"Bram," gumam Tiara yang langsung melebarkan mata.Tidak menyangka sekaligus terkejut, itulah yang Tiara rasakan saat membuka mata, sudah berada dalam gendongan Bram. Pria yang sekarang sering tiba-tiba berubah sikap menjadi tak menentu, sangat berbeda jauh dengan Bram yang sembilan tahun lalu Tiara kenal.Layaknya bridal style, Bram tetap acuh menggendong Tiara meski tahu wanita itu sudah terjaga."Turunkan saja aku, aku masih bisa berjalan, Bram," ucap Tiara."Diamlah, dan jangan banyak bergerak," sela Bram tegas membuat Tiara langsung mengatupkan mulutnya.Setelah mengucapkan terima kasih pada pemilik rumah, Bram berjalan pelan menuruni tangga yang juga terbuat dari kayu menuju mobilnya terparkir."Cepatlah masuk, sebelum hujannya semakin deras."Tiara hanya bisa menurut, saat Bram menurunkan dirinya dan membukakan pintu samping kemudi. Bertepatan dengan air dari langit yang mulai menetesi bumi."Kita mau kemana?" tanya Tiara begitu Bram sudah duduk di sampingnya.Sebenarnya, Tiara
"Apa kau kira Nana hanya putrimu! mau sampai kapan kamu menyimpan semua kebenaran ini, Tiara!" lirih Bram dengan wajah merah padam, menandakan jika pria itu sudah tersulut emosi. "Bahkan, aku tidak tahu dengan jalan berpikirmu. Setelah memilih menikah dengannya, kamu juga membuat putriku tumbuh tanpa seorang ayah. Dimana akal sehatmu, hah!"Kemarahan Bram tak terbendung lagi, amarah yang sejak kemarin ia tahan kini meledak sudah. Apalagi melihat reaksi Tiara yang masih saja berprasangka buruk terhadapnya, membuat percikan api dalam diri Bram, dengan cepat berubah kobaran yang siap membakar siapa saja.Sementara Tiara, sontak tubuhnya membeku mendengar semua rentetan kalimat yang meluncur dari mulut Bram. Ia begitu terkejut, ternyata suaminya itu sudah mengetahui bahwa Nana adalah putri mereka. 'Sejak kapan Bram mengetahui itu, lalu apa yang terjadi dengan Nana, dimana dia?' batin Tiara semakin tak menentu."Dimana putriku, apa yang terjadi padanya?" Tiara memberanikan diri untuk berta
"Apa aku terlihat seperti itu!" sentak Thomas yang langsung terjingkat bangun dan melempar tatapan tajam pada pria yang duduk tenang di depannya.Daniel menyeringai."Tidak, hanya saja–" ucapnya sengaja menggantung, untuk mancing reaksi Thomas. Dan, benar saja pria itu seketika menggeram kesal karena ulahnya."Hanya apa! bicaralah yang benar, jangan setengah-setengah, atau kau bisa membuat orang lain salah paham!"Selain menjawab ketus, Thomas juga melempar tatapan sinis pada Daniel yang justru menahan senyum, merasa usahanya membuahkan hasil.'Cih, ternyata kau masih saja labil,' batin Daniel."Kau sengaja menggodaku?" tanya Thomas penuh selidik."Entahlah, mungkin ini hanya perasaanku saja. Tadi, aku melihat ada yang tak biasa pada dirimu. Saat kau melihat Tiara, tatapanmu itu, yah .. sangat sulit aku artikan. Aku hanya berharap kau masih bisa menahan diri melihat istri dari kakakmu sendiri. Tapi, sudahlah, mungkin aku saja yang terlalu berlebihan." Mengabaikan reaksi Thomas yang me
Bangun lebih dulu, Tiara buru-buru mengecek suhu tubuh Nana, dan sejurus kemudian senyum lega-pun menghiasi wajahnya."Syukurlah, suhu tubuhnya sudah normal."Setelah itu, pandangan Tiara teralihkan ke samping kiri, dan mendapati Bram yang tengah terlelap dengan bersedekap dada. Melihat posisi tidur suaminya itu, Tiara beranggapan jika Bram tengah menahan hawa dingin yang dihasilkan oleh pendingin ruangan. Tiara-pun perlahan turun dari ranjang saat tahu hari sudah pagi, ia lalu menarik selimut agar bisa menutupi tubuh Bram. Setelah menegakkan tubuh, Tiara mengedarkan pandangan seraya bergumam, "Dimana kamar mandinya?"Merasa penasaran dengan satu-satunya pintu yang ada di dalam kamar itu, Tiara berjalan mendekat lalu memasukinya."Rupanya ini ruang ganti," ucapnya setelah tahu di dalam ruangan itu terdapat beberapa lemari berukuran besar, dan sedang. Tiara kembali mengedarkan pandangan, ia merasa begitu kagum akan banyaknya perlengkapan Bram yang tersimpan di ruangan itu. Mulai dar
"Mama .."Mendengar suara yang sangat dirindukan mamanggil pelan, Tiara yang sebelumnya hendak menyingkap hordeng, seketika menoleh."Iya sayang," jawabnya lembut."Mama," panggil Nana lagi masih dalam kurungan dekapan Bram."Mama kapan pulang, mama kemana, kenapa perginya lama sekali." Nana menangis seraya merentangkan kedua tangannya, menyambut pelukan sang ibu.Suara isakan Nana rupanya mengusik Bram hingga membangunkan pria itu. Karena khawatir sekaligus terkejut, Bram sontak berjingkat duduk dan hendak menenangkan Nana. Namun, saat tahu Tiara berjalan mendekat. Bram hanya bisa menghela nafas, lalu beringsut mundur dan memilih menyandarkan punggungnya untuk meredakan rasa nyeri di kepala karena terkejut bangun."Mama .. Nana kangen." Bocah itu semakin terisak dalam dekapan ibunya.Bram bergeming melihat pertemuan haru di dekatnya, ia memilih memijat keningnya untuk meredam rasa nyeri."Maafkan mama ya nak, sudah membuat Nana menunggu. Kemarin mama ada pekerjaan di tempat jauh, sa
Sari berpikir realistis, jika mobil sport yang tengah ia perhatikan itu, mungkin saja sangat mudah dimiliki oleh para orang-orang seperti Bram. Bukan hanya warna, bahkan bentuk yang sama-pun sudah hal yang biasa. Meskipun terselip keraguan di hati kecil Sari, saat menelisik dan memperhatikan plat nomor yang sama, besar kemungkinan itu memang mobil yang sama yang sering ia lihat di depan sekolah Nana."Sudahlah, mungkin hanya kebetulan saja," gumamnya memupus segala kemungkinan buruk yang coba mempengaruhi pikirannya. Sari memilih mendekati penjaga kebun. Tapi sialnya, setelah berada di jarak yang cukup dekat, Sari baru menyadari jika pagi itu bukan mang Asep yang bertugas. Entah ada berapa penjaga kebun di rumah itu, Sari juga tidak paham. Bukankah sultan bebas mau mempekerjakan siapa saja?"Maaf, dimana Mang Asep, kenapa saya tidak melihatnya," tanya Sari yang seketika membuat pria itu menegakkan tubuh dan menoleh ke arahnya."Pagi ini Mang Asep mendapat giliran libur nona, lusa
Tiara sarapan dengan tenang, setelah menyuapi dan memberi Nana obat. Kini dirinya ikut bergabung bersama Bram, Thomas juga Daniel di meja makan. Awalnya Tiara berniat menunggu para lelaki selesai lebih dulu, baru gantian dirinya. Namun, saat mengingat kewajibannya harus melayani Bram, akhirnya Tiara memutuskan turun setelah memanggil Sari untuk menemami Nana di kamar."Kak," panggilan Thomas memecah keheningan di meja makan.Bram yang sudah menyelesaikan sarapannya lebih dulu, menoleh sekilas ke arah Thomas, begitu mendengar panggilan adiknya itu. Ia lalu, beralih meraih segelas air putih, dan menenggaknya hingga menyisakan sedikit. "Kau ingin mengatakan sesuatu." Setelah meletakkan gelas, Bram bisa menangkap jika Thomas ingin mengatakan sesuatu padanya, namun terlihat ragu."Bicaralah," lanjut Bram seraya menumpukan kedua tangan di atas meja, setelah menggeser piring bekasnya sedikit menjauh. Sementara Tiara yang duduk di sisi kiri Bram, memilih diam menyimak."Izinkan aku mengurus
"Sar, bisa kita bicara sebentar?"Begitu masuk kamar dan mendapati Nana sudah mau bermain dengan boneka-bonekanya. Tiara mengajak Sari memasuki balkon kamar Bram."Ada apa mbak, sepertinya serius sekali?" tanya Sari ketika mereka sudah duduk di sofa panjang menghadap langit pagi menjelang siang. Lumayan terik, namun hal itu tak mempengaruhi Tiara---rasa ingin tahu lebih mendominasi dirinya."Sar, apa di keluarga mas Ziyan ada perempuan yang bernama Metha?" Tiara langsung bertanya pada intinya.Tidak terlalu dekat dengan keluarga mendiang Ziyan, membuat Tiara tentu saja penasaran dengan sosok yang baru saja ia tanyakan tadi. Pasalnya Bram dan yang lain selalu mengaitkan nama perempuan itu dengan keluarga Hutoyo. Nama besar mantan mertuanya yang sayangnya enggan mengakui dirinya sebagai menantu hingga sekarang.Namun terlepas dari itu, Tiara tetap menghormati pria paruh baya itu meski enam tahun lalu terang-terangan menolak dirinya sebagai menantu."Sebenarnya mas Ziyan memiliki adik pe