Renja sudah selesai bersih-bersih, rumah disulap menjadi bersih dan rapi. Dia menyeka keringatnya, lalu berkacak pinggang melihat betapa hampa rumah ini. Tidak ada peralatan masak selain panci kecil untuk merebus air, kulkas atau hal lain yang menunjang dapur, sama sekali tidak ada.
Bagaimana makan siang nanti? Renja pergi ke luar, rasa lelahnya seketika disapu oleh ketenangan alam. Pohon-pohon tinggi, rumput, dan suara air sungai. Renja penasaran dari mana asal suara air itu, lantas di memasang sandal, berjalan menelusuri jalan kerikil abu-abu dan biru. Renja melihat wanita di teras rumah tengah menggendong anak, dia tersenyum ramah ketika mata mereka saling bertemu. Wanita itu cantik, pakaiannya juga bagus, Renja tidak pernah melihat pakaian model itu di pasar. Tinggal tiga meter lagi Renja sampai di sungai jernih yang memiliki batu-batu alam yang besar. Renja takjub, tempat ini benar-benar indah. "Kenapa sedikit sekali yang tinggal di sini?" Dia naik ke atas batu, arus sungai tidak begitu deras, dangkal dan bergerak aman. Renja mencelupkan kakinya di sungai, merasakan suhu dingin yang menyegarkan. "Seharusnya tempat ini ramai didatangi." Rasanya mengganjal, tempat indah yang mudah dijangkau kendaraan malah sepi. Renja ingat danau bekas galian tambang saja sering ramai pengunjung. Renja segera mengalihkan pikiran pada sesuatu lebih berguna. "Di sini kayaknya bagus jadi tempat mencuci baju." Renja sudah memiliki gambaran bagaimana dia akan menghabisi waktu dengan tumpukan pakaian kotor di sini. Bukan ide buruk jika sekalian mandi juga. Jantung Renja berdebar tidak sabar, bibir membentuk senyum halus begitu girang sekaligus gugup akan menjalani kehidupan rumah tangga. Renja berjanji akan menjadi istri yang baik, mencoba melakukan yang terbaik. Lalu Renja mendengar suara motor, dia menoleh ke belakang sebab mengenal suara itu. "Darel," gumam Renja. Pria itu juga dapat melihat Renja dari sana, tetapi dia hanya diam dan menunggu di atas motor. Renja beranjak dari batu, berjalan pelan dan berhati-hati pada batu yang licin oleh kaki yang basah. Renja berjalan di atas kerikil separuh berlari, Darel terlihat seperti tengah menunggu Renja sehingga Renja tidak berpikir untuk jalan santai. "Air di sungai sana sangat jernih," lapor Renja tersenyum bahagia ketika dia sampai di hadapan Darel. "Menyenangkan jika mencuci baju di sana." Gadis ini benar-benar ... Darel tidak tahu harus berkata apa untuk menanggapi kebahagiaan sederhana gadis itu. Dia benar-benar mendapat sosok lembut khas gadis desa sesungguhnya. "Lapar?" Darel berucap sembari memperlihatkan tentengan di tangannya. Berupa nasi bungkus. "Iya." Renja balas antusias, dia menunjukkan ekspresi menantikan yang membuat siapa pun melihatnya akan merasa dihargai. Gadis ini pandai menjaga perasaan orang lain, karena dia dibesarkan untuk mengerti keadaan. Lalu mereka berdua masuk ke dalam rumah, Darel terdiam ketika pintu terbuka lebar. Lantas dia melirik Renja, kembali lagi melirik ruangan. Darel tak mampu menahan tawa tipisnya, beginilah jika dia memiliki seseorang yang rajin. Ruangan bersih dan rapi akan terjamin. Darel merasa pangling dengan rumahnya sendiri. "Ada apa?" Kepala Renja miring ke kanan, menatap pria yang jauh lebih tinggi dengan mata bulatnya. "Kenapa kau tiba-tiba tertawa?" Renja kembali bertanya, semakin membuat wajahnya cantik dan imut. Darel membuang napas kasar, tangannya bergerak menutup pintu. "Aku bilang kau istirahat saja dulu, kan?" "I-iya, tapi aku tidak lelah." Renja pikir dia telah melakukan kesalahan. "Apa aku ..." Dia menunduk takut. "... aku memindahkan barang yang tidak boleh dipindahkan?" "Tidak, bukan itu maksudku. Ah, sudahlah. Ayo makan, kau tidak melakukan kesalahan apa pun." Renja mengangguk. Mereka berdua duduk lesehan di depan meja segi empat panjang kurang sedikit satu meter. Menikmati makan siang berusaha membuang canggung. Lalu Renja memikirkan sesuatu, hal yang memang harus dibicarakan. "Aku tidak bisa memasak tanpa alat," singgungnya langsung tanpa basa-basi. Renja gugup, berusaha mengalihkan pandangan seraya mengaduk-aduk nasi. Tiba-tiba sebuah kartu mendarat di meja. Renja melihat tangan Darel yang meletakkan kartu itu, tentu Renja mengenal apa kegunaan dari kartu tersebut. Renja mendongak, mereka saling pandang. "Ini ..." Renja memegang kartunya, dia meragu dalam kegelisahan tidak enak hati. "Itu khusus untukmu. Aku akan kirimkan uang setiap bulannya. Setelah ini kita pergi berbelanja kekurangan yang kau maksud." Untunglah. Renja menangguk semangat. Ia pikir Darel akan kesulitan dan akan marah, ternyata dia mengerti dan setidaknya memiliki simpanan untuk mengisi dapur atau lainnya. *** Renja tidak menyangka bahwa barang yang datang akan sebanyak ini, maksudnya dia bisa membeli semua barang itu dalam sehari tanpa menabung terlebih dahulu. Di luar dugaan! "Darel tidak semiskin yang mereka pikirkan." Renja terkikik geli. Dia penasaran bagaimana tanggapan orang tuanya pada Renja yang bisa membeli barang sebanyak ini? Mobil pengantar terparkir di depan, orang-orangnya membantu menurunkan barang juga menyusun di tempat yang Renja inginkan. Sebelum matahari terbenam, semua telah tertata membentuk rumah impian. Ini semua lebih lengkap dibandingkan peralatan di rumah Renja sebelumnya. "Darel jam berapa ya pulang?" Renja melirik jam dinding. Tadi setelah berbelanja, Darel mengantarkan Renja pulang lantas pergi lagi. Renja berpikir akan menyiapkan makan malam dari sekarang, makanan yang dibuat dengan kasih. Ketika hari telah gelap, Renja berhasil menyiapkan tiga lauk. Dia kemudian duduk rapi di dekat meja, beberapa kali melirik jam menantikan kepulangan Darel. Tiba-tiba dia cemas, bagaimana jika Darel belum pulang setelah semua makanan telah dingin? Renja memainkan jarinya, ia ingat waktu tengah malam ketika motornya rusak. Saat itu Darel masih di bengkel. Renja tidak memiliki ponsel untuk menghubungi, satu-satunya pilihan adalah dengan bersabar. Sudah pukul sembilan malam, semua sajian telah dingin. Renja meringkuk sabar, setelah ia rasa cukup, Renja memakan bagiannya seorang diri. Renja sudah mengantuk, dia tidak tahan menunggu lebih lama. "Nanti kalau dia pulang aku panaskan." Renja sama sekali tidak berkecil hati, dia harus pengertian pada suami yang bekerja. Sebelum masuk ke kamar, Renja mengintip ke jendela, pada suasana menyeramkan yang berbanding terbalik ketika siang. Renja langsung merinding, berlari kecil ke kamar. Dia menutupi seluruh tubuhnya menggunakan selimut, mendengarkan suara alam yang kental. Gesekan daun, serangga, dan katak. Suara yang menyenangkan sekaligus membawa historia berbeda. Mengerti? Tenang, tapi rada seram. "Semoga dia cepat pulang." Perlahan-lahan dia terlelap. Kasur tebal pembawa kenyamanan, selimut lembut yang dia sempat beli tadi siang juga cocok. Renja jadi menikmati setiap hembusan napas hangat, dirinya lepas dari lelah setelah membenah rumah seharian. Tidak ada yang memaksa Renja bangun dalam perkataan memerintah. Renja bebas mau tidur berapa lama. Padahal ini adalah tempat baru baginya, namun untuk merasa nyaman, Renja tidak perlu berusaha mengenal lingkungan. "Istri ... baik." Dia bergumam dalam lelapnya, terus menekankan diri atas pedoman tersebut sampai ke alam mimpi. Tangannya menggenggam selimut, bulu mata hitam lentik sesekali bergerak ketika dia memejam erat dalam ringisan pelan. Gadis lembut yang cantik. Dia tidur sendiri menanti suami pulang entah sampai jam berapa. Ketika itu tiba, dia bersedia bangun untuk memanaskan makanan untuknya.Tempat tidur di sebelahnya dingin dan kosong, Renja menatap lama oleh tatapan sayu dan senyum tipis yang dipaksakan. Renja turun dari ranjang tinggi menyentuh lantai Kayu halus tak bermotif. Ia pergi ke meja segi panjang, memeriksa lauk-pauk yang ia masak. Maniknya gemetar, tak sedikitpun makanan di atas meja berkurang setelah ia tinggalkan tadi malam. "Dia kenapa tidak pulang?" Renja menatap pintu tertutup rapat, tidak bergerak dari tempatnya untuk mencoba membiarkan udara masuk. Dia menggelengkan kepala juga sedikit mengetuk dahinya sendiri. "Dia pasti sibuk, atau dia kelelahan dan tertidur di sana." Renja memperingati dirinya untuk mengerti. Dia memungut makanan basi, membawa ke dapur untuk dibersihkan. Rambut panjang diikat asal menggunakan karet yang ia temukan di atas kompor, Renja mulai melakukan keahliannya dalam mengurus rumah. Siang ini ... Darel pulang tidak, ya? Dalam sela-sela kegiatannya, dia memikirkan lagi suaminya. Apa yang disukai? Dan cara apa yang akan disenan
Terdapat sepeda usam di samping rumah pada pondok kecil seperti tempat parkir ber atap daun. Renja meninggalkan sapu halamannya, dia baru melihat sepeda hari ini sebab baru mencoba mendekati tempat itu. Renja mengecek keadaan sepeda, tidak ada kerusakan kecuali ban yang sedikit kempes. Renja naik di atasnya, mengayuh di sekitar saja untuk pengetesan. "Lumayan, bisa dibawa ke pasar." Renja turun, memeriksa keranjang depan yang terbuat dari kawat. Memang agak berkarat, tetapi masih kuat menahan bahan masakan. Renja mendapatkan hiburan setelah bersedih sepanjang pagi. Dia kembali naik ke atas sepeda, mengelilingi rumah melewati jalan tanah padat di sekitarnya. Senyum terbit di antara mata yang bengkak, angin ciptaan dari setiap kayuhan di kakinya mengayun rambut untuk menari-nari. Sepeda ... Renja sudah lama tidak menaikinya, dia merasakan nostalgia ketika dia masih SMP pulang balik ke sekolah, atau pergi beli sesuatu yang disuruh mama
Sera pulang pada waktu matahari akan terbenam, dia menjinjing kotak martabak sebagai oleh-oleh untuk mama dan bapaknya. Pasti mereka sudah pulang jam segini, pikir Sera tidak sabar menceritakan sesuatu menarik. "Ma, Pak," Sera memanggil serta tersenyum cerah, meletakkan buah tangan di atas meja lantas ikut duduk di sofa memandang mereka antusias. Sementara mereka meraih martabak, Sera memulai gosip bernada panas. "Tadi aku jumpa Kak Renja di jalan, dia mau ke pasar menggunakan sepeda jelek." Reaksi kedua orang tuanya seperti yang Sera harapkan, menghela napas seolah beban mereka seberat gunung. "Pasti dia hidup susah, seandainya dia mau cerai terus nerima lamaran anak Pak Sugeng, Deka, yang jadi direktur di kota itu, pasti hidupnya senang sekarang." Fika sangat kecewa, dari banyaknya lamaran dari pria mapan, Renja malah berakhir dengan seorang montir. Amar berdehem, pembicaraan tentang Renja ini menghacurkan rasa manis martabaknya. "Kau janga
Renja kembali memungut makanan dingin di atas meja ketika dia bangun tidur. Darel mengingkari janji, membuat masakan Renja sia-sia lagi. Renja menekan rasa panas di dadanya, seperti dia selalu memendam segala emosi jeleknya sama seperti dia bersama keluarganya yang perhitungan. Membersihkan rumah sebentar, selepas itu bersantai jenuh. Renja memiliki banyak waktu istirahat setelah dia menikah, kerap kali duduk di teras dengan secangkir teh hangat menikmati nyanyian burung di pohon-pohon tinggi. Dia mengangkat telapak tangan untuk dilihat, merasakan ada sedikit perubahan, lebih halus dari biasanya. Apa karena dia tidak melakukan pekerjaan kasar lagi? Renja juga sering berendam air hangat sebab ada bathub yang membuat Renja antusias sendiri. Dia tidak memiliki itu di rumah orang tua. "Sepertinya berendam air panas membuat kulit jadi halus."Setelah makan siang Renja tidur di kasurnya yang empuk. Sore sekitar jam tiga dia bangun, duduk lagi di tera
Di depan cermin yang menampilkan seluruh tubuhnya, Renja berputar-putar memandang kagum piama baru nan cantik. Dia melupakan fakta beberapa jam yang lalu telah mengeluhkan pengeluaran untuk semua itu. Pakaian menang berpengaruh besar dalam untuk penampilan cantik, terbukti dari Renja yang seperti orang berbeda padahal sama sekali dia tidak menggunakan riasan. Ini baru piama, masih banyak gaun serta aksesoris indah lainnya. Renja berbalik girang. "Apa aku masih seperti gembel, Darel?" tanyanya pada sang suami yang bersandar di atas kasur tengah memperhatikan. Pria itu tersenyum tipis, istrinya jauh lebih cantik dari pada ekspetasinya. Terbayar sudah rasa lelah Darel dalam memilih pakaian wanita yang ternyata tidak mudah. "Pakaian dalamnya juga kau pakai?"Renja mengangguk malu, Darel berbelanja sampai ke titik itu; ada yang kebesaran juga ada yang kekecilan, tetapi yang pas lumayan banyak."Kalau mau tidur enggak usah memakai bra, menurut dokter itu tidak bagus intuk kesehatan," sa
Rintik hujan kecil belum berhenti sejak buliran air itu turun sore tadi. Renja mengintip dari balik tirai di kamar pada hari yang mulai gelap. Sensasi dingin ini... Renja mengeluh mengantuk. Jika tidak ingat janji tiga hari itu adalah hari ini, maka Renja akan membiarkan tubuhnya meringkuk dalam kenyamanan selimut sampai pagi. Renja beralih ke dapur membuat secangkir kopi, membawanya ke meja persegi panjang untuk menikmati aroma harumnya. Semoga kantuknya lekas menghilang, Renja tak ingin mengecewakan Darel seakan mencari alasan untuk menghindar. Sebentar lagi pria itu akan pulang, Renja merasakan debar jantung menanti untuk segera melepaskan rasa tidak nyaman ini. Setelah hal itu selesai, Renja akan menjadi istri baik yang sesungguhnya. Mungkin Darel juga akan bisa lebih terbuka, Renja menahan diri untuk bertanya banyak hal tentang Darel dan keluarga pria itu. Ya, Renja ingin dekat terlebih dahulu, baru dia bisa menggali setidaknya sedikit demi sedikit. Suara motor berhenti di lu
Pakaian berserakan di lantai, Renja menahan selimut di dada dengan wajahnya yang memerah malu akan ingatan tadi malam. Setiap gerakan terasa salah, perih di selangkangan menjadi sumber, bekas hisapan banyak tertinggal di kulit putihnya. Renja menatap dirinya di cermin yang berhadapan dengan tempat tidur, memandang lama penampilan berantakan dari wanita yang berusaha menjadi istri terbaik. Senyum tipis muncul, dia bangga pada dirinya sendiri sebab berhasil mengalahkan rasa takut. Susah payah Renja beranjak, meringis pelan dalam setiap langkah menuju kamar mandi. Tidak ada Darel di mana-mana, pun matahari sudah cukup tinggi, tidak mungkin dia menunda pekerjaan untuk menunggu istrinya bangun. Ini pertama kalinya Renja bangun sangat siang. Dia keluar dari pintu kamar mandi terlilit handuk, kembali masuk ke kamar, membuka lemarinya yang penuh pakaian cantik--rata-rata merupakan gaun dan rok potongan, celana hanya ada sedikit. "Darel sepertinya suka wanita feminim," Renja menebak, tert
Duduk di teras merupakan aktivitas harian Renja setelah dia menikah. Menikmati teh hangat dan cemilan, sembari mendengarkan burung bernyanyi dan menari di dahan pohon. Renja khawatir dirinya akan gemuk, dia jarang bergerak setelah menyelesaikan pekerjaan rumah di pagi hari. Lalu cemilan ... Renja mendorong semua bungkusan, sudah cukup makannya. Untuk memastikan Renja menatap lengannya, lalu bernapas lega sebab benjolan tulang di pergelangan tangan masih terlihat. Telapak tangan Renja halus dari yang semula kasar, dia mulai memperhatikan penampilan agar suaminya tidak berpaling."Kapan Darel akan keluar?" Menoleh ke dalam, pada satu pintu di sebelah kamar yang tertutup rapat. Sudah delapan hari Darel tidak pergi ke bengkel, banyak menghabiskan waktu di ruangan itu. Entah apa yang pria itu lakukan, katanya merupakan pekerjaan penting. 'Dia akan menegurku jika dia lapar, atau ingin bercinta,' rutuk Renja memajukan bibir, menyayangkan Darel mesra hanya ketika melayani nafsunya. Renja m