"Mas ... El-" bisikannya terhenti saat menyadari Javaz yang sedang di peluknya. Mendorong dada bidang itu kuat-kuat dan berbalik badan masuk ke dalam kamarnya dengan membanting pintu."Shif!" Tangan Javaz sudah menggantung hendak menahan wanita yang pergi dari hadapannya."Kalian selalu seperti ini? Gimana bisa dia lebih milih Kak Javaz nggak dipenjara dan malah tinggal bersama sebagai suami istri?" Zora mengutarakan rasa penasarannya sedari kemarin saat dijelaskan Baron di Rumah Sakit tentang hubungan Shifra dan Javaz."Tau ah! Gue ke Surau dulu! Kunci pintunya dan jangan macem macem di sini!" tegas Javaz memberi peringatan pada adiknya dengan sorot mata tajam."Iya ... bawel!" balasnya mengikuti langkah Javaz keluar rumah kemudian melakukan apa yang diperintahkan padanya.Hari berganti hari Javaz semakin disibukkan dengan pekerjaan. Semenjak tangan Shifra terluka karena tersiram air panas waktu itu, semua pekerjaan rumah tangga pria itu yang mengerjakannya. Mulai dari mencuci pakaian
"Allahu Akbar!" pekiknya membaca takbir mengangkat kepala dari sujud dan duduk tasyahud akhir dengan terisak kecil.Dalam hatinya berharap suara itu benar-benar suaminya yang memanggil dari jauh sana. Tapi mungkinkah terjadi?Setelah menoleh ke kanan dan ke kiri, mengakhiri dua rekaatnya, Shifra mengedarkan pandang. Hening dan tak ada sesiapa di kamar bercat dinding kuning langsat itu. Suara Elzien hanyalah sebuah angin yang berembus. Halusinasi dan buah dari rasa rindu yang membuncah, bukanlah nyata adanya.Dua tangan di balik mukena itu kembali terangkat menunduk tajam merapalkan doa kebaikan pada Tuhannya. Sesekali bahunya naik turun menahan tangis. Mengusap pipinya yang basah dan kadang terdengar isakan kecil. Satu tahun yang dijalani tanpa Elzien adalah hal terberat dalam hidupnya."Maafkan aku, Mas ... sekarang belum ada cinta di hatiku untukmu. Mungkin suatu saat, aku bahkan mungkin tak akan mampu kehilangan kamu saking cintanya," kekeh Shifra saat pertama kali memasuki istana k
"Ada apa dengan Mas Javaz, Bu?" Shifra menguatkan dirinya keluar menggendong Ezra yang masih menangis sambil mengayunkan tubuhnya ke kanan ke kiri."Mas Javaz! Mas Javaz!" Bu Joko tak bisa melanjutkan kalimatnya dan malah meliruh ke lantai.Seluruh tubuhnya berguncang hebat meraung merapalkan nama Tuhannya dengan mengelus dada berkali-kali. "Ada apa, Bu? Mas Javaz kenapa?!" sentak Zora ikut berjongkok mengguncang lengan wanita paruh baya yang menggelengkan kepala."Pak-- Joko ... jatuh di- kamar mandi! Tolong- Mas Javaz- antarkan ... ke klinik! Mas Javaz belum ... berangkat-- 'kan?" ucapnya putus-putus sambil mengatur napasnya yang tersengal.Wanita yang menggendong bayinya itu ikut meluruh ke lantai. Zora pun sama, jatuh terduduk mendengar kalimat penjelasan dari Bu Joko.Tak dipungkiri ketakukutan akan kabar buruk terus saja menghantui kedua wanita itu. Kehilangan seseorang yang sudah ada dalam hati kita itu butuh keiklasan yang tak setiap orang bisa lakukan. Di luar tampak tegr da
Zora sontak menoleh cepat dengan mempertajam pendengarannya.'Apakah itu Mas El?' batinnya.Wanita itu tak sempat mencuri dengar lagi, gilirannya mengantre sudah tiba. Dia maju ke depan meja kasir dengan tergesa. Ingin segera menyelesaikannya lalu menghubungi Baron. Tapi apalah daya jika mengurus administrasi Rumah Sakit Daerah lebih rumit dibanding Rumah Sakit Swasta. Dia bahkan tak ingat nomer pria berkaca mata itu, hanya ingat nomor kantor saja."Berapa nomer ponsel Baron? Aaarrrgh ... kenapa Shifra harus depresai sama barang penting gini, sih?" kesalnya karena tanpa alat komunikasi canggih itu, dia jadi harus susah menyelesaikan hal mudah seperti ini."Bagaimana, Mbak?" tanya si resepsionis."Boleh saya pinjam telepon umum saja? Saya akan coba hubungi saudara yang bekerja di perusahaan--," Zora tak mungkin menyebutkannya, "saya hanya ingat nomer kantor itu!" ralatnya dengan wajah memohon."Iya, Silakan!" kata petugas administrasi RSUD menyerahkan gagang telepon kabel pada Zora.Se
"Kita coba! Bismillah!" Shifra menarik lengan Javaz dan masih tetap menggendong Ezra.Sekuat tenaga dia berusaha membangunkan suaminya itu, tapi Javaz justru terguling dan kembali tersungkur di tanahbtak berdaya. "Kak Javaz? Shifra? Ada apa?" Tergopoh-gopoh Zora berlari dari teras rumah Bu Manisah saat sedang mengeluarkan plastik sampah ke tong di depan."Bantu Gue dulu, Ra! Ambilkan stroller Ezra dan letakkan dia di sana dulu! Baru papah gue ke dalam. Gue lemes banget!" kata Javaz terbata dan sedikit cedal."Ya Allah ... Kakak salah makan atau gimana, sih? Habis jatuh?" cecar adik perempuan satu-satunya itu masih belum percaya dengan apa yang dilihat.Javaz hanya menggeleng lemah dan mengulurkan tangan dengan susah payah. Rasanya seluruh tulang tak merespon perintah otak untuk bergerak. Gerakan refleks-nya pun seperti sudah tak berfungsi lagi.Setelah Zora melakukan perintah kakaknya, dia dan Shifra bahu membahu mengangkat tubuh kekar Javaz. Sedikit menyeret kakinya, pria itu tak bi
"Jadi ... Mas Javaz akan lumpuh?" gumam Shifra berdiri di ambang pintu ruangan dokter yang tak tertutup sempurna, tubuhnya terhuyung ke belakang.Hanya mendengar setengah saja deri penjelasan Dokter, Shifra terkejut hingga hampir pingsan."Anda tidak apa-apa, Nyonya?" Baron yang baru datang sigap menahan tubuh wanita bercadar itu."Saya baru saja ke kamar Pak Javaz, tapi Nona Zora dan Anda tidak ada di kamar tunggu. Saya kasihan pada Ezra yang ditinggal sendirian. Jadi saya mencari Anda, Nyonya!" terangnya panjang lebar sambil melepaskan rangkulan lengannya di tubuh Shifra. "Apa jika aku kembali pada semua kemewahan yang diberi oleh Kagendra. Saya berarti melanggar janji saya, Mas Baron?" tanya Shifra menunduk tajam."Tidak Nyonya ... hanya saja kemungkinan besar Anda tidak bisa memimpin perusahaan manapun nantinya. Harus dilimpahkan kuasanya pada orang lain. Anda hanya menjalankan kontrol dari rumah. Karena publik dan kolega bisnis tahunya Anda dan seluruh keluarga pindah ke Negera
"Tolong ... jangan seperti ini! Ayo kita hidup bersama, sembuhlah, Mas ... sembuhlah demi Ezra ... demi anak kita, Mas ... Ezra anak kita, anak Kamu, Mas ...." raungnya berdiri dengan dua lutut menenggelamkan kepala di sisi tubuh Javaz, tersedu-sedu.Ketiga orang lain di ruangan itu saling pandang dengan wajah penuh tanya. Kalimat Shifra seperti sebuah boomerang bagi dirinya sendiri. Dahulu dia tak pernah mau mengakui anaknya sebagai hasil perbuatan Javaz. Tapi sekarang apa?Air mata Javaz mengalir hingga ke telinga. Wajahnya masih sama datar seperti awal pertama jatuh sakit. Hanya detak jantungnya yang menunjukkan ekspresi, dia sedang menahan gejolak di dalam hatinya. Terdengar lebih cepat dan memburu, kemudian berangsur melemah lagi."Ja-jangan ba-wa aku ke-Si-nga-puu-ra, aku--"Belum sampai Javaz menyelesaikan ucapan terbatanya, Shifra mengangguk, menyetujui."Kali ini aku aku mematuhi suamiku, kamu Mas ... kamu sekarang suamiku! " isaknya penuh penekanan dan terus mencium punggun
"Tuh liat! Sudah bisa 'kan? Kamu duduk aja diem di sana! Nanti kalo aku butuh bantuan, baru kamu bantuin!" titahnya menunjuk dengan satu jari pada sofa tak jauh dari Shifra. "Oke ... baiklah!" katanya mundur dan duduk di tepi ranjang, bukan di tempat suaminya menunjuk.Javaz hanya bisa melirik dari ekor matanya dengan seulas senyum. Kini hatinya merasa lebih baik dan mulai nyaman berada di sisi istrinya. Jika dulu adalah karena rasa bersalah dan berniat untuk menghukum dirinya sendiri. sSetidaknya agar bisa merasakan sakit yang sama seperti yang ditorehkan pada Shifra, tapi tidak untuk sekarang. Perasaan suka dan cintanya kembali berbunga dengan warna yang berbeda. Ingin menjaga dan melindungi serta bisa memberikan senyuman di wajah Shifra-Ezra. Di atas lantai berlapis karpet bulu, pria itu memiringkan tubuhnya seperti bayi yang sedang dalam fase belajar miring. Susah payah dengan seluruh kekuatannya dia berusaha melawan lemas dan lemah di seluruh persendiannya yang kaku. Sekali dua