"Saya Aditama, pemilik Aditama Group menyerahkan perusahaan Aditama Group kepada anak saya Teodorus Lim Aditama."Seketika semua terdiam. Tatapan mata semua orang tertuju pada suamiku. "Untuk rumah utama yang biasa kami tempati, saya berikan kepada istri saya Ajeng Kamaratih. Dan teruntuk putriku Raline Aditama, papa minta bantuanmu agar membanto Teo mengurus perusahaan papa di Belanda. Jika menurut adikmu Teo kamu sudah benar mengelolanya maka kamu berhak mendapatkan perusahaan itu." Pak Rama menjeda. Dia mengamati sejenak brankar pak Aditama. "Demikian surat wasiat ini saya buat dengan penuh kesadaran dan tanpa paksaan siapa pun. Saya harap wasiat ini bisa dipergunakan sebagaimana fungsinya. Tertanda Aditama."Raline yang sejak tadi sudah seperti menahan geram akhirnya menggeleng. Ia melayangkan protes melalui tatapan matanya. "Ini sangat tidak adil.""Benar, Pak Rama. Bagaimana bisa istri saya mendapatkan hanya perusahaan kecil semacam itu?" Mas Baja ikut beragumen."Yang tertulis
Aku tak bisa langsung kembali ke rumah karena harus menemani Teo di kediaman Mama Ajeng. Akhirnya kuputuskan menghubungi Santi untuk membawakan baju ganti milikku dan mengantar Akila ke sini. "Punya kamu gak usah?" tanyaku setelah menelepon Santi."Gak usah. Masih banyak baju di situ," tunjuk Teo pada lemari besar di kamar ini. Setelah bergantian berjaga dengan Pak Rama, kami memutuskan untuk istirahat sejenak di kamar. Waktu sudah hampir pagi dan memang kami perlu memejamkan mata untuk persiapan pemakaman nanti. Penasaran dengan jawaban Teo, akhirnya kupastikan sendiri. Kubuka lemari baju yang cukup besar itu. Dan benar saja semua lengkap tak kurang suatu apa."Bukannya kamu udah lama gak tinggal di sini?" tanyaku yang lebih bergumam sendiri. Teo sudah mulai memejamkan matanya."Mama selalu minta aku buat pulang. Jadi, tiap tahun mama perbaharui isinya.""Oh," jawabku tak ingin lagi mempertanyakan sesuatu yang sudah jelas.Akhirnya kuputuskan mengamati kamar dengan ukuran terbilan
PYARRRR!!!!Seseorang menabrakku dari samping dan menyebabkan nampan itu jatuh."Mbak Amira!" panggil seorang yang lain dari sisi belakangku."Aduh maaf, maaf. Saya gak sengaja," ujar seorang perempuan yang menabrakku."Iya, gak apa-apa," jawabku masih syok."Biar saya yang bereskan." Perempuan muda yang tadi berbicara di dapur sigap membantuku."Terima kasih.""Mbak Amira geser dulu aja. Takutnya ada pecahannya.""Iya, Mbak," jawabku masih belum benar-benar paham."Ada apa, Del?" tanya perempuan yang tadi berbicara di dapur juga."Pecah, Mbak.""Gelas sama tekonya?""Iya.""Aduh mampus mana itu favoritnya Non Raline. Tadi kamu ambil yang di kulkas?" "Iya, Mbak.""Ah edan kamu, Del. Siap-siap dipecat kita.""Siapa yang bakal mecat, Bi?" tanya perempuan yang tadi menabrakku.Seseorang yang dipanggil Bi oleh perempuan itu pun mendongak. "Ya Ampun, Non Gea. Ini beneran Non Gea?"Perempuan bernama Gea itu mengangguk sambil tersenyum ramah. "Bagaimana kabarnya, Bi?""Baik, saya baik. Non
"Kamu jangan salah paham, ya. Gea tumbuh dan besar di belanda. Gayanya gaya barat," ucap Teo begitu kami sampai di kamar. Dia mulai melepas kancing kemejanya."Hmmm.""Aku hafal sifatmu, Ra. Kelihatan tuh di jidat kalau cembukur.""Cembukur?""Cemburu," bisiknya.Kemeja yang tadi Teo lepas aku terima dan kubawa ke keranjang baju. Aku malas menanggapi ucapannya soal cemburu."Mau asisten borneo, bu cantika, Gea, gak ngaruh kok," ucapku pada akhirnya."Oke. Kalau gitu aku mandi dulu. Tolong siapin bajuku."Aku mengangguk seraya membuka lemari besar yang isinya baju Teo semua. Gemericik air di kamar mandi bisa kudengar. Baru semalam di sini tapi rasanya sudah lama sekali.Kami kembali bergabung ke ruang utama setelah Teo selesai membersihkan diri. Dan di luar dugaanku, para pelayat yang tadi ada sudah pulang semua. Hanya tinggal Pak Rama, Ajiz, Santi, Akila dan Arga di ruang tengah."Sudah bubar semua, Pak?" tanya Teo pada Pak Rama. Ia ikut duduk di sofa panjang di ruangan itu."Sudah. B
Kami kembali ke rumah cukup terlambat karena aku terus-terusan mengeluarkan isi perut. Suasana di rumah sudah cukup sepi. Tinggal Mama Ajeng dan Gea saja yang duduk berdua di ruang keluarga."Akila," ucapku. Tadi kami menitipkannya bersama Arga."Ikut Raline sama Baja jalan-jalan," jawab Mama santai. "Kalian dari mana?""Tadi keluar sebentar, Ma.""Kira-kira kemana, Ma?" tanyaku khawatir. Pasalnya aku takut terjadi hal-hal yang tidak kuinginkan seperti dulu."Tadi kayaknya mau nyari baju. Sekalian ambil bajunya Raja.""Tapi Akila udah bawa baju," sahutku. Bagaimana bisa mereka membawa Akila begitu saja.Gea mengangkat bahu. Ia tidak berniat menanggapi ucapanku."Biarin aja. Toh Baja ayahnya Akila, Mir. Jangan terlalu khawatir," kata Mama Ajeng menenangkan."Iya, Ra. Kita percaya dulu aja sama mereka," imbuh Teo. Akhirnya aku pun mengangguk."Kalian udah makan belum? Makan dulu mumpung sepi. Habis isya nanti bakal rame lagi.""Sudah, Ma. Tadi kami keluar buat makan. Tapi Amira malah mu
"Ini tempat kerjamu?" tanya Gea setelah mobil Teo berhenti di depan akademi."Iya," jawabku santai."Kamu tutor bimbel?""Kurang lebih seperti itu.""Waow, unpredictable, ya. Aku pikir istri kamu bakal model atau artis, Teo. Ya minimal sama-sama pengusaha."Sungguh aku malas berbicara dengan Gea kalau saja dia bukan sepupu Teo dan sudah membantu mengurus Akila saat di rumah Mama Ajeng."Aku turun dulu, ya," kataku seraya melepas sabuk pengaman."Biar aku temenin," ujar Teo ikut melepas sabuk pengamannya."Nggak usah, nanti kamu terlambat."Teo menggeleng. Dia lebih dulu membantuku turun dari mobil meski aku sudah meminta agar tidak perlu diantar sampai depan akademi. Kami pun berjalan bersama sampai depan gedung. Meninggalkan Gea yang tidak ikut turun."Nanti kabarin kalau sudah mau pulang. Biar aku jemput.""Nggak usah. Aku naik taxi online aja."Teo menggeleng. "Aku usahakan untuk tetap jemput, ya.""Ya udah gak apa-apa.""Hati-hati."Teo mengangguk. Ia melambaikan tangan seraya ber
"Amira kamu baik-baik, aja?" Sebuah suara terdengar di telingaku."Mir, Amira!"Kali ini ditambah dengan guncangan kecil. Hingga suara itu perlahan membawaku pada kesadaran."Kamu sakit?" ulang suara itu lagi.Mas Arhab rupanya yang bertanya. Dan bisa kupastikan aku tengah berada di ruangannya setelah sepenuhnya membuka mata. "Tadi kamu pingsan di toilet. Kamu baik-baik saja?" tanya Mas Arhab.Aku mengangguk kecil. Sedikit syok karena Mas Arhab menungguiku dengan begitu dekat. "Ya, saya baik, Pak.""Kita ke dokter ya. Sepertinya kamu sakit," ujarnya sembari membantuku duduk. Ia juga menawarkan sebotol air mineral."Tidak usah, Pak. Saya baik-baik saja. Saya tidak perlu dibawa ke dokter," tolakku halus. "Tapi tadi kamu pingsan, Mir. Cukup lama sadarnya," bujuk Mas Arhab dengan argumennya."Saya sepertinya cuma kecapean, Pak. Bukan suatu masalah besar.""Yakin?" Mas Arhab tertegun. Ia menatapku khawatir. "Sangat yakin, Pak," jawabku seraya menyamankan posisi duduk agar tidak terla
Aku pikir tidak akan kembali ke rumah besar ini setelah sarapan kurang nyaman tadi pagi. Tapi aku justru sudah berbaring di ranjang besar milik Teo."Gimana, Dok?" tanya Teo yang tampak sudah akrab dengan dokter yang memeriksaku."Seperti dugaan mama kamu," jawab Dokter bernama Dani itu sambil tersenyum."Serius, Dok?""Lebih yakinnya besok pagi cek pakai test pack. Kalau sudah langsung ke RS bagian obgin, ya.""Apa, Dok?" tanyaku kaget."Besok dicek dulu saja, ya. Saya bukan dokter kandungan jadi gak bisa langsung menyebutkan.""Siap, Dok," jawab Teo semangat.Dokter Dani pun mengemasi peralatannya. "Ini saya kasih vitamin yang aman saja, ya. Diminum malam nanti sama besok pagi," terang Dokter Dani."Makasih, Dok. Saya pastikan istri saya meminumnya. Dan makasih juga udah mau nunggu beberapa jam," ujar Teo senang."Sudah menjadi tugas saya. Kamu yang benar jaga istrinya. Jangan sembarangan.""Siap, Dok!"Setelah Dokter Dani pergi, aku berusaha duduk dibantu oleh Teo. "Maksudnya apa?"