Pagi kembali menyapa dengan sinar keemasan nan elegan. Membangkitkan kembali jiwa yang bersimbah luka setelah tidur lelapnya. Tak peduli seberapa banyak linangan air mata semalam, hari ini tetaplah hari pertama bagiku masuk kerja.Segera kusibak selimut yang membungkus tubuh. Pukul enam pagi bahkan alarm di hp tidak berhasil membangunkanku. Gedoran pintu dari luar lah yang membuatku berhasil membuka mata. "Bisa gawat semua," racauku seraya mencari sikat gigi. Salah satu item penting yang biasanya kuletakkan di tas kecil."Kamu lupa jam kerjamu, Amira?! Hah?!" Teriakan itu terasa lebih mengerikan dibandingkan saat dulu kami masih di perusahaan. Dulu masih ada pelapis Pak Ginanjar yang biasanya memberi aba-aba saat Bos Teo akan datang. Sekarang semua langsung berhadapan seperti ini."Sebentar, Bos. Saya lagi siap-siap!" jawabku sekenanya. Tiga puluh menit kemudian aku berhasil keluar dari kamar. Wajah Bos Teo sudah ditekuk seperti lipetan baju yang kusut. Tangannya bersedekap. Beliau
Waktu melesat seperti anak panah yang terlepas dari busurnya. Tepat mengenai sasaran saat dilakukan oleh seorang profesional. Hari pertama bekerja dengan segudang tanya pun terlewati begitu saja. Semua terasa lebih singkat karena tak ada ruang untukku bersedih. Kamar kos pemberian Bos Teo terus kutinggali hingga hari ke tujuh setelah aku kembali ke kota. Semalam Arga sudah menjelaskan terkait proposal pengajuan daftar menu untuk makan siang di perusahaan Aditama. Arga juga sudah resmi mengundurkan diri dari pekerjaannya di tempat lama. "Pagi, Mbak," sapanya saat aku datang ke ruang kerja. Bos Teo tidak memberiku kunci lagi. Beliau membuka kantor lebih pagi."Pagi, Ga," jawabku seraya menyalakan komputer."Mbak Amira sudah siap?" tanya Arga begitu aku duduk di kursi kerjaku. Seakan tak yakin aku bisa melakukannya."Siap gak siap tetap harus siap, 'kan, Ga?""Iya, deh. Ya udah print dulu proposal yang semalam aku kirim, Mbak. Jam sembilan nanti kita berangkat." Arga memerhatikan jam
Mas Baja benar-benar meninggalkan kami berdua di ruangan Pak Aditama. Arga yang berusaha mengejarnya tetap tak bisa mengubah keputusannya. "Anda boleh keluar, Mbak. Mohon maaf tidak sembarang orang bisa berada di sini." Sekretaris Pak Aditama datang menghampiri. Aku masih terduduk dengan setetes air lolos dari pelupuk mata."Baik, Mbak," ucapku seraya berdiri. Mendongak agar aliran air ini tak semakin banyak. Langkahku sedikit gontai menuju pintu saat akan keluar ruangan."Mbak Amira gak apa-apa?" tanya Arga begitu aku keluar dari ruangan itu. Dari napasnya yang terengah, pasti Arga berlari."Gak apa-apa, Ga. Sorry, ya." Ya. Aku menyesal. Kenapa pula masalah pribadiku tercampur dengan masalah perusahaan. Harusnya Arga bisa mendapatkan kesepakatan ini jika bukan karena hubunganku dengan Mas Baja."Gak apa-apa, Mbak. Besok kita coba lagi," ucap Arga sembari melangkah. Ia mengajakku untuk turun ke lantai satu."Besok?" tanyaku heran. Arga menganggguk. Tangannya menekan tombol lift untu
Perang Dunia II adalah sebuah peperangan yang terjadi antara kurun waktu 1 September 1936 sampai September 1945. Perang yang hampir melibatkan seluruh negara di dunia dan memberi dampak yang luar biasa. Konon manusia menjadi saling mencurigai dan membenci satu sama lain karena masa perang yang menghanguskan sebagian wilayah negara terdampak. Tidak hanya itu, efek psikologis sekaligus traumatik akibat kekejaman serta kekerasan yang dialami pada masa itu juga tak mudah dihilangkan. Membekas seumur hidup bagi korban perang.Ya. Seperti menjalani sebuah perang yang mengharuskan salah satu dari mereka untuk kalah. Begitulah pertempuranku dengan Mas Baja. Mungkin tidak hanya kami saja. Sebagian besar orang yang menikah, lalu memutuskan bercerai dengan cara tidak baik-baik akan mengalaminya. Sebuah mahligai pernikahan tak pernah sederhana. Semua kompleks dan komprehensif seiring waktu tempuh perjalanan pasangan tersebut. Meski setelah ini aku mendapatkan akta cerai dan Mas Baja berhasil me
"Jangan, Mbak!" sergah Arga saat aku akan menemui Mas Baja."Tapi, Ga," ucapku melihat tangan Arga yang lancang menyentuh tanganku."Tunggu sini dulu. Kita gak tahu apa yang akan Mas Baja lakukan. Cari aman, Mbak!" Arga bersikeras melarangku menemui Mas Baja. Aku pun menatapnya kesal."Woy Amira keluar kamu. Jangan main sembunyi-sembunyi seperti ini! Sama Teo juga. Keluar kalau berani! Jangan bisanya cuma nyuruh orang buat jadi pengacau!" Mas Baja terus berjalan. Ia berada di area tengah restoran yang cukup lapang. Tatapannya tidak jelas.Melihat wajahnya yang seperti orang kerasukan dengan tatapan menyalak buas membuatku menciut. Aku berniat bersembunyi di balik punggung Arga. "Diam di situ! Aku sudah melihatmu Amira!" teriak Mas Baja. Sepertinya pergerakanku terbaca.Sial. Kalau sudah begini apa iya aku tidak maju untuk menghadangnya? Terpaksa kuperlihatkan wajah yang tadi kusembunyikan di punggung Arga. Tak peduli tatapannya mengisyaratkan untuk jangan."Bisa ancur restoran kalau
"Aku lelah, Amira! Aku ingin semuanya cepat selesai. Bisa tidak kamu tidak mengganggu hidupku?!" Mas Baja memaksakan diri berbicara di sela kemarahannya. Ia tampak benci sekali karena aku nyaris terlibat dalam pernikahannya dengan Raline "Kamu pikir aku tidak, Mas? Aku juga ingin semuanya cepat berakhir. Aku juga lelah, Mas!" ucapku dengan mata yang terus berair. Batinku bahkan jauh lebih lelah dibandingkan raga yang masih terus bertahan dari gempuran masalah berkepanjangan."Kalau seperti itu kenapa kamu malah kembali ke kota? Kenapa kamu malah kerja sama Teo dan muncul di tempatku bekerja? Di Aditama Group! Kenapa, Amira?!" sentaknya dengan tangan memukul kembali stir mobil. Aku pun terperanjat. "Kamu lupa apa yang kamu tinggalkan setelah perceraian ini, Mas? Kamu lupa apa yang menjadi tanggung jawabmu dan belum kamu lunasi?" Sengaja kukais memorinya tentang masa saat kami masih tinggal satu rumah. Harusnya Mas Baja mengingatnya."Maksud kamu apa? Tanggung jawab apa, Amira?!" t
Sebuah sinar berhasil menembus ke kelopak mataku yang terpejam. Membuat aku terbangun dari tidur yang tak sebentar. "Maaf, aku gak bermaksud membangunkanmu." Bos Teo meletakkan telapak tangannya tepat di depan mataku. Menghalau sinar jingga yang sudah mulai turun."Eh, gak apa-apa, Bos." Refleks aku pun menggeser posisi. Tidak nyaman terlalu dekat dengan laki-laki yang belum lama kukenal ini. "Oke," ucapnya seraya menjaga jarak. Aku pun mengangguk sebagai bentuk penghormatan padanya yang merupakan atasanku di kantor. Sebenarnya agak kurang nyaman berada di dalam mobilnya dan hanya berdua. Terlebih Bos Teo sudah melihatku dalam kondisi terendah. Menangis karena pergumulan hidup yang cukup rumit."Santai saja, Amira. Lihat ke sebelah kirimu sekarang," perintahnya lembut. Biasanya Bos Teo selalu menggunakan volume suara kencang saat berbicara. Namun, tidak untuk kali ini. Aku pun menoleh ke sisi kaca mobil. Di mana ini? Apa aku sedang bermimpi? "Danau terdekat di daerah ini, Amira.
Hari-hari akan terus berjalan dengan serentetan kesibukan. Tidak ada lagi yang perlu ditakutkan untuk saat ini. Semua akan terlewati jika aku tidak bersembunyi. Pakaian formal dengan outer sebagai pelengkap, kupilih hari ini. Aku tidak mau tampil biasa saja. Setelah menghabiskan malam dengan berbalas pesan dengan Arga, aku siap mendengarkan semua rencana Bos Teo di kantor. "Pagi Amira," sapa Bos Teo begitu aku sampai di meja kerja. Beliau sudah sibuk di depan leptopnya."Pagi, Bos." Segera kunyalakan komputer untuk menghindari banyak percakapan dengannya."Mata kamu sakit?" "Ya?" "Itu tumben ada yang beda," ucapnya dengan menunjuk ke arah matanya sendiri."Oh, ini. Biar gak pegel aja pas liat monitor, Bos.""Bukan untuk menyamarkan tangis, ya?" tanyanya dengan senyum mengejek.Sial. Sedetail itu Bos Teo memerhatikan. Aku pun mendudukkan diri dengan kesal."Selamat pagi semua," sapa Arga dengan menenteng tas kerjanya. "Pagi, Ga," jawabku tanpa melihatnya. "Pesanan saya sudah siap