Manik ungu Amanda melebar, kedua tangannya gemetaran sambil mengenggam erat buket mawar merah. Untunglah veil putih tulang menutupi setengah tubuhnya hingga mampu menghalangi pandangan orang-orang terhadap dirinya.
“A-ayah ...,” ujar Amanda dengan perasaan kalut.
“Jangan buat aku malu di hadapan ratusan tamu,” bentak Baron Broke sambil menarik tangan Amanda dan melingkarkannya ke lengannya.
Melihat tangannya yang tersampir di lengan ayahnya, terbersit perasaan bahagia di dada Amanda. Walau ia tahu itu hanya kewajiban pura-pura pria tua itu sebelum mengirim dirinya sebagai tumbal pernikahan ini. Tapi bolehkah ia sedikit bahagia, dan membuat hal terakhir yang ayahnya lakukan sesuai presepsinya?
“Kasihan ...,” itu adalah kata pertama yang didengar Amanda ketika kakinya melangkah menuju Altar, gadis itu sampai menoleh, tapi hanya tatapan dingin dari ratusan pasang mata yang ia dapati.
Tiba-tiba atensi para tamu beralih ke sosok tinggi besar yang berdiri tepat di samping Pemuka Agama.
“Ah tampan sekali, bekas luka di wajah Pangeran Hitam malah menambah macho penampilannya. Kurasa rumor itu hanya bohong belaka.”
“Fisiknya sempurna, ia seperti pahatan Ares sang dewa perang di kuil Yunani kuno.”
“Jadi setelah fisiknya yang tak sesuai rumor apakah kenyataan dia membunuh istrinya juga hanya kebohongan?”
“Membunuh dan ketampanan adalah hal yang jauh berbeda! Duke Maltes dan Duke Gramer masih bersedih atas kematian putri-putri mereka.”
Mau tak mau Amanda sedikit penasaran dengan hal yang didengungkan oleh para tamu. Setelah ia sampai di atas altar, gadis itu sedikit mengangkat kepalanya, mencuri lihat pria yang berdiri menjulang di hadapanya.
Ternyata pria itu juga sedang menatapnya balik. Sorot matanya sangat tajam, rahang siku-sikunya mengeras, terlihat ingin menelan bulat-bulat gadis di hadapannya. Amanda langsung menundukkan pandangannya.
“Kenapa ia terlihat seperti itu?” tanya Amanda dalam hati, bulu tenguknya sampai berdiri. “Dia seperti sangat membenciku? Ini ‘kan pertemuan pertama kita.”
Bisik-bisik para tamu mulai surut saat pemuka Agama memulai upacara suci itu. Pangeran Hitam melirik Amanda dengan ekor matanya. Tatapan sangat dingin dan merendahkan terlihat jelas di mata sekelam malam itu. “Lintah.” umpatnya dalam hati.
Ikrar yang dibacakan lumayan panjang tapi sepasang manusia di depan altar tampak tak begitu mempedulikan, mereka sibuk dengan pikirannya masing-masing.
“Dengan ini kalian dinyatakan sebagai suami-istri,” ucap pemuka agama memberi berkat, diiringi tepuk tangan pelan dari para hadirin.
Biasanya upacara pernikahan akan di akhiri dengan ciuman hangat kedua mempelai yang mampu membuat para tamu undangan menangis terharu, tapi tidak dengan pernikahan Pangeran Hitam. Suasana sangat mencekam seakan hari ini diadakan upacara penjagalan alih-alih pesta pernikahan.
Kembali Pangeran Hitam terpaksa harus menunduk melihat gadis yang gemetaran di hadapannya, tinggi mereka sangat kontras. “Ck!” decak pria itu kemudian berbalik turun dari altar, mengurungkan niatnya membuka tudung veil pengantin wanitanya.
Gadis itu kebingungan ditinggal sendirian di atas Altar. “Susullah suamimu, anakku,” ujar pemuka Agama dengan lembut. Tergesa-gesa gadis itu turun dan mengikuti suaminya.
Terlihat Baron Broke sedang berbicara satu arah dengan menantu barunya. “Ah suatu hal yang membanggakan aku memiliki menantu seorang pangeran!”
“Oh kau tampan sekali, rumor yang beredar meleset jauh! Andaikata aku masih muda tentu aku bersedia kau nikahi, kau benar-benar tampan,” timpal istrinya tak tahu malu. Brenda mengakhiri puji-pujiannya terhadap pangeran ketika Amanda tiba-tiba datang ke sebelah pria tampan itu.
“Ah!” ucap Amanda ketika kakinya tersandung, tapi dengan cepat ia dapat menyeimbangkan diri. Baron Broke dan istrinya merengutkan muka, tatapan mereka langsung membuat Amanda menunduk dan gemetar.
Kembali kedua orang tua Amanda ‘menjilat’ tanpa henti, sedangkan lawan bicaranya malah sibuk melirik gadis mungil di sebelahnya, dan mulai merasa muak dengan suasana ini.
“Apa kalian sadar putri kesayangan kalian gemetar sedari tadi,” sindir Pangeran Hitam, memotong pembicaraan. Pasangan tua itu langsung menghadiahi Amanda tatapan membunuh, gadis itu juga tampak terkejut dengan ucapan pangeran yang tiba-tiba.
“Apa dia di bawah umur?” tanya Pangeran kembali.
“T-tidak! Tentu tidak! Dia sudah ada di usia yang pantas untuk menikah! Bahkan sudah lebih satu tahun dari usia yang pantas untuk menikah!” jawab Baron Broke meyakinkan diiringi anggukkan kepala istrinya.
Dan tak berapa lama pesta pernikahan itu pun berakhir tanpa ada acara basa-basi, tari-tarian atau ucapan selamat. Semakin membuat acara itu terasa kelam seperti aura upacara pemakaman hanya saja para hadirin tak mengenakan pakaian serba hitam melainkan warna-warni. Hingga malam pun tiba.
Amanda masih mengenakan gaun pengantinya, sambil berusaha melepas satu persatu tangkai bunga baby’s breath yang terjalin di rambut peraknya.
“Cantik sekali ... ,“ gumamnya sambil terpesona melihat dekorasi kamar, nyaris melupakan eksistensinya di ruangan ini untuk menyambut ‘suami’ barunya.
Namun kenyataan seolah menyadarkannya, suara dua orang pria berbicara di depan pintu membuat Amanda serasa ingin masuk ke perut bumi. Ketika pintu terbuka hawa dingin khas kota Sulli seolah terbawa ke dalam ruangan yang telah diberi penghangat.
“Oh Tuhan ... ,” ucap pengawal Pangeran Hitam ketika melihat sosok Amanda White, sedangkan suami gadis itu tampak diam membeku dengan mulut sedikit terbuka, tak kalah terkejut.
Untuk pertama kalinya mereka melihat seseorang dengan perbedaan yang begitu mencolok dari orang biasanya pada masa itu. Sedangkan Amanda langsung menunduk menghadap lantai, menekuk sedikit tubuhnya hingga rambut panjang keperakannya menutup sebagian wajahnya.
“Apa yang mereka pikir tentangku? Pasti mereka merasa aku makhluk menjijikan yang pantas untuk di bunuh,” ratap Amanda dalam hati.
“Ini pelecehan! Berani-beraninya mereka menjadikan gadis penyakitan sebagai istri Anda Tuan! Wanita itu dikutuk!” teriak pengawal Pangeran Hitam sambil menunjuk marah ke arah Amanda.
Gadis itu tak sanggup berkata apa pun, ia gemetar hebat seperti mangsa di hadapan pemburunya. Dengan langkah cepat Pangeran Hitam mendekati Amanda, disibaknya surai panjang yang menutupi wajah gadis itu sembari menarik dagu Amanda agar menatapnya.
Mata mereka bertaut, netra ungu besar itu memantulkan wajah Pangeran Hitam dengan ekspresi yang tak terbaca, tak berapa lama hingga Amanda menutup matanya, membuat air mata meleleh di kedua pipinya, berharap dengan itu bisa menghilangkan apa yang sedang terjadi.
“Tuan! Aku akan membunuhnya kemudian Duke-“
“Tidak, tak ada pembunuhan. Tak ada apa pun sampai perintahku selanjutnya,” potong Pangeran Hitam tajam.
“Tapi Tuan mereka-“
“Tinggalkan ruangan ini, Jendral!” perintah Pangeran tiba-tiba, dan pengawal itu masih bergeming di tempatnya.
“Tapi T-“
Pangeran Hitam berbalik menatap tajam anak buahnya. “Mungkin perlu kuingatkan Jendral, ini malam pernikahanku,” lanjutnya dingin.
Seketika pria yang mendampinginya sedari tadi itu langsung menunduk pamit meninggalkan ruangan. Kembali keheningan mencekam menghampiri, ditinggalkan berdua dengan seseorang yang tak segan-segan membunuh istri terdahulunya membuat Amanda tidak merasa lebih baik, bahkan ia sekarang benar-benar ketakutan.
Kembali Pangeran Hitam memperhatikan gadis gemetaran itu. “Berdiri,” perintahnya dingin.
Seketika hawa dingin menyelimuti sekujur tubuh Amanda White. Gadis itu mencoba berdiri seraya mengumpulkan sisa-sisa tenaga yang menguap karena ketakutan. Walau akhirnya bisa berdiri, tapi kaki Amanda masih gemetar hebat.
Pangeran Hitam menatap kepala Amanda yang masih tertunduk, terlihat segelintir tangkai bunga masih terselip di sana. Lalu, pria itu pun mengikis jarak di antara mereka.
Selintas pertanyaan muncul di benak Pangeran Hitam, “apa gadis ini..."
“Apa benar kau dikutuk?” tanya Pangeran Hitam menyuarakan isi kepalanya.Amanda hanya membuka dan mengisi udara dengan mulutnya tanpa ada satu pun kata yang berhasil keluar, sedangkan hidungnya seperti berhenti menghirup oksigen.“Kau penyakitan?!” tanya pria itu lagi, kali ini dengan intonasi yang lebih tinggi. Hanya isakan sebagai jawaban. Pangeran Hitam yang tak sabaran mendorong Amanda ke tembok.BRAK!Sekarang Pangeran Hitam mengungkung gadis mungil itu sembari mendongakkan dagunya. “JAWAB!”, bentaknya yang malah membuat air mata Amanda semakin tak terkendali.“Ck! Kau bisu ya? Atau tuli?!” kembali Pangeran Hitam bertanya dengan kasar.“T-ti-ti ...,” Amanda tak berhasil menyelesaikan perkataanya, akhirnya ia hanya menggelengkan kepala sebagai jawaban.Pangeran Hitam memiringkan kepalanya, memperhatikan bibir merah Amanda yang juga gemetaran. Gadis itu sudah p
Amanda menjerit kencang saat baju yang ia kenakan koyak oleh tangan besar Pangeran. “Ahh!” Gadis itu langsung menutupi bagian atas tubuhnya, sedangkan sosok tampan itu masih mendominasi dirinya.“Hei ... jangan berteriak seperti itu, orang-orang bisa mengira kalau akulah orang jahatnya,” bisik Pangeran Hitam sambil tersenyum penuh arti. Setelah berkata seperti itu, dengan sekali ayun Pangeran Hitam mengangkat Amanda White dalam gendongannya. Menghempaskan gadis itu di atas ranjang, segera Amanda membuat jarak sejauh mungkin dengan pria tinggi besar itu, tapi kepala ranjang mewah itu menghalanginya.Pangeran Hitam membuka kancing baju yang ia kenakan dengan tak sabar, kemudian menjatuhkan kemeja hitam itu di sisi ranjang. Terlihat dada bidang dengan bekas guratan luka di sana-sini, seluruh tubuhnya tampak memiliki luka teriris benda tajam yang teramat dalam. Pria itu kemudian naik ke atas ranjang sembari menarik kaki Amanda sehingga gadis i
Menjelang pagi, Baron Broke dengan semangat menuju kediaman Duke Alantoin, kakak kandung Ratu sekaligus seseorang yang berada di balik layar pernikahan Pangeran Hitam dan Amanda White. Pria tua itu berencana menagih sisa imbalan yang akan ia terima ketika putrinya telah dipersunting oleh Pangeran Hitam.Baron Broke mulai berbasa-basi saat tuan rumah sudah berada satu ruangan dengannya. Duke Alantoin duduk dengan kepala mendongak dan kaki terlipat, mengacuhkan kata apa pun yang keluar dari mulut pria dengan janggut tebal itu. Sedikit kesal mendapat perlakuan tak hormat, Baron Broke langsung menyatakan tujuan sebenarnya kesini, “Duke Alantoin, aku akan mengambil sisa imbalanku, pengorbanan anakku butuh biaya yang tak sedikit.”Duke Alantoin menaikkan sebelah alisnya “Pengorbanan anakmu? Dia sudah mati?”Baron Broke menelan salivanya, “Be-belum ... .““Belum? Berarti Pangeran Hitam membawanya serta?” tanya Duke
Dan waktu terus berjalan, tetapi siksaan dari ayah kandungnya tak pernah reda, begitu pun dari ibu dan adik tirinya. Mereka merasa Amanda adalah aib besar di keluarga Broke, selain karena gadis itu yang terlahir berbeda dari kebanyakan orang, ia juga ditinggal begitu saja setelah malam pernikahannya dengan Pangeran Hitam seolah menambah daftar panjang kenapa Amanda White begitu dibenci seluruh keluarga Broke.“Sepertinya sudah mulai memudar,” gumam Amanda, bukan merujuk pada noda hitam yang sudah tersingkir pada pantat kuali yang ia gunakan untuk bercermin melainkan pada luka memar di atas tulang pipinya. “Ayah tak pernah seperti ini. Ayah tak pernah memukulku, walau ia tak menyukaiku.”Amanda sadar, sejak lama Baron Broke seakan kehabisan napas ketika harus satu ruangan dengan dirinya. Tapi hanya saat mereka berdua, begitu ibu kandung Amanda masuk ke ruangan yang sama, suasana jadi begitu berbeda, hangat dan penuh cinta, seperti keluar
“Oh ...,” jawab Amanda singkat mendengar kabar itu, sedangkan tiga pelayan lainnya menatap ke arahnya dengan gugup.“Dia tak akan melaporkan perbuatan kita pada suaminya, ‘kan?” bisik pelayan yang sedari tadi memerintah Amanda pada pelayan lain yang urung memakan sup di depannya.“Tenang saja ia sudah dilupakan, bahkan jika ia memberi tahu suaminya kurasa Tuan Besarlah yang pertama mati.”Amanda melirik sekilas pada mereka, kemudian kembali melanjutkan memotong tumpukan labu di hadapannya.“Kau tak tahu? Pangeran tak pernah memberimu kabar? Ayahmu tak memberi tahu?” tanya Nesa bertubi-tubi.Amanda menggeleng pelan. “Tidak” jawabnya lirih.Pelayan yang tadi berbisik itu tersenyum sambil menaikkan kedua alisnya. “Lihat aku benar ‘kan, ia tak memiliki daya tarik! Pangeran terlalu jijik padanya hingga tak mau menyentuhnya dan sekarang malah sudah melupakannya!” u
Perhelatan besar untuk menyambut sang tuan rumah digelar di kediaman Pangeran Hitam. Tapi sebelum ke kediamannya, Illarion Black atau yang lebih dikenal dengan Pangeran Hitam memberi hormat terlebih dahulu pada sang Raja Abraham di ruang peristirahatan pribadinya. Raja tua itu masih terbujur lemah di atas ranjang yang tertutup oleh kelambu mewah berwarna merah maron. Pangeran Hitam berlutut memberi hormat pada sang Raja. “Kali ini Exilas?” tanya Raja sedikit parau tapi tak sedikit pun mengurangi karisma yang dimiliki penguasa Anarka itu. “Ya,” jawab Pangeran Hitam singkat. Raja tua itu terkekeh. “Sebuah kemenangan besar kau dapatkan, tapi kenapa nada suaramu seperti kau kalah perang, Rion?” “Maaf,” jawab Pangeran Hitam singkat sekali lagi. Tak berminat sedikit pun menjawab panjang lebar pertanyaan sang Raja. Sedikit bangkit dari sandaran kepala kasurnya, Raja tersenyum sinis. “Ah rupanya kau masih membenciku, Rion.” Pangeran Hitam masi
Pangeran Hitam menembus dinginya malam dengan berkuda. Tujuan yang di tempuh tak begitu jauh, hanya sekitar beberapa jam saja dibanding ke kota-kota lain yang harus memakan waktu berhari-hari dari ibu kota Anarka. Sedikit cemas mengingat perkataan Raja tadi, Illarion jadi mengingat perkataanya ketika meninggalkan kediaman gadis itu terakhir kali. “Kita balik keperbatasan dan bawa semua pengawal. Dia akan aman karena syarat dari Raja sangat melindunginya, ia pun masih keluarga sang Ratu. Lagipula Raja tak memberi syarat bahwa aku harus bersamanya selama setahun.” Rion tak menyangka celah kecil dari perintah Raja yang ia temukan dianggap sebagai sebuah pengkhianatan oleh Raja. “Pria tua itu benar-benar ingin aku berkubang dengan keluarga setan wanita,” umpat Pangeran Hitam sambil terus memacu kudanya menuju Sulli. Sesampai di sana, Illarion Black heran melihat kediaman keluarga Broke yang temaram, tak semegah terakhir seperti terakhir kali yang ia ingat. Dan ha
“Duduk? Kurasa kau sudah tak menyayangi nyawanmu lagi! Benar-benar kurang ajar, hanya karena ku nikahi kau jadi besar kepala dan berani memerintahkanku untuk duduk! Kau kira aku binatang apa! Eh... .” Tiba-tiba Rion menyadari sesuatu, terlebih saat Amanda kembali berteriak hal yang sama, tapi kali ini tangan putih itu menunjuk pada kucing hitam yang sekarang sedang duduk manis sambil menjilat-jilat kaki depannya.“Nama kucing itu-,“ Rion menghentikan kalimat tanyanya.Amanda yang berlinang air mata menatap pria itu dengan ketakutan. “Ma-maaf sa-saya benar-benar minta maaf, Tuan. Tapi saya memberi nama kucing itu jauh sebelum saya mengenal Tuan. Saya benar-benar minta maaf....” Amanda masih mengucapkan beribu kali kata ‘maaf’ sambil bersujud dengan tubuh gemetar, sedangkan di sampingnya si kucing dengan polosnya masih menjilat-jilat tubuh berbulu hitamnya.Rion tercenung menyadari apa yang terjadi, ia nyaris saja me