Terdapat sepeda usam di samping rumah pada pondok kecil seperti tempat parkir ber atap daun. Renja meninggalkan sapu halamannya, dia baru melihat sepeda hari ini sebab baru mencoba mendekati tempat itu. Renja mengecek keadaan sepeda, tidak ada kerusakan kecuali ban yang sedikit kempes.
Renja naik di atasnya, mengayuh di sekitar saja untuk pengetesan. "Lumayan, bisa dibawa ke pasar." Renja turun, memeriksa keranjang depan yang terbuat dari kawat. Memang agak berkarat, tetapi masih kuat menahan bahan masakan. Renja mendapatkan hiburan setelah bersedih sepanjang pagi. Dia kembali naik ke atas sepeda, mengelilingi rumah melewati jalan tanah padat di sekitarnya. Senyum terbit di antara mata yang bengkak, angin ciptaan dari setiap kayuhan di kakinya mengayun rambut untuk menari-nari. Sepeda ... Renja sudah lama tidak menaikinya, dia merasakan nostalgia ketika dia masih SMP pulang balik ke sekolah, atau pergi beli sesuatu yang disuruh mama dengan mengayunkan kakinya di pedal. Sudah berapa lama itu? Sekarang usianya sudah 21 tahun bahkan sudah menikah. Renja berhenti, menurunkan sebelah kaki tepat di dekat sapu yang ia buang tadi. "Menikah?" Dia mengulang sesuatu yang membuat kegembiraannya surut. Renja turun, memungut kembali sapu tersebut. Dia mangayun sapu menyingkirkan daun-daun kering pada rumput hias yang cantik. "Ya, aku sudah menikah," gumam Renja separuh mengeluh. Faktanya dia belum bertemu sang suami setelah tiga hari ditinggalkan sendiri di lingkungan yang belum Renja kenal. Suara motor terdengar akan mendekat, tetapi Renja tidak tertarik sebab itu bukan suara motor suaminya. Renja terus menyapu, sedikit membungkuk membiarkan rambutnya tergerai membentuk tirai yang menutupi wajahnya dari pandangan orang lain. Motor itu padam dekat rumahnya, lalu Renja menoleh sambil menyibak rambutnya berseri-seri. Siapa yang datang? Renja memandang lama seorang wanita berpenampilan kotor oleh oli mungkin. Rambutnya pendek, gayanya seperti laki-laki. Wanita tomboy itu menatap Renja dalam pemindaian dari atas sampai ke bawah. 'Cantik, tetapi tidak terawat,' pikirnya. Walaupun penampilan dia kotor oleh oli, rambut pendeknya lebih halus, pakaiannya jauh lebih layak dari pada pakaian kusam Renja serta rambut kering orang yang memegang sapu itu. 'Kulitnya juga kusam.' Tetapi dalam penampilan seperti itu, dia mengakui Renja tetap terlihat cantik. Bagaimana jika dia sudah bisa merawat dirinya sendiri nanti? "Cari siapa?" tanya Renja, tidak nyaman dengan cara pandang wanita berambut pendek itu. Wanita itu tidak turun dari motornya, dia berdecak lidah lalu menyunggingkan senyum. "Aku satu tempat kerja dengan suamimu, Darel. Namaku Yona." Yona berbangga diri. Di sini Renja seperti mendapatkan angin segar, berpikir bisa bertanya tentang Darel pada Yona. Dia tersenyum mengulurkan tangan untuk berkenalan, tetapi Yona mengabaikan niat baik Renja, hanya memandang hina. Renja menarik tangannya kaku, tidak mengerti kenapa Yona datang padanya jika dia berprilaku buruk seperti itu. "Semenjak membawamu ke sini, Darel tidak pernah pulang, kan?" singgung Yona. Ekspresi wajah Renja berubah, tidak terlihat sedih atau pun senang. "Iya, Darel mengatakan sesuatu padamu?" "Tidak. Tetapi kau harus tahu, Darel selama ini belum pernah tidur di bengkel. Lalu setelah menikah denganmu ...." Dia menggantung kalimat, memperhatikan bagaimana wajah tenang Renja mulai memperlihatkan emosi sedih yang sesungguhnya. "... Darel jadi betah di bengkel." Setelah mengucapkan singgungan menyakitkan itu, Yona menghidupkan kembali mesin motor. "Aku rasa dia tidak nyaman denganmu," lanjut Yona, sebelum memutar kemudi kembali ke arah dia datang tadi. Lantas dia pergi. Dia datang hanya untuk menghina Renja sebagai istri yang tidak diinginkan. Sapu di tangan Renja terlepas, napasnya kembali sesak seperti tusukan jarum melubangi paru-paru Renja. Darel tidak pernah tidur di bengkel sebelum membawa Renja ke rumahnya, fakta itu cukup mendorong Renja untuk merasa lebih bersalah. Dia berdiri seperti patung hias di halaman rumah, sedikit oleng oleh angin yang bertiup. Begitu, ya? Darel tidak pulang karena memang tidak nyaman pada orang baru di tempat ternyamannya. Apanya menjadi istri yang baik? Bahkan sang suami tidak ingin melihat kebaikannya. Orang baru adalah orang asing, tak semudah itu menerima keberadaannya untuk berperan besar dalam kehidupannya. *** Renja membuka kulkas, niatnya membuat makan siang untuk di antar ke Darel sekaligus menanyakan masalah kenapa dia tidak pulang. Tetapi, bahan di kulkas tinggal sedikit, lebih banyak dibuang dari pada dimakan. Jika Renja berbelanja sekarang, waktu makan siang akan terlewat banyak. Di sana Darel pasti sudah makan duluan. Renja pasrah, dia tidak jadi mengantar makan siang. Pergi ke luar, menutup pintu, lantas menaiki sepeda. Renja akan berbelanja terlebih dahulu, setelah itu baru dia akan berpikir lagi nanti. "Gadis itu ... dia berperan bagus." Bapak-bapak yang melihat Renja memuji, memperbaiki posisi kaca mata, dia duduk dengan segelas kopi di teras sambil memangku ipad apple sumbing sebagai merk. Renja tidak tahu, sepanjang jalan yang ia lewati di dalam pemukiman indah dan tenang, orang-orang tersenyum dalam diam, jatuh dalam kehangatan dari setiap gerak rambut panjang itu. Setelah dia keluar dari tempat indah itu, matahari terik menyengat langsung terasa, Renja berhenti untuk memasang topi hitam. Kembali lagi dia mengayuh sepeda, berhenti lagi ketika Sera menghadang Renja di jembatan di atas sungai lebar. "Sera?" Renja mengernyit, kemudian beralih melihat siapa rekan Sera yang duduk di atas motor besar sambil melipat tangan di dada. 'Astaga, cowok yang berbeda lagi.' Renja mengeluh dalam batin, hanya tersenyum pada cowok itu. "Melihat Kakak lewat sini, berarti Kakak tinggal di daerah sini, ya?" Mata Sera meneliti, penampilan serta sepeda jelek kakaknya. "Iya, 200 meter dari sini, ada tiga simpang, belok kiri akan terlihat gerbang yang di dalamnya banyak pohon seperti hutan." "Hutan?!" Sera langsung tertawa, pacarnya juga. Mereka memang tinggal di perkampungan, tetapi jika sudah di dalam hutan maka sebutannya adalah orang pedalaman atau pelosok. "Kenapa kalian tertawa?" Renja tidak senang, bayangan mereka pasti jelek sekali. Sera menutup mulutnya, berdehem menghentikan suara menggelitik. "Selagi kami di sini, sekalian saja kami ke rumah Kakak." "Tapi aku mau ke pasar dulu." Sera menyipit teliti. "Bilang saja Kakak malu karena rumah Kakek reyot, kan?" Tak! Renja menjitak kepala Sera, membuat gadis itu meringis memegang kepalanya sendiri. "Dilihatin pacarmu, tuh. Kau harus jaga sikap." Renja melihat cowok itu. "Kalian pacarannya sehat-sahat aja, ya. Jangan aneh-aneh." "Iya, Kak," dia menjawab, memperhatikan saat Renja beranjak pergi meninggalkan. "Kakakmu cantik, ya," ucapnya tersenyum tipis, sebelum kemudian perutnya dicubit oleh Sera. Sera cantik, tetapi Renja lebih cantik. Dua kakak-adik cantik berbeda kepribadian. Sera yang aktif dan ceria dan Renja yang anggun dan lembut. "Iya dia cantik, tapi sayang dia enggak pandai memanfaatkan wajahnya. Malah menikah sama cowok miskin, cuman montir gaji pas-pasan." Sera bersedekap tangan. Bersambung....Sera pulang pada waktu matahari akan terbenam, dia menjinjing kotak martabak sebagai oleh-oleh untuk mama dan bapaknya. Pasti mereka sudah pulang jam segini, pikir Sera tidak sabar menceritakan sesuatu menarik. "Ma, Pak," Sera memanggil serta tersenyum cerah, meletakkan buah tangan di atas meja lantas ikut duduk di sofa memandang mereka antusias. Sementara mereka meraih martabak, Sera memulai gosip bernada panas. "Tadi aku jumpa Kak Renja di jalan, dia mau ke pasar menggunakan sepeda jelek." Reaksi kedua orang tuanya seperti yang Sera harapkan, menghela napas seolah beban mereka seberat gunung. "Pasti dia hidup susah, seandainya dia mau cerai terus nerima lamaran anak Pak Sugeng, Deka, yang jadi direktur di kota itu, pasti hidupnya senang sekarang." Fika sangat kecewa, dari banyaknya lamaran dari pria mapan, Renja malah berakhir dengan seorang montir. Amar berdehem, pembicaraan tentang Renja ini menghacurkan rasa manis martabaknya. "Kau janga
Renja kembali memungut makanan dingin di atas meja ketika dia bangun tidur. Darel mengingkari janji, membuat masakan Renja sia-sia lagi. Renja menekan rasa panas di dadanya, seperti dia selalu memendam segala emosi jeleknya sama seperti dia bersama keluarganya yang perhitungan. Membersihkan rumah sebentar, selepas itu bersantai jenuh. Renja memiliki banyak waktu istirahat setelah dia menikah, kerap kali duduk di teras dengan secangkir teh hangat menikmati nyanyian burung di pohon-pohon tinggi. Dia mengangkat telapak tangan untuk dilihat, merasakan ada sedikit perubahan, lebih halus dari biasanya. Apa karena dia tidak melakukan pekerjaan kasar lagi? Renja juga sering berendam air hangat sebab ada bathub yang membuat Renja antusias sendiri. Dia tidak memiliki itu di rumah orang tua. "Sepertinya berendam air panas membuat kulit jadi halus."Setelah makan siang Renja tidur di kasurnya yang empuk. Sore sekitar jam tiga dia bangun, duduk lagi di tera
Di depan cermin yang menampilkan seluruh tubuhnya, Renja berputar-putar memandang kagum piama baru nan cantik. Dia melupakan fakta beberapa jam yang lalu telah mengeluhkan pengeluaran untuk semua itu. Pakaian menang berpengaruh besar dalam untuk penampilan cantik, terbukti dari Renja yang seperti orang berbeda padahal sama sekali dia tidak menggunakan riasan. Ini baru piama, masih banyak gaun serta aksesoris indah lainnya. Renja berbalik girang. "Apa aku masih seperti gembel, Darel?" tanyanya pada sang suami yang bersandar di atas kasur tengah memperhatikan. Pria itu tersenyum tipis, istrinya jauh lebih cantik dari pada ekspetasinya. Terbayar sudah rasa lelah Darel dalam memilih pakaian wanita yang ternyata tidak mudah. "Pakaian dalamnya juga kau pakai?"Renja mengangguk malu, Darel berbelanja sampai ke titik itu; ada yang kebesaran juga ada yang kekecilan, tetapi yang pas lumayan banyak."Kalau mau tidur enggak usah memakai bra, menurut dokter itu tidak bagus intuk kesehatan," sa
Rintik hujan kecil belum berhenti sejak buliran air itu turun sore tadi. Renja mengintip dari balik tirai di kamar pada hari yang mulai gelap. Sensasi dingin ini... Renja mengeluh mengantuk. Jika tidak ingat janji tiga hari itu adalah hari ini, maka Renja akan membiarkan tubuhnya meringkuk dalam kenyamanan selimut sampai pagi. Renja beralih ke dapur membuat secangkir kopi, membawanya ke meja persegi panjang untuk menikmati aroma harumnya. Semoga kantuknya lekas menghilang, Renja tak ingin mengecewakan Darel seakan mencari alasan untuk menghindar. Sebentar lagi pria itu akan pulang, Renja merasakan debar jantung menanti untuk segera melepaskan rasa tidak nyaman ini. Setelah hal itu selesai, Renja akan menjadi istri baik yang sesungguhnya. Mungkin Darel juga akan bisa lebih terbuka, Renja menahan diri untuk bertanya banyak hal tentang Darel dan keluarga pria itu. Ya, Renja ingin dekat terlebih dahulu, baru dia bisa menggali setidaknya sedikit demi sedikit. Suara motor berhenti di lu
Pakaian berserakan di lantai, Renja menahan selimut di dada dengan wajahnya yang memerah malu akan ingatan tadi malam. Setiap gerakan terasa salah, perih di selangkangan menjadi sumber, bekas hisapan banyak tertinggal di kulit putihnya. Renja menatap dirinya di cermin yang berhadapan dengan tempat tidur, memandang lama penampilan berantakan dari wanita yang berusaha menjadi istri terbaik. Senyum tipis muncul, dia bangga pada dirinya sendiri sebab berhasil mengalahkan rasa takut. Susah payah Renja beranjak, meringis pelan dalam setiap langkah menuju kamar mandi. Tidak ada Darel di mana-mana, pun matahari sudah cukup tinggi, tidak mungkin dia menunda pekerjaan untuk menunggu istrinya bangun. Ini pertama kalinya Renja bangun sangat siang. Dia keluar dari pintu kamar mandi terlilit handuk, kembali masuk ke kamar, membuka lemarinya yang penuh pakaian cantik--rata-rata merupakan gaun dan rok potongan, celana hanya ada sedikit. "Darel sepertinya suka wanita feminim," Renja menebak, tert
Duduk di teras merupakan aktivitas harian Renja setelah dia menikah. Menikmati teh hangat dan cemilan, sembari mendengarkan burung bernyanyi dan menari di dahan pohon. Renja khawatir dirinya akan gemuk, dia jarang bergerak setelah menyelesaikan pekerjaan rumah di pagi hari. Lalu cemilan ... Renja mendorong semua bungkusan, sudah cukup makannya. Untuk memastikan Renja menatap lengannya, lalu bernapas lega sebab benjolan tulang di pergelangan tangan masih terlihat. Telapak tangan Renja halus dari yang semula kasar, dia mulai memperhatikan penampilan agar suaminya tidak berpaling."Kapan Darel akan keluar?" Menoleh ke dalam, pada satu pintu di sebelah kamar yang tertutup rapat. Sudah delapan hari Darel tidak pergi ke bengkel, banyak menghabiskan waktu di ruangan itu. Entah apa yang pria itu lakukan, katanya merupakan pekerjaan penting. 'Dia akan menegurku jika dia lapar, atau ingin bercinta,' rutuk Renja memajukan bibir, menyayangkan Darel mesra hanya ketika melayani nafsunya. Renja m
[Kaka, mama sakit. Kakak disuruh ke sini.]Baru saja Renja menyentuh benda pipih setelah usai membersihkan halaman, membaca pesan Sera yang terlewat beberapa menit lalu dalam kernyitan jelas. Renja penasaran mamanya sakit apa? Bergegas mengetuk pintu ruangan Darel. “Apa?” Darel menyembulkan kepala seperti kura-kura, kacamata terbingkai di hidung mancungnya namun tidak dapat menyembunyikan mata lelah. Renja jadi ragu meminta tolong padanya. “Aku mau ke rumah mamak, em… kau mau ikut?”Darel menoleh ke belakang, pada sesuatu yang membuat dia lelah dan entah apa itu. Menoleh kembali, Darel memperbaiki posisi kacamata sembari berdehem. “Aku tidak ikut, kau pakai saja motorku.” “Baiklah.” Renja kembali ke kamar mengambil salah satu tas cantiknya, mengisi beberapa lembar uang tunai dan juga ponsel. Sebelum keluar Renja bercermin, tersenyum puas melihat penampilan istri di tangan suami yang tepat. Tidak tampak seperti pembantu lagi. “Setelah melihatku nanti, seharusnya mereka tahu aku h
Puluh membasahi dahi dan leher Renja, memantulkan kilatan lelah setelah dua jam lebih dia berurusan dengan pakaian kotor tanpa mesin. Renja berdiri, pinggangnya sakit dan kakinya kebas. Pakaian basah, penampilan compang-camping, bau sabun cuci di mana-mana. Pakaian tinggal di jemur, sebelum itu dia membutuhkan bantuan untuk mengangkut itu semua. Renja pergi ke luar melihat tas dan barang-barangnya terobrak-abrik berceceran di atas meja. Saat dia menatap dua orang perempuan di sisi sofa, mereka tak mengacuhkan; Sera bermain ponsel, Fika fokus pada TV. Bahkan bangkai buah bekas mereka makan enggak dibersihkan, mereka begitu malas jika ada Renja. “Sera, bantu kakak angkat pakaian buat dijemur. Berat.” Renja dengan sabar berucap, tetapi Sera enggan melihatnya seolah tidak mendengar apa-apa. “Sera,” panggil Renja menambahkan sedikit ketegasan dalam nadanya, matanya menilik besar, siap mencubit Sera jika dia belum bergerak juga. Sera meletakkan ponsel di samping tempat ia bersand