Renja mengernyit sebelum ia membuka mata, mulai merasakan semua indra, dan luka di sekujur tubuh membuat dia meringis sakit. Hal pertama yang ia lihat adalah baling-baling kipas angin besar berputar di atas pada langit-langit triplek. Ah, ini kemarnya. Berusaha duduk, Renja melihat cermin besar di depan. Bajunya telah bertukar, dia juga sudah jauh lebih bersih. Berapa lama dia tidak sadarkan diri? Jendela memantulkan cahaya terang, mungkin tinggal beberapa jam lagi matahari akan turun. "Masih sakit?"Seorang pria berbadan tinggi muncul dari ambang pintu, membawa bungkusan terjuntai dari genggamannya. Renja menatap lama, menghembuskan napas panas yang ia sendiri merasakannya. Kemudian tersenyum tipis. Darel membesarkan mata, tenggorokan tercekat sehingga dia berhenti melangkah. Istrinya tampak bersinar, dibantu oleh pancaran cahaya sore dari jendela transparan bersama tirai menari-nari oleh angin. Bidadari, Renja layaknya bidadari yang singgah di tempat tidurnya. Duduk bersandar, k
“Kenapa berisik sekali?” dia bergumam belum sadar sepenuhnya dari tidur. Suara-suara berisik itu... dia menutup kuping sembari menggulingkan badan menghadap ke samping. Tangannya mulai meraba-raba mencari bantal untuk membantunya menutupi telinga. ‘Bantalku di mana?’ Tangan terus meraba-raba ke samping namun mata enggan ia buka. Kasar, tempat yang ia raba terasa asing. Itu bukanlah kasur. Lantas dia membuka mata pelan, meringis akan cahaya matahari yang menembaknya. Dia berada di luar? Rumput ilalang hijau gemerisik saat angin bertiup, dia duduk melihat hamparan hijau luas, kemudian tertuju pada keramaian yang membuat suara tidak nyaman.“Renja, kau membuat malu orang tua.” Mendengar namanya disebut, dia mendongak menatap wanita beraut marah. “Mama, ada apa ini?” Renja balik bertanya, dia belum mendapatkan semua ingatannya—bangun dalam keadaan linglung adalah kebiasaan alami Renja. Gadis ini masih terduduk, beralih menatap lingkaran bapak-bapak tengah memukul sesuatu. Mata Renja
Keluarga Renja mendengar penjelasan Renja atas kejadian pagi ini. Setelah mereka tahu Darel hanya seorang montir berpenghasilan kecil, raut mereka berubah tidak mengenakkan. Amar, papa Renja, hanya diam membayangkan tidak ada yang bisa membantu kemiskinan mereka.“Keluarga kita sudah miskin, seharusnya tidak menampung orang miskin lainnya,” sindir Amar menoleh ke tempat lain seolah dia hanya menyinggung hantu tidak terlihat. Namun adik Renja, Sera, tidak dapat lagi menahan semburan tawa, semua orang langsung melihatnya. Sera membekap mulut. “Maaf, aku hanya teringat sesuatu yang lucu.” Dia masih terkikik geli membekap mulut kuat. “Aku tidak menyangka kehidupan kakakku akan lebih miskin setelah menikah,” ucapnya sambil meninggalkan tempat. Mata Darel menyipit. Apa barusan dia dihina? Tetapi Darel diam saja. “Ma, bapak pergi kerja dulu, uruslah mereka.” Amar berdiri lalu pergi, dia adalah buruh bangunan. Baginya, lebih baik tidak jadi mengambil libur daripada menemani menantu miskin
Malam terakhirnya tidur di kasur kecil, Renja berhimpitan dengan Darel si pria berbadan keras. Semua orang mungkin telah tidur pulas, hanya Renja yang masih terjaga menatap langit-langit kusam yang tidak pernah absen untuk dilihat sepanjang hidupnya. Lampu tidur redup, kipas angin cacat, mereka selalu menemani Renja lebih lama dari apa pun. Besok dia akan meninggalkan semua kenangan tersebut, terkurung dalam ruang sempit tak berpenghuni. Lantas Renja melirik Darel dari ujung matanya, pria itu tidur tenang tanpa mengeluarkan suara dengkuran. Apa dia sama sekali tidak merasa canggung? Renja bertanya-tanya bagaimana cara pria itu mengatasi emosionalnya pada kenyataan sekarang. Renja tidak tahu apakah Darel sedih, marah, kecewa, apapun segala bentuk emosi, Renja benar-benar ingin tahu perasaannya. Pemikiran itu terbawa sampai ke alam mimpi Renja, namun di sana pun Renja tidak menemukan jawaban selain mimpi tidak nyambung yang selalu berpindah-pindah tempat secara mendadak. ***Arom
Renja sudah selesai bersih-bersih, rumah disulap menjadi bersih dan rapi. Dia menyeka keringatnya, lalu berkacak pinggang melihat betapa hampa rumah ini. Tidak ada peralatan masak selain panci kecil untuk merebus air, kulkas atau hal lain yang menunjang dapur, sama sekali tidak ada. Bagaimana makan siang nanti? Renja pergi ke luar, rasa lelahnya seketika disapu oleh ketenangan alam. Pohon-pohon tinggi, rumput, dan suara air sungai. Renja penasaran dari mana asal suara air itu, lantas di memasang sandal, berjalan menelusuri jalan kerikil abu-abu dan biru. Renja melihat wanita di teras rumah tengah menggendong anak, dia tersenyum ramah ketika mata mereka saling bertemu. Wanita itu cantik, pakaiannya juga bagus, Renja tidak pernah melihat pakaian model itu di pasar. Tinggal tiga meter lagi Renja sampai di sungai jernih yang memiliki batu-batu alam yang besar. Renja takjub, tempat ini benar-benar indah. "Kenapa sedikit sekali yang tinggal di sini?" Dia naik ke atas batu, arus sungai
Tempat tidur di sebelahnya dingin dan kosong, Renja menatap lama oleh tatapan sayu dan senyum tipis yang dipaksakan. Renja turun dari ranjang tinggi menyentuh lantai Kayu halus tak bermotif. Ia pergi ke meja segi panjang, memeriksa lauk-pauk yang ia masak. Maniknya gemetar, tak sedikitpun makanan di atas meja berkurang setelah ia tinggalkan tadi malam. "Dia kenapa tidak pulang?" Renja menatap pintu tertutup rapat, tidak bergerak dari tempatnya untuk mencoba membiarkan udara masuk. Dia menggelengkan kepala juga sedikit mengetuk dahinya sendiri. "Dia pasti sibuk, atau dia kelelahan dan tertidur di sana." Renja memperingati dirinya untuk mengerti. Dia memungut makanan basi, membawa ke dapur untuk dibersihkan. Rambut panjang diikat asal menggunakan karet yang ia temukan di atas kompor, Renja mulai melakukan keahliannya dalam mengurus rumah. Siang ini ... Darel pulang tidak, ya? Dalam sela-sela kegiatannya, dia memikirkan lagi suaminya. Apa yang disukai? Dan cara apa yang akan disenan
Terdapat sepeda usam di samping rumah pada pondok kecil seperti tempat parkir ber atap daun. Renja meninggalkan sapu halamannya, dia baru melihat sepeda hari ini sebab baru mencoba mendekati tempat itu. Renja mengecek keadaan sepeda, tidak ada kerusakan kecuali ban yang sedikit kempes. Renja naik di atasnya, mengayuh di sekitar saja untuk pengetesan. "Lumayan, bisa dibawa ke pasar." Renja turun, memeriksa keranjang depan yang terbuat dari kawat. Memang agak berkarat, tetapi masih kuat menahan bahan masakan. Renja mendapatkan hiburan setelah bersedih sepanjang pagi. Dia kembali naik ke atas sepeda, mengelilingi rumah melewati jalan tanah padat di sekitarnya. Senyum terbit di antara mata yang bengkak, angin ciptaan dari setiap kayuhan di kakinya mengayun rambut untuk menari-nari. Sepeda ... Renja sudah lama tidak menaikinya, dia merasakan nostalgia ketika dia masih SMP pulang balik ke sekolah, atau pergi beli sesuatu yang disuruh mama
Sera pulang pada waktu matahari akan terbenam, dia menjinjing kotak martabak sebagai oleh-oleh untuk mama dan bapaknya. Pasti mereka sudah pulang jam segini, pikir Sera tidak sabar menceritakan sesuatu menarik. "Ma, Pak," Sera memanggil serta tersenyum cerah, meletakkan buah tangan di atas meja lantas ikut duduk di sofa memandang mereka antusias. Sementara mereka meraih martabak, Sera memulai gosip bernada panas. "Tadi aku jumpa Kak Renja di jalan, dia mau ke pasar menggunakan sepeda jelek." Reaksi kedua orang tuanya seperti yang Sera harapkan, menghela napas seolah beban mereka seberat gunung. "Pasti dia hidup susah, seandainya dia mau cerai terus nerima lamaran anak Pak Sugeng, Deka, yang jadi direktur di kota itu, pasti hidupnya senang sekarang." Fika sangat kecewa, dari banyaknya lamaran dari pria mapan, Renja malah berakhir dengan seorang montir. Amar berdehem, pembicaraan tentang Renja ini menghacurkan rasa manis martabaknya. "Kau janga