Share

7. Tekat di malam menakutkan.

Sera pulang pada waktu matahari akan terbenam, dia menjinjing kotak martabak sebagai oleh-oleh untuk mama dan bapaknya. Pasti mereka sudah pulang jam segini, pikir Sera tidak sabar menceritakan sesuatu menarik.

"Ma, Pak," Sera memanggil serta tersenyum cerah, meletakkan buah tangan di atas meja lantas ikut duduk di sofa memandang mereka antusias.

Sementara mereka meraih martabak, Sera memulai gosip bernada panas. "Tadi aku jumpa Kak Renja di jalan, dia mau ke pasar menggunakan sepeda jelek." Reaksi kedua orang tuanya seperti yang Sera harapkan, menghela napas seolah beban mereka seberat gunung.

"Pasti dia hidup susah, seandainya dia mau cerai terus nerima lamaran anak Pak Sugeng, Deka, yang jadi direktur di kota itu, pasti hidupnya senang sekarang." Fika sangat kecewa, dari banyaknya lamaran dari pria mapan,  Renja malah berakhir dengan seorang montir.

Amar berdehem, pembicaraan tentang Renja ini menghacurkan rasa manis martabaknya. "Kau jangan jadi seperti kakakmu, Sera."

Sera mendengus, melipat tangan di dada bergaya sombong. "Papa enggak lihat gaya semua laki-laki yang aku bawa ke sini? Tampang mereka biasa saja, tetapi motor dan mobil mereka menunjukkan mereka memiliki uang."

Fika mengangguk, dia telah menilai mereka dengan matanya. Dia membuat perbandingan dengan mengasihani Renja, namun di sisi lain dia kesulitan tanpa Renja. Semua pekerjaan rumah Fika yang mengerjakan, sementara Sera merawat diri agar tetap cantik untuk memancing pria kaya.

"Hidup kita susah, setidaknya setelah kamu menikah nanti kamu bisa bantu orang tua."

"Papa tenang saja, aku juga enggak mau melanjutkan hidup susah seperti Kak Renja."

"Jadi ... kau ke rumah Renja tadi? Bagaimana keadaan rumahnya?"

Sera mendadak terkikik kecil, terbayang Renja dikelilingi babi hutan atau nyamuk ganas di rumahnya. "Aku tidak singgah karena malas nunggu Kak Renja ke pasar dulu, tapi katanya rumahnya di dalam hutan-hutan. Pelosok, Pak!" Sera memekik girang, seolah perutnya digelitiki oleh bulu halus angsa.

Amar menggelengkan kepala, putrinya hidup lebih susah dari pada dirinya. Sementara Fika berdecak lidah.

***

Hutan malam mengerikan Renja lewati menggunakan sepeda dan senter, dia ketakutan tapi dia nekat keluar sebab rasa tidak nyaman yang membuat dia tidak bisa tidur. Suara gesekan daun berdesir, nyanyian serangga menambah kesan sepi, menggoyahkan tekad wanita pengecut.

"Sedikit lagi keluar dari hutan, sedikit lagi." Bulu kuduk Renja berdiri, mengayuh cepat pedal sepeda sekuat yang ia bisa. Tak lama kemudian lampu gerbang terlihat, tinggal melewati persimpangan maka Renja bisa menemukan deretan rumah warga, jalanan yang dilalui orang lain juga.

"Akhirnya~" Renja bernapas lega, meringankan kaki di bawah sana untuk lebih santai. Dia tidak sendirian lagi sekarang, ada banyak orang berlalu lalang.

Memasuki beberapa persimpangan lain, Renja sampai di dekat bengkel tempat Darel kerja.

Renja berhenti sebelum Darel menyadari keberadaannya, melihat Darel tengah duduk santai di ban memegang sebatang rokok menyala di jarinya.

'Dia seperti orang yang tidak ada niat untuk pulang.'

Renja melirik sekitar, ada 4 montir lain yang tengah berkutat dengan mesin mobil atau pun motor. Mereka semua sibuk kecuali Darel. Haruskah Renja membahas masalah rumah tangga ini lalu di dengar oleh mereka? Memalukan.

Dia menunduk mencengkeram setang kuat-kuat. Setelah nekat menelusuri malam mengerikan, kini dia ragu untuk menghampiri Darel di sana yang pria itu tidak sendiri.

Lama sekali Renja hanyut dalam kebimbangan, sampai Darel dengan sendirinya sadar ada Renja di tepi jalan seorang diri tersorot oleh lampu dari mobil yang lewat.

Dia mengernyit, lantas beranjak menghampiri Renja setelah membuang asal sebatang rokok masih panjang.

"Kenapa kau ke sini?"

Suara Darel membuat Renja tersentak kaget, reflek mendongak. Sejak kapan Darel di dekatnya? Renja sama sekali tidak sadar sebelum dia mendengar suara berat itu.

Mereka saling tatap, Renja ketakutan melihat rahang Darel mengeras. Pria itu marah! Renja seakan berhadapan dengan monster, atau seperti kapas yang tertindas oleh kerasnya batu.

"K-kau kenapa tidak pulang?" Mata Renja gemetar, tidak berani menatap Darel lebih lama lagi sehingga dia langsung menunduk menahan takut.

Darel diam, matanya menatap lekat wanita lembut yang bernasib malang sebab menikah dengan pria bertampang kasar seperti dirinya.

"Pulanglah duluan nanti aku menyusul."

Renja menggeleng, tidak ada jaminan Darel akan benar-benar pulang. Renja ingin menyelesaikan masalah ini di rumah, sungguh. Dia sudah lelah menangis melihat makanan yang ia buang--tidak bisa masak untuk diri sendiri sebab takut Darel pulang dalam keadaan lapar.

"Renjaaa," panggil Darel panjang terkasan menekan.

Sekali lagi Renja menggeleng, masih menunduk tak ingin memperlihatkan wajah ketakutannya.

"Aku akan pulang." Darel meyakinkan, tidak menyangka gadis yang tampak lembut ini pandai mengeraskan kepalanya.

"Benarkah?"

"Benar."

"Kalau begitu aku akan memasak untukmu."

"Aku sudah makan, kau masak untuk dirimu sendiri saja."

Renja menggeleng cepat, ia yakin Darel tidak akan pulang. Apalagi setelah mendengar fakta bahwa dia tidak ingin makan di rumah.

Darel mengacak surainya frustrasi. "Baiklah, kau masaklah juga untukku."

Barulah Renja mendongak, mengangguk sembari tersenyum dengan mata yang berkaca-kaca. "Aku menunggumu di rumah." Kaki Renja siap untuk kembali mengayuh, sebelum pergi dia berkata, "Jangan melupakan janjimu!"

Darel memperhatikan punggung Renja semakin jauh, gaun lusuh gadis itu membuat Darel mengurut pangkal hidung merasakan otaknya memanas. Istrinya berpenampilan seperti gembel, jika keluarganya yang di kota melihat, maka mereka akan menertawakan Darel telah memungut gadis pemulung di gunung sampah.

"Adiknya berpakaian bagus, kenapa kakaknya memakai kain lap?"

Perbedaan besar antara Renja dan Sera. Darel bisa melihat siapa yang merupakan anak kesayangan, sedari awal dia masik ke keluarga mereka.

Mungkin karena Sera aktif dalam bergaul, sementara Renja berdiam diri di rumah menjadi anak penurut yang menyerupai pembantu tanpa disadari.

Apa Renja tidak pernah merasa cemburu pada adiknya? Orang tuanya pilih kasih. Biasa antara saudara akan ada drama seperti itu, mungkin memang terjadi dalam kehidupan Renja, hanya saja Darel tidak melihat itu.

Darel menyalakan ponsel, melihat-lihat gambar sesuai selera Darel. Bibirnya menukik tipis pada layar, sebuah hiburan dalam tahap awal membuat batu menjadi secantik berlian.

"Hm, ini cocok."

Berisiknya suara mesin dan palu tidak mengusik Darel, semua orang bekerja keras mengejar target perbaikan agar pelanggan tidak menunggu lama. Namun Darel seakan tidak terkekang oleh aturan di bengkel ini, dia leluasa mau melakukan apapun yang dia mau.

Setelah puas melihat ponselnya, Darel pergi tanpa pamitan pada siapa pun. Tidak ada yang menghentikan meski mereka melihat Darel naik motor di saat masih banyak pekerjaan belum mendapat penanganan.

Bengkel di daerah jalan lintas itu ... mobil Dam atau Tronton menjadi pelanggan yang sering nangkring.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status