“Kenapa berisik sekali?” dia bergumam belum sadar sepenuhnya dari tidur. Suara-suara berisik itu... dia menutup kuping sembari menggulingkan badan menghadap ke samping. Tangannya mulai meraba-raba mencari bantal untuk membantunya menutupi telinga.
‘Bantalku di mana?’ Tangan terus meraba-raba ke samping namun mata enggan ia buka. Kasar, tempat yang ia raba terasa asing. Itu bukanlah kasur. Lantas dia membuka mata pelan, meringis akan cahaya matahari yang menembaknya. Dia berada di luar? Rumput ilalang hijau gemerisik saat angin bertiup, dia duduk melihat hamparan hijau luas, kemudian tertuju pada keramaian yang membuat suara tidak nyaman. “Renja, kau membuat malu orang tua.” Mendengar namanya disebut, dia mendongak menatap wanita beraut marah. “Mama, ada apa ini?” Renja balik bertanya, dia belum mendapatkan semua ingatannya—bangun dalam keadaan linglung adalah kebiasaan alami Renja. Gadis ini masih terduduk, beralih menatap lingkaran bapak-bapak tengah memukul sesuatu. Mata Renja menyipit, ketika satu bapak-bapak bergerak, Renja dapat melihat celah untuk menangkap sosok meringkuk sakit di tengah-tengah mereka. Ranja langsung terbelalak. “Astaga, Darel!” Dia berdiri, bergerak cepat membelah kerumunan lantas memeluk pria bernama Darel itu guna melindunginya. Mereka berhenti memukul, menarik Renja dan Darel untuk dipisah. “Enggak tahu malu! Pasangan mesum ini langsung dinikahkan saja,” jerit salah satu wanita, yang lainnya bersorak setuju. Mesum? Menikah? Ah, Renja akhirnya mendapatkan kesadaran penuhnya. Warga salah paham, mereka langsung menyeret Renja dan Darel tanpa ingin mendengar penjelasan terlebih dahulu. Renja dan Darel yang hanya dua kali bertemu sebelumnya karena urusan hutang piutang, dipaksa menikah. Mereka tidak dekat, mereka tidak mengenal, kenapa ini terjadi? Seminggu yang lalu merupakan pertemuan pertama mereka. Mula-mula terjadi karena motor yang Renja naiki untuk mencari adiknya yang keluyuran malam-malam mogok. Setelah berjalan agak jauh, ia menemukan sebuah bengkel yang Darel kelola. Darel memperbaiki motornya, dan ia pun meminta uang jasa dan alat sebesar 750 ribu. Sayangnya, pada saat itu, Renja tak memiliki uang sebanyak itu. Apalagi awalnya ia hanya ingin mencari adiknya saja. Renja akhirnya berjanji, dengan memberikan nama serta alamat rumahnya yang palsu, untuk membayar utang tersebut. Sayang, setelahnya Renja tak pernah lagi lewat di bengkel tersebut. Sampai akhirnya kemarin malam, Renja tak sengaja bertemu dengan Darel yang ternyata tengah mencari Renja untuk menagih hutangnya. Namun, karena waktu itu hujan deras, mereka meneduh di sebuah pondokan kosong yang berada di antara hamparan rumput ilalang. Terjadilah peristiwa nahas itu; mereka berdua tertidur sampai pagi karena menunggu hujan deras yang tak kunjung reda. *** Renja hanya bisa diam duduk di samping laki-laki yang mengucapkan kata-kata sakral disaksikan oleh banyak sekali warga. Dia menunduk menyembunyikan air mata dari penglihatan siapa saja. Renja masih syok. 'Apa ini mungkin mimpi? Aku pasti masih tertidur sekarang.’ Renja menepuk pipinya, sakit, dia tidak bisa kabur dari kenyataan. “Sah!” Jawaban serentak dari para saksi mengakhiri status Renja sebagai gadis. Renja menyeka air matanya, mengangkat kepala untuk melihat bagaimana ekspresi suaminya. “Maafkan aku,” cicit Renja kembali menunduk ketika mata mereka saling bertemu. Malu bercampur rasa bersalah sehingga dia bingung dalam merespons. Andaikan dia tidak berhutang, apa hal serupa akan terjadi? “Sudah terlanjur jalani saja.” Tanggapan Darel membawa sensasi berbeda bagi Renja, air mata berhenti, dia sedikit mendapatkan kepercayaan diri seperti sebuah ampunan yang baru saja ia dengarkan. “Kau beneran tidak apa-apa?” “Hm, lagian umurku sudah 27 tahun, tidak perlu repot-repot lagi mencari istri.” Benarkah begitu? Renja menatap lekat wajah Darel, suara bising warga desa berdengung lalu perlahan menghilang dari pendengarannya. Satu titik fokusnya hanya Darel, menjadikan pemandangan di sekitar buram. ‘Benarkah?’ dia bertanya sekali lagi di dalam benak. Wajah Darel datar, tidak menunjukkan tanda-tanda bahwa rasa syukur pria itu tadi adalah benar. Apa itu cuman omong kosong karena dia kasihan pada Renja? Itu jauh lebih buruk, jika Darel tidak menginginkan Renja, tidak masalah menalak setelah setidaknya 3 bulan. Tentu tidak boleh berhubungan jika seperti itu. Renja menepuk pundak Darel, lantas berbisik, “Kita bisa cerai jika kau tidak suka. Tinggal talak.” Darel membalas, “Aku sudah bilang tadi. Atau jangan-jangan kau yang keberatan?” Renja menjauhkan tubuh, menggeleng-gelengkan kepala cepat. Baiklah, Renja pasrah, tidak ada salahnya mencoba terlebih dahulu. Pun Renja harus mempersiapkan diri sebelum menyandang status janda. “Berapa usiamu?” tanya Darel tiba-tiba. “21 tahun.” “Nah, pasti sebagai gadis yang tinggal di desa kau sering mendapat pertanyaan tentang kapan menikah, kan?” Renja mengangguk, pertanyaan itu membuat Renja capek melebihi seluruh pekerjaan rumah yang ia kerjakan. “Kalau begitu, anggap saja aku membantumu menghapus pertanyaan itu.” Renja tidak mengerti, sepertinya Darel ingin menjalani pernikahan yang sesungguhnya. Tapi kenapa dia seperti tidak menyukainya? Apa mungkin hanya pandangan Renja saja? Semakin dipikirkan otaknya terasa mendidih, cukup sudah kejadian pagi ini membuat pusing. Intinya jika mereka berjodoh mereka akan bertahan, jika tidak maka akan berakhir. Sudah, tidak usah dibawa pusing.Keluarga Renja mendengar penjelasan Renja atas kejadian pagi ini. Setelah mereka tahu Darel hanya seorang montir berpenghasilan kecil, raut mereka berubah tidak mengenakkan. Amar, papa Renja, hanya diam membayangkan tidak ada yang bisa membantu kemiskinan mereka.“Keluarga kita sudah miskin, seharusnya tidak menampung orang miskin lainnya,” sindir Amar menoleh ke tempat lain seolah dia hanya menyinggung hantu tidak terlihat. Namun adik Renja, Sera, tidak dapat lagi menahan semburan tawa, semua orang langsung melihatnya. Sera membekap mulut. “Maaf, aku hanya teringat sesuatu yang lucu.” Dia masih terkikik geli membekap mulut kuat. “Aku tidak menyangka kehidupan kakakku akan lebih miskin setelah menikah,” ucapnya sambil meninggalkan tempat. Mata Darel menyipit. Apa barusan dia dihina? Tetapi Darel diam saja. “Ma, bapak pergi kerja dulu, uruslah mereka.” Amar berdiri lalu pergi, dia adalah buruh bangunan. Baginya, lebih baik tidak jadi mengambil libur daripada menemani menantu miskin
Malam terakhirnya tidur di kasur kecil, Renja berhimpitan dengan Darel si pria berbadan keras. Semua orang mungkin telah tidur pulas, hanya Renja yang masih terjaga menatap langit-langit kusam yang tidak pernah absen untuk dilihat sepanjang hidupnya. Lampu tidur redup, kipas angin cacat, mereka selalu menemani Renja lebih lama dari apa pun. Besok dia akan meninggalkan semua kenangan tersebut, terkurung dalam ruang sempit tak berpenghuni. Lantas Renja melirik Darel dari ujung matanya, pria itu tidur tenang tanpa mengeluarkan suara dengkuran. Apa dia sama sekali tidak merasa canggung? Renja bertanya-tanya bagaimana cara pria itu mengatasi emosionalnya pada kenyataan sekarang. Renja tidak tahu apakah Darel sedih, marah, kecewa, apapun segala bentuk emosi, Renja benar-benar ingin tahu perasaannya. Pemikiran itu terbawa sampai ke alam mimpi Renja, namun di sana pun Renja tidak menemukan jawaban selain mimpi tidak nyambung yang selalu berpindah-pindah tempat secara mendadak. ***Arom
Renja sudah selesai bersih-bersih, rumah disulap menjadi bersih dan rapi. Dia menyeka keringatnya, lalu berkacak pinggang melihat betapa hampa rumah ini. Tidak ada peralatan masak selain panci kecil untuk merebus air, kulkas atau hal lain yang menunjang dapur, sama sekali tidak ada. Bagaimana makan siang nanti? Renja pergi ke luar, rasa lelahnya seketika disapu oleh ketenangan alam. Pohon-pohon tinggi, rumput, dan suara air sungai. Renja penasaran dari mana asal suara air itu, lantas di memasang sandal, berjalan menelusuri jalan kerikil abu-abu dan biru. Renja melihat wanita di teras rumah tengah menggendong anak, dia tersenyum ramah ketika mata mereka saling bertemu. Wanita itu cantik, pakaiannya juga bagus, Renja tidak pernah melihat pakaian model itu di pasar. Tinggal tiga meter lagi Renja sampai di sungai jernih yang memiliki batu-batu alam yang besar. Renja takjub, tempat ini benar-benar indah. "Kenapa sedikit sekali yang tinggal di sini?" Dia naik ke atas batu, arus sungai
Tempat tidur di sebelahnya dingin dan kosong, Renja menatap lama oleh tatapan sayu dan senyum tipis yang dipaksakan. Renja turun dari ranjang tinggi menyentuh lantai Kayu halus tak bermotif. Ia pergi ke meja segi panjang, memeriksa lauk-pauk yang ia masak. Maniknya gemetar, tak sedikitpun makanan di atas meja berkurang setelah ia tinggalkan tadi malam. "Dia kenapa tidak pulang?" Renja menatap pintu tertutup rapat, tidak bergerak dari tempatnya untuk mencoba membiarkan udara masuk. Dia menggelengkan kepala juga sedikit mengetuk dahinya sendiri. "Dia pasti sibuk, atau dia kelelahan dan tertidur di sana." Renja memperingati dirinya untuk mengerti. Dia memungut makanan basi, membawa ke dapur untuk dibersihkan. Rambut panjang diikat asal menggunakan karet yang ia temukan di atas kompor, Renja mulai melakukan keahliannya dalam mengurus rumah. Siang ini ... Darel pulang tidak, ya? Dalam sela-sela kegiatannya, dia memikirkan lagi suaminya. Apa yang disukai? Dan cara apa yang akan disenan
Terdapat sepeda usam di samping rumah pada pondok kecil seperti tempat parkir ber atap daun. Renja meninggalkan sapu halamannya, dia baru melihat sepeda hari ini sebab baru mencoba mendekati tempat itu. Renja mengecek keadaan sepeda, tidak ada kerusakan kecuali ban yang sedikit kempes. Renja naik di atasnya, mengayuh di sekitar saja untuk pengetesan. "Lumayan, bisa dibawa ke pasar." Renja turun, memeriksa keranjang depan yang terbuat dari kawat. Memang agak berkarat, tetapi masih kuat menahan bahan masakan. Renja mendapatkan hiburan setelah bersedih sepanjang pagi. Dia kembali naik ke atas sepeda, mengelilingi rumah melewati jalan tanah padat di sekitarnya. Senyum terbit di antara mata yang bengkak, angin ciptaan dari setiap kayuhan di kakinya mengayun rambut untuk menari-nari. Sepeda ... Renja sudah lama tidak menaikinya, dia merasakan nostalgia ketika dia masih SMP pulang balik ke sekolah, atau pergi beli sesuatu yang disuruh mama
Sera pulang pada waktu matahari akan terbenam, dia menjinjing kotak martabak sebagai oleh-oleh untuk mama dan bapaknya. Pasti mereka sudah pulang jam segini, pikir Sera tidak sabar menceritakan sesuatu menarik. "Ma, Pak," Sera memanggil serta tersenyum cerah, meletakkan buah tangan di atas meja lantas ikut duduk di sofa memandang mereka antusias. Sementara mereka meraih martabak, Sera memulai gosip bernada panas. "Tadi aku jumpa Kak Renja di jalan, dia mau ke pasar menggunakan sepeda jelek." Reaksi kedua orang tuanya seperti yang Sera harapkan, menghela napas seolah beban mereka seberat gunung. "Pasti dia hidup susah, seandainya dia mau cerai terus nerima lamaran anak Pak Sugeng, Deka, yang jadi direktur di kota itu, pasti hidupnya senang sekarang." Fika sangat kecewa, dari banyaknya lamaran dari pria mapan, Renja malah berakhir dengan seorang montir. Amar berdehem, pembicaraan tentang Renja ini menghacurkan rasa manis martabaknya. "Kau janga
Renja kembali memungut makanan dingin di atas meja ketika dia bangun tidur. Darel mengingkari janji, membuat masakan Renja sia-sia lagi. Renja menekan rasa panas di dadanya, seperti dia selalu memendam segala emosi jeleknya sama seperti dia bersama keluarganya yang perhitungan. Membersihkan rumah sebentar, selepas itu bersantai jenuh. Renja memiliki banyak waktu istirahat setelah dia menikah, kerap kali duduk di teras dengan secangkir teh hangat menikmati nyanyian burung di pohon-pohon tinggi. Dia mengangkat telapak tangan untuk dilihat, merasakan ada sedikit perubahan, lebih halus dari biasanya. Apa karena dia tidak melakukan pekerjaan kasar lagi? Renja juga sering berendam air hangat sebab ada bathub yang membuat Renja antusias sendiri. Dia tidak memiliki itu di rumah orang tua. "Sepertinya berendam air panas membuat kulit jadi halus."Setelah makan siang Renja tidur di kasurnya yang empuk. Sore sekitar jam tiga dia bangun, duduk lagi di tera
Di depan cermin yang menampilkan seluruh tubuhnya, Renja berputar-putar memandang kagum piama baru nan cantik. Dia melupakan fakta beberapa jam yang lalu telah mengeluhkan pengeluaran untuk semua itu. Pakaian menang berpengaruh besar dalam untuk penampilan cantik, terbukti dari Renja yang seperti orang berbeda padahal sama sekali dia tidak menggunakan riasan. Ini baru piama, masih banyak gaun serta aksesoris indah lainnya. Renja berbalik girang. "Apa aku masih seperti gembel, Darel?" tanyanya pada sang suami yang bersandar di atas kasur tengah memperhatikan. Pria itu tersenyum tipis, istrinya jauh lebih cantik dari pada ekspetasinya. Terbayar sudah rasa lelah Darel dalam memilih pakaian wanita yang ternyata tidak mudah. "Pakaian dalamnya juga kau pakai?"Renja mengangguk malu, Darel berbelanja sampai ke titik itu; ada yang kebesaran juga ada yang kekecilan, tetapi yang pas lumayan banyak."Kalau mau tidur enggak usah memakai bra, menurut dokter itu tidak bagus intuk kesehatan," sa