Malam terakhirnya tidur di kasur kecil, Renja berhimpitan dengan Darel si pria berbadan keras. Semua orang mungkin telah tidur pulas, hanya Renja yang masih terjaga menatap langit-langit kusam yang tidak pernah absen untuk dilihat sepanjang hidupnya.
Lampu tidur redup, kipas angin cacat, mereka selalu menemani Renja lebih lama dari apa pun. Besok dia akan meninggalkan semua kenangan tersebut, terkurung dalam ruang sempit tak berpenghuni. Lantas Renja melirik Darel dari ujung matanya, pria itu tidur tenang tanpa mengeluarkan suara dengkuran. Apa dia sama sekali tidak merasa canggung? Renja bertanya-tanya bagaimana cara pria itu mengatasi emosionalnya pada kenyataan sekarang. Renja tidak tahu apakah Darel sedih, marah, kecewa, apapun segala bentuk emosi, Renja benar-benar ingin tahu perasaannya. Pemikiran itu terbawa sampai ke alam mimpi Renja, namun di sana pun Renja tidak menemukan jawaban selain mimpi tidak nyambung yang selalu berpindah-pindah tempat secara mendadak. *** Aroma harum masakkan pagi-pagi buta tercium lezat mengundang penghuni rumah bangun. Kopi dan teh panas telah tersaji di atas meja makan, mengeluarkan kepulan asap terbang ke udara. Darel terbangun, tidak merasakan kehadiran sang istri dalam ruangan tersebut. Lantas dia pergi mengikuti aroma lezat, dan disanalah istrinya berkutat sibuk melakukan ini itu. "Ini masih sangat pagi," kata Darel, dia menatap Renja dalam keheningan subuh nan dingin. Renja tersenyum tipis, menghampiri pria berwajah lesu untuk dibimbing duduk di kursi. Darel menurut, membiarkan istrinya memanjakan dirinya seperti seorang ibu pada bayi kecil mereka. "Kau minum teh atau kopi? Ambil saja." Setelah itu Renja kembali ke kompor, membersihkan sisa kotor akibat percikan minyak atau tumpahan kuah. Darel menyeruput teh nya sembari memperhatikan bagaimana si rajin bergerak sana-sini. Darel harus bersyukur sebab gadis yang menikah dengannya adalah gadis sederhana dan penurut. Kesan gadis penipu bisa ditutup sekarang. Darel sudah mengetahui apa penyebab gadis itu menipu, gadis yang terlalu takut pada orang tuanya bisa apa? "Kalau mau makan duluan, silahkan," ucap Renja di sana tanpa memandang. Darel memperhatikan lauk pauk sederhana tetapi menggoda selera, perut Darel langsung terasa lapar. Lalu seperti tawaran Renja barusan, Darel makan duluan seorang diri. "Keluargamu belum bangun, apa tidak apa-apa membiarkan kopi dan teh nya dingin?" Darel berucap sembari menuang kembali teh ke dalam gelasnya. "Sebentar lagi mereka akan bangun. Papa berangkat pagi hari ini, mama juga." "Adikmu?" "Adikku enggak memiliki kebiasaan minum hangat di pagi hari. Dia suka yang dingin-dingin." Renja selesai dengan sisa pekerjaan, lalu dia kembali ke meja makan menemani Darel makan. Renja hanya memperhatikan setiap suapan lahap--senang masakannya bisa diterima oleh lidah sang suami. "Bagaimana? Apakah sesuai dengan seleramu, Darel?" Darel hanya mengangguk-angguk, tidak menjawab sebab mulut penuh. Benar-benar ... dia makan sebelum membersihkan wajah atau sikat gigi terlebih dahulu. "Renja, kamu sudah siapkan bekal papa?" Amar lewat menuju kamar mandi belakang, tidak berniat mendengar jawaban karena barusan dia memerintah bukan bertanya. Pria itu pun menghilang di balik pintu tak menegur menantu. Darel berhenti mengunyah, membiarkan makanan membuat pipinya menggelembung lucu. Mematung menatap Renja dalam ekspresi penasaran. Renja tertawa kecil. "Jangan khawatir, sudah aku siapkan semua. Makan lagi, nambah juga boleh." Renja memberi tahu halus, menghempas rasa khawatir Darel sebab dia sudah makan terlalu banyak--takut yang lain nggak kebagian. Atau mereka akan marah pada si miskin ini? Satu persatu mereka bangun semua, membersihkan diri lantas makan. Tidak ada yang menggunjing Darel, mereka manusia masih punya empati untuk setidaknya jangan mempermasalahkan makanan yang telah ditelan. "Hari ini kalian pergi, ya?" Sera memiringkan kepala, terkikik mengejek kakaknya. "Aku penasaran seperti apa rumah Bang Darel. Tidak bocor, kan?" Renja memelototi adiknya, memberi tanda untuk berhenti bicara. Mulutnya kurang ajar! "Maaf, tapi aku hanya takut kakakku kedinginan," godanya membentuk raut sedih, kemudian dia pergi bersiap-siap untuk sekolah. Sementara Darel tidak menanggapi, dia bukan tipe yang mudah terpancing emosi. Sosok yang tenang berpenampilan kasar menawan. Lagian dia akan membawa Renja pergi pagi ini juga. Mereka sudah siap semua. "Ma, Pa, Sera." Renja berbalik sebelum naik ke atas motor. Menatap sedih keluarganya dan rumah tempat ia tumbuh. "Aku pergi. Terima kasih." Mereka mengangguk malas, bergantian menerima salam dari Renja. Sedangkan Darel menyusun tas Renja yang hanya berisi pakaian saja. Tidak banyak, satu tas cukup memuat semua pakaian Renja. "Sera ... kamu jangan nakal, ok!" Dia menekan jidat adiknya, memberi peringatan sebagai seorang yang selalu memperhatikan adiknya. "Nyatanya kau yang digerebek warga, bukan aku, si anak nakal ini." Sera berbisik menahan tawa. Kakaknya yang baik, tidak menikah dengan cara yang baik. Membuktikan tidak semua orang baik akan berakhir baik. "Dasar. Kalau ada waktu, bantu mama mengurus rumah. Jangan kabur." Setelah itu Renja berbalik badan, naik ke atas motor yang sudah siap membelah jalanan. Renja melambai, motor berjalan meninggalkan keluarga dan rumahnya. Tangan Renja beralih menyeka air mata perpisahan, biar jarak mereka tidak jauh--terpisah 25 menit perjalanan motor--tempat Renja pulang tidak sama, selama dia masih menyandang status istri. 'Kayak ditinggal mati saja.' Darel tidak habis pikir, dulu dia meninggalkan orang tua tanpa beban atau rasa takut akan kerinduan. Melihat Renja ... rasanya aneh. Memang begini ya gadis rumahan? Padahal Renja seperti babu diperlakukan oleh mereka. Sesampainya di tempat tinggal Darel, Renja diam di dekat pagar dahan dari sebuah rumah berbahan kayu namun tampak mewah dan elegan. Dia tidak percaya ini. Apa benar ini rumah Darel? Renja menoleh sana-sini, pepohonan tumbuh menjulang tinggi menyejukkan udara serta teduh. Suara hewan seperti burung, jangkrik dan katak, menambah kesan tenang yang sesungguhnya. Tak jauh dari tempat Renja berdiri, sekitar 13 meter, terdapat rumah lain yang juga berbahan kayu. Tentu tidak hanya dua rumah, ada sekitar 15 rumah yang telah Renja hitung namun jarak mereka tidak ada yang kurang dari 5-7 meter. Pemukiman ini seperti hutan, akan tetapi berpenghuni. Rumah mereka semua berbahan kayu, rasanya adem serta aesthetic untuk dilihat. Ini jauh dari gambaran rumah bocor seperti yang keluarganya pikirkan. "Tunggu apa lagi? Ayo masuk." Darel memimpin jalan, sekaligus membawa tas Renja masuk. Ketika Renja menginjak lantai kayu, lantai tersebut sama sekali tidak berderit—seperti lantai marmer mengkilap dan halus. Namun, keindahan ini dirusak oleh barang-barang berserakan tidak pada tempatnya. Renja berjanji akan membuat rumah ini menjadi indah seperti keindahan alam juga rasa nyaman saat melihatnya. "Aku tidak menyangka kau memiliki selera rumah yang seperti ini," tutur Renja terus terang. Mau dilihat bagaimanapun, dari penampilan dan gaya berantakan Darel, Renja sempat mengira rumah Darel berada di pemukiman panas dan berisik. Darel berhenti di depan sebuah pintu ruangan, berbalik badan menanggapi Renja. "Kau tidak suka?" Sebelah alisnya terangkat. Ingin tahu. "Aku suka. Tempatnya tenang dan adem. Jauh dari ributnya kendaraan. Hanya saja aku tidak menyangka kau memiliki sisi lembut." "Sisi lembut, ya?" Darel tertawa tipis. "Aku mencari rumah yang tenang, agar aku bisa beristirahat dengan baik." Lantas Darel membuka pintu, masuk dan diikuti oleh Renja. Kamar yang lebih besar juga ranjang dahan pohon ditimpa kasur tebal satu jengkal orang dewasa. Jendela di sisi kepala ranjang, lampu tidur di sebelah kiri, juga kipas angin di langit-langit. Itu tampak nyaman, Renja langsung duduk di kasur. "Darel, tempat ini benar-benar nyaman." Renja tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya, kehidupan pernikahan sederhana seperti ini memang mimpi Renja, termasuk tinggal di tempat yang tidak berisik. "Istirahatlah dulu, aku mau pergi ke bengkel." Renja mengangguk. Setelah Darel pergi menggunakan motornya, Renja berdiri. Mana bisa dia istirahat sementara rumah barunya begitu berantakan. Dia akan istirahat setelah suaminya tampak bersih dan rapi.Renja sudah selesai bersih-bersih, rumah disulap menjadi bersih dan rapi. Dia menyeka keringatnya, lalu berkacak pinggang melihat betapa hampa rumah ini. Tidak ada peralatan masak selain panci kecil untuk merebus air, kulkas atau hal lain yang menunjang dapur, sama sekali tidak ada. Bagaimana makan siang nanti? Renja pergi ke luar, rasa lelahnya seketika disapu oleh ketenangan alam. Pohon-pohon tinggi, rumput, dan suara air sungai. Renja penasaran dari mana asal suara air itu, lantas di memasang sandal, berjalan menelusuri jalan kerikil abu-abu dan biru. Renja melihat wanita di teras rumah tengah menggendong anak, dia tersenyum ramah ketika mata mereka saling bertemu. Wanita itu cantik, pakaiannya juga bagus, Renja tidak pernah melihat pakaian model itu di pasar. Tinggal tiga meter lagi Renja sampai di sungai jernih yang memiliki batu-batu alam yang besar. Renja takjub, tempat ini benar-benar indah. "Kenapa sedikit sekali yang tinggal di sini?" Dia naik ke atas batu, arus sungai
Tempat tidur di sebelahnya dingin dan kosong, Renja menatap lama oleh tatapan sayu dan senyum tipis yang dipaksakan. Renja turun dari ranjang tinggi menyentuh lantai Kayu halus tak bermotif. Ia pergi ke meja segi panjang, memeriksa lauk-pauk yang ia masak. Maniknya gemetar, tak sedikitpun makanan di atas meja berkurang setelah ia tinggalkan tadi malam. "Dia kenapa tidak pulang?" Renja menatap pintu tertutup rapat, tidak bergerak dari tempatnya untuk mencoba membiarkan udara masuk. Dia menggelengkan kepala juga sedikit mengetuk dahinya sendiri. "Dia pasti sibuk, atau dia kelelahan dan tertidur di sana." Renja memperingati dirinya untuk mengerti. Dia memungut makanan basi, membawa ke dapur untuk dibersihkan. Rambut panjang diikat asal menggunakan karet yang ia temukan di atas kompor, Renja mulai melakukan keahliannya dalam mengurus rumah. Siang ini ... Darel pulang tidak, ya? Dalam sela-sela kegiatannya, dia memikirkan lagi suaminya. Apa yang disukai? Dan cara apa yang akan disenan
Terdapat sepeda usam di samping rumah pada pondok kecil seperti tempat parkir ber atap daun. Renja meninggalkan sapu halamannya, dia baru melihat sepeda hari ini sebab baru mencoba mendekati tempat itu. Renja mengecek keadaan sepeda, tidak ada kerusakan kecuali ban yang sedikit kempes. Renja naik di atasnya, mengayuh di sekitar saja untuk pengetesan. "Lumayan, bisa dibawa ke pasar." Renja turun, memeriksa keranjang depan yang terbuat dari kawat. Memang agak berkarat, tetapi masih kuat menahan bahan masakan. Renja mendapatkan hiburan setelah bersedih sepanjang pagi. Dia kembali naik ke atas sepeda, mengelilingi rumah melewati jalan tanah padat di sekitarnya. Senyum terbit di antara mata yang bengkak, angin ciptaan dari setiap kayuhan di kakinya mengayun rambut untuk menari-nari. Sepeda ... Renja sudah lama tidak menaikinya, dia merasakan nostalgia ketika dia masih SMP pulang balik ke sekolah, atau pergi beli sesuatu yang disuruh mama
Sera pulang pada waktu matahari akan terbenam, dia menjinjing kotak martabak sebagai oleh-oleh untuk mama dan bapaknya. Pasti mereka sudah pulang jam segini, pikir Sera tidak sabar menceritakan sesuatu menarik. "Ma, Pak," Sera memanggil serta tersenyum cerah, meletakkan buah tangan di atas meja lantas ikut duduk di sofa memandang mereka antusias. Sementara mereka meraih martabak, Sera memulai gosip bernada panas. "Tadi aku jumpa Kak Renja di jalan, dia mau ke pasar menggunakan sepeda jelek." Reaksi kedua orang tuanya seperti yang Sera harapkan, menghela napas seolah beban mereka seberat gunung. "Pasti dia hidup susah, seandainya dia mau cerai terus nerima lamaran anak Pak Sugeng, Deka, yang jadi direktur di kota itu, pasti hidupnya senang sekarang." Fika sangat kecewa, dari banyaknya lamaran dari pria mapan, Renja malah berakhir dengan seorang montir. Amar berdehem, pembicaraan tentang Renja ini menghacurkan rasa manis martabaknya. "Kau janga
Renja kembali memungut makanan dingin di atas meja ketika dia bangun tidur. Darel mengingkari janji, membuat masakan Renja sia-sia lagi. Renja menekan rasa panas di dadanya, seperti dia selalu memendam segala emosi jeleknya sama seperti dia bersama keluarganya yang perhitungan. Membersihkan rumah sebentar, selepas itu bersantai jenuh. Renja memiliki banyak waktu istirahat setelah dia menikah, kerap kali duduk di teras dengan secangkir teh hangat menikmati nyanyian burung di pohon-pohon tinggi. Dia mengangkat telapak tangan untuk dilihat, merasakan ada sedikit perubahan, lebih halus dari biasanya. Apa karena dia tidak melakukan pekerjaan kasar lagi? Renja juga sering berendam air hangat sebab ada bathub yang membuat Renja antusias sendiri. Dia tidak memiliki itu di rumah orang tua. "Sepertinya berendam air panas membuat kulit jadi halus."Setelah makan siang Renja tidur di kasurnya yang empuk. Sore sekitar jam tiga dia bangun, duduk lagi di tera
Di depan cermin yang menampilkan seluruh tubuhnya, Renja berputar-putar memandang kagum piama baru nan cantik. Dia melupakan fakta beberapa jam yang lalu telah mengeluhkan pengeluaran untuk semua itu. Pakaian menang berpengaruh besar dalam untuk penampilan cantik, terbukti dari Renja yang seperti orang berbeda padahal sama sekali dia tidak menggunakan riasan. Ini baru piama, masih banyak gaun serta aksesoris indah lainnya. Renja berbalik girang. "Apa aku masih seperti gembel, Darel?" tanyanya pada sang suami yang bersandar di atas kasur tengah memperhatikan. Pria itu tersenyum tipis, istrinya jauh lebih cantik dari pada ekspetasinya. Terbayar sudah rasa lelah Darel dalam memilih pakaian wanita yang ternyata tidak mudah. "Pakaian dalamnya juga kau pakai?"Renja mengangguk malu, Darel berbelanja sampai ke titik itu; ada yang kebesaran juga ada yang kekecilan, tetapi yang pas lumayan banyak."Kalau mau tidur enggak usah memakai bra, menurut dokter itu tidak bagus intuk kesehatan," sa
Rintik hujan kecil belum berhenti sejak buliran air itu turun sore tadi. Renja mengintip dari balik tirai di kamar pada hari yang mulai gelap. Sensasi dingin ini... Renja mengeluh mengantuk. Jika tidak ingat janji tiga hari itu adalah hari ini, maka Renja akan membiarkan tubuhnya meringkuk dalam kenyamanan selimut sampai pagi. Renja beralih ke dapur membuat secangkir kopi, membawanya ke meja persegi panjang untuk menikmati aroma harumnya. Semoga kantuknya lekas menghilang, Renja tak ingin mengecewakan Darel seakan mencari alasan untuk menghindar. Sebentar lagi pria itu akan pulang, Renja merasakan debar jantung menanti untuk segera melepaskan rasa tidak nyaman ini. Setelah hal itu selesai, Renja akan menjadi istri baik yang sesungguhnya. Mungkin Darel juga akan bisa lebih terbuka, Renja menahan diri untuk bertanya banyak hal tentang Darel dan keluarga pria itu. Ya, Renja ingin dekat terlebih dahulu, baru dia bisa menggali setidaknya sedikit demi sedikit. Suara motor berhenti di lu
Pakaian berserakan di lantai, Renja menahan selimut di dada dengan wajahnya yang memerah malu akan ingatan tadi malam. Setiap gerakan terasa salah, perih di selangkangan menjadi sumber, bekas hisapan banyak tertinggal di kulit putihnya. Renja menatap dirinya di cermin yang berhadapan dengan tempat tidur, memandang lama penampilan berantakan dari wanita yang berusaha menjadi istri terbaik. Senyum tipis muncul, dia bangga pada dirinya sendiri sebab berhasil mengalahkan rasa takut. Susah payah Renja beranjak, meringis pelan dalam setiap langkah menuju kamar mandi. Tidak ada Darel di mana-mana, pun matahari sudah cukup tinggi, tidak mungkin dia menunda pekerjaan untuk menunggu istrinya bangun. Ini pertama kalinya Renja bangun sangat siang. Dia keluar dari pintu kamar mandi terlilit handuk, kembali masuk ke kamar, membuka lemarinya yang penuh pakaian cantik--rata-rata merupakan gaun dan rok potongan, celana hanya ada sedikit. "Darel sepertinya suka wanita feminim," Renja menebak, tert