas pada mereka, kemudian kembali melanjutkan memotong tumpukan labu di hadapannya.“Kau tak tahu? Pangeran tak pernah memberimu kabar? Ayahmu tak memberi tahu?” tanya Nesa bertubi-tubi.Amanda menggeleng pelan. “Tidak” jawabnya lirih.Pelayan yang tadi berbisik itu tersenyum sambil menaikkan kedua alisnya. “Lihat aku benar ‘kan, ia tak memiliki daya tarik! Pangeran terlalu jijik padanya hingga tak mau menyentuhnya dan sekarang malah sudah melupakannya!” u
Perhelatan besar untuk menyambut sang tuan rumah digelar di kediaman Pangeran Hitam. Tapi sebelum ke kediamannya, Illarion Black atau yang lebih dikenal dengan Pangeran Hitam memberi hormat terlebih dahulu pada sang Raja Abraham di ruang peristirahatan pribadinya. Raja tua itu masih terbujur lemah di atas ranjang yang tertutup oleh kelambu mewah berwarna merah maron. Pangeran Hitam berlutut memberi hormat pada sang Raja. “Kali ini Exilas?” tanya Raja sedikit parau tapi tak sedikit pun mengurangi karisma yang dimiliki penguasa Anarka itu. “Ya,” jawab Pangeran Hitam singkat. Raja tua itu terkekeh. “Sebuah kemenangan besar kau dapatkan, tapi kenapa nada suaramu seperti kau kalah perang, Rion?” “Maaf,” jawab Pangeran Hitam singkat sekali lagi. Tak berminat sedikit pun menjawab panjang lebar pertanyaan sang Raja. Sedikit bangkit dari sandaran kepala kasurnya, Raja tersenyum sinis. “Ah rupanya kau masih membenciku, Rion.” Pangeran Hitam masi
Pangeran Hitam menembus dinginya malam dengan berkuda. Tujuan yang di tempuh tak begitu jauh, hanya sekitar beberapa jam saja dibanding ke kota-kota lain yang harus memakan waktu berhari-hari dari ibu kota Anarka. Sedikit cemas mengingat perkataan Raja tadi, Illarion jadi mengingat perkataanya ketika meninggalkan kediaman gadis itu terakhir kali. “Kita balik keperbatasan dan bawa semua pengawal. Dia akan aman karena syarat dari Raja sangat melindunginya, ia pun masih keluarga sang Ratu. Lagipula Raja tak memberi syarat bahwa aku harus bersamanya selama setahun.” Rion tak menyangka celah kecil dari perintah Raja yang ia temukan dianggap sebagai sebuah pengkhianatan oleh Raja. “Pria tua itu benar-benar ingin aku berkubang dengan keluarga setan wanita,” umpat Pangeran Hitam sambil terus memacu kudanya menuju Sulli. Sesampai di sana, Illarion Black heran melihat kediaman keluarga Broke yang temaram, tak semegah terakhir seperti terakhir kali yang ia ingat. Dan ha
“Duduk? Kurasa kau sudah tak menyayangi nyawanmu lagi! Benar-benar kurang ajar, hanya karena ku nikahi kau jadi besar kepala dan berani memerintahkanku untuk duduk! Kau kira aku binatang apa! Eh... .” Tiba-tiba Rion menyadari sesuatu, terlebih saat Amanda kembali berteriak hal yang sama, tapi kali ini tangan putih itu menunjuk pada kucing hitam yang sekarang sedang duduk manis sambil menjilat-jilat kaki depannya.“Nama kucing itu-,“ Rion menghentikan kalimat tanyanya.Amanda yang berlinang air mata menatap pria itu dengan ketakutan. “Ma-maaf sa-saya benar-benar minta maaf, Tuan. Tapi saya memberi nama kucing itu jauh sebelum saya mengenal Tuan. Saya benar-benar minta maaf....” Amanda masih mengucapkan beribu kali kata ‘maaf’ sambil bersujud dengan tubuh gemetar, sedangkan di sampingnya si kucing dengan polosnya masih menjilat-jilat tubuh berbulu hitamnya.Rion tercenung menyadari apa yang terjadi, ia nyaris saja me
Amanda tampak berpikir sejenak, kemudian ia memeras kain steril itu sambil membuka mulutnya dan menelan cairan merah yang menetes dari perasan itu. Rion berdecih. “Kau bisa saja menahan cairan itu dengan lidahmu.” Mendengar Rion yang tampak kurang puas dengan cara pembuktiannya, Amanda kembali memeras kain kemerahan itu dan meneteskan ke matanya, tak lupa ia juga meneguk sedikit cairan merah di cawan yang berada di atas meja. Rion tersenyum saat melihat kerutan di dahi gadis berkulit putih itu. Amanda tampak menahan mati-matian rasa pahit yang sekarang menjalar di lidahnya. Gadis itu berdiri tegak di hadapan Pangeran Hitam, menunggu jikalau ada reaksi dari tindakannya barusan. Beberapa menit berlalu, Amanda mulai tampak gugup karena tatapan tajam Illarion yang seolah mempelajari dirinya. “Menjijikan, kulit yang putih seperti ular derik seperti kata Gisella, pasti ia berpikir seperti itu,” batin Amanda sambil menunduk memperhatikan kulitnya. “Dan rambu