"Kamu jangan salah paham, ya. Gea tumbuh dan besar di belanda. Gayanya gaya barat," ucap Teo begitu kami sampai di kamar. Dia mulai melepas kancing kemejanya."Hmmm.""Aku hafal sifatmu, Ra. Kelihatan tuh di jidat kalau cembukur.""Cembukur?""Cemburu," bisiknya.Kemeja yang tadi Teo lepas aku terima dan kubawa ke keranjang baju. Aku malas menanggapi ucapannya soal cemburu."Mau asisten borneo, bu cantika, Gea, gak ngaruh kok," ucapku pada akhirnya."Oke. Kalau gitu aku mandi dulu. Tolong siapin bajuku."Aku mengangguk seraya membuka lemari besar yang isinya baju Teo semua. Gemericik air di kamar mandi bisa kudengar. Baru semalam di sini tapi rasanya sudah lama sekali.Kami kembali bergabung ke ruang utama setelah Teo selesai membersihkan diri. Dan di luar dugaanku, para pelayat yang tadi ada sudah pulang semua. Hanya tinggal Pak Rama, Ajiz, Santi, Akila dan Arga di ruang tengah."Sudah bubar semua, Pak?" tanya Teo pada Pak Rama. Ia ikut duduk di sofa panjang di ruangan itu."Sudah. B
Kami kembali ke rumah cukup terlambat karena aku terus-terusan mengeluarkan isi perut. Suasana di rumah sudah cukup sepi. Tinggal Mama Ajeng dan Gea saja yang duduk berdua di ruang keluarga."Akila," ucapku. Tadi kami menitipkannya bersama Arga."Ikut Raline sama Baja jalan-jalan," jawab Mama santai. "Kalian dari mana?""Tadi keluar sebentar, Ma.""Kira-kira kemana, Ma?" tanyaku khawatir. Pasalnya aku takut terjadi hal-hal yang tidak kuinginkan seperti dulu."Tadi kayaknya mau nyari baju. Sekalian ambil bajunya Raja.""Tapi Akila udah bawa baju," sahutku. Bagaimana bisa mereka membawa Akila begitu saja.Gea mengangkat bahu. Ia tidak berniat menanggapi ucapanku."Biarin aja. Toh Baja ayahnya Akila, Mir. Jangan terlalu khawatir," kata Mama Ajeng menenangkan."Iya, Ra. Kita percaya dulu aja sama mereka," imbuh Teo. Akhirnya aku pun mengangguk."Kalian udah makan belum? Makan dulu mumpung sepi. Habis isya nanti bakal rame lagi.""Sudah, Ma. Tadi kami keluar buat makan. Tapi Amira malah mu
"Ini tempat kerjamu?" tanya Gea setelah mobil Teo berhenti di depan akademi."Iya," jawabku santai."Kamu tutor bimbel?""Kurang lebih seperti itu.""Waow, unpredictable, ya. Aku pikir istri kamu bakal model atau artis, Teo. Ya minimal sama-sama pengusaha."Sungguh aku malas berbicara dengan Gea kalau saja dia bukan sepupu Teo dan sudah membantu mengurus Akila saat di rumah Mama Ajeng."Aku turun dulu, ya," kataku seraya melepas sabuk pengaman."Biar aku temenin," ujar Teo ikut melepas sabuk pengamannya."Nggak usah, nanti kamu terlambat."Teo menggeleng. Dia lebih dulu membantuku turun dari mobil meski aku sudah meminta agar tidak perlu diantar sampai depan akademi. Kami pun berjalan bersama sampai depan gedung. Meninggalkan Gea yang tidak ikut turun."Nanti kabarin kalau sudah mau pulang. Biar aku jemput.""Nggak usah. Aku naik taxi online aja."Teo menggeleng. "Aku usahakan untuk tetap jemput, ya.""Ya udah gak apa-apa.""Hati-hati."Teo mengangguk. Ia melambaikan tangan seraya ber
"Amira kamu baik-baik, aja?" Sebuah suara terdengar di telingaku."Mir, Amira!"Kali ini ditambah dengan guncangan kecil. Hingga suara itu perlahan membawaku pada kesadaran."Kamu sakit?" ulang suara itu lagi.Mas Arhab rupanya yang bertanya. Dan bisa kupastikan aku tengah berada di ruangannya setelah sepenuhnya membuka mata. "Tadi kamu pingsan di toilet. Kamu baik-baik saja?" tanya Mas Arhab.Aku mengangguk kecil. Sedikit syok karena Mas Arhab menungguiku dengan begitu dekat. "Ya, saya baik, Pak.""Kita ke dokter ya. Sepertinya kamu sakit," ujarnya sembari membantuku duduk. Ia juga menawarkan sebotol air mineral."Tidak usah, Pak. Saya baik-baik saja. Saya tidak perlu dibawa ke dokter," tolakku halus. "Tapi tadi kamu pingsan, Mir. Cukup lama sadarnya," bujuk Mas Arhab dengan argumennya."Saya sepertinya cuma kecapean, Pak. Bukan suatu masalah besar.""Yakin?" Mas Arhab tertegun. Ia menatapku khawatir. "Sangat yakin, Pak," jawabku seraya menyamankan posisi duduk agar tidak terla
Aku pikir tidak akan kembali ke rumah besar ini setelah sarapan kurang nyaman tadi pagi. Tapi aku justru sudah berbaring di ranjang besar milik Teo."Gimana, Dok?" tanya Teo yang tampak sudah akrab dengan dokter yang memeriksaku."Seperti dugaan mama kamu," jawab Dokter bernama Dani itu sambil tersenyum."Serius, Dok?""Lebih yakinnya besok pagi cek pakai test pack. Kalau sudah langsung ke RS bagian obgin, ya.""Apa, Dok?" tanyaku kaget."Besok dicek dulu saja, ya. Saya bukan dokter kandungan jadi gak bisa langsung menyebutkan.""Siap, Dok," jawab Teo semangat.Dokter Dani pun mengemasi peralatannya. "Ini saya kasih vitamin yang aman saja, ya. Diminum malam nanti sama besok pagi," terang Dokter Dani."Makasih, Dok. Saya pastikan istri saya meminumnya. Dan makasih juga udah mau nunggu beberapa jam," ujar Teo senang."Sudah menjadi tugas saya. Kamu yang benar jaga istrinya. Jangan sembarangan.""Siap, Dok!"Setelah Dokter Dani pergi, aku berusaha duduk dibantu oleh Teo. "Maksudnya apa?"
Mama Ajeng sangat syok mendengar informasi dari Arga tentang kebakaran di pabrik. Beliau nyaris tak sadarkan diri."Papa, papa," lirih Mama.Segera Teo mendekat. "Mama baik-baik, aja?""Papa, ini yang dikhawatirkan papa. Ini sudah terjadi."Teo terdiam. Mungkin, mendiang papa aditama sudah memperkirakan ini semua. Sehingga meminta Teo kembali aktif di perusahaan keluarga. "Kamu harus melakukan sesuatu, Teo. Kamu tidak boleh mengabaikan ini. Jika kamu tidak bergerak, bisa-bisa Aditama Group hilang. Apa yang dibangun papa kamu dengan susah payah tidak akan lagi ada."Aku terdiam. Ucapan Mama Ajeng ada benarnya. Nyatanya urusan bisnis, perusahaan serta aset tak sesederhana itu. Sudah pasti banyak orang yang ingin menguasai. Teo yang memang dari awal memiliki peran pasti punya andil yang besar."Kita ke sana aja, Teo. Kita pastikan dulu," ucap Gea.Teo tampak bingung. Ia melihatku ragu. Ia sudah berjanji bahwa kami tidak sampai menginap di sini."Amira sama Akila biar menginap di sini,"
Berita tentang kebakaran itu cukup cepat menyebar. Bahkan di saat aku izin tidak masuk, beberapa teman menghubungi menanyakan tentang kebenarannya. Sebagian kecil aku balas dengan singkat serta memohon doa agar dimudahkan semua. Ada juga yang tidak kubalas sama sekali.Nomor tak dikenal.[Kamu tidak izin lagi, kan? Satu hari saja kan?]Kuabaikan pesan itu sejak dari kemarin siang.Nomor tak dikenal.[Seharusnya kalau izin langsung ke pimpinan. Tidak melalui Haris begini. Kamu baik-baik saja, kan, Mir?]Andai dia bukan orang penting di kantor sudah kublokir kontaknya. Akan tetapi aku tidak bisa melakukannya. Terpaksa kudiamkan saja sampai pesan-pesan itu tertimpa dengan pesan serta panggilan lainnya.[Martia: Kau dan Bos baik-baik saja kan?]Bisa kubayangkan wajah Martia saat bertanya. Pasti dia sangat khawatir.[Martia: Aku sedang di rumah ibumu. Kalau mau ngobrol telpon saja.]Sebuah balasan Ya kukirimkan lalu menekan icon panggilan untuk nomor Martia."Halo, Mar. Kamu lagi di tempat
Kedatangan Mas Baja mengacaukan hariku. Tiba-tiba rasa mual itu terus menyerang bahkan saat aku sudah sampai di kantor."Pake minyak angin po, Mbak? Apa hotcare?" ucap Arun yang sejak tadi melihatku bolak balik kamar mandi."Aku gak bawa, Run.""Bentar, aku ambilin punyaku, Mbak." Arun kembali ke meja kerjanya. Membuka laci lalu mengambil hotcare miliknya dan menyerahkannya padaku. "Olesin di kening, Mbak. Ujung kanan sama kiri.""Ya, Run, makasih," jawabku sambil mengerjakan saran darinya."Mbak Amira masuk angin apa gimana? Kalau emang belum sembuh mending izin aja, Mbak.""Gak enak aku, Run kalau izin terus. Ini udah mendingan sih setelah kemarin istirahat di rumah.""Tapi udah priksa?""Udah, Run.""Ya udah jangan kecapean dulu, Mbak.""Iya, Run. Ini kok sepi ya. Pada kemana?" tanyaku saat merasa teman kerja tidak menempati meja mereka masing-masing."Tadi diajak Pak Arhab meeting, Mbak. Yang senior aja.""Oh, makanya kamu juga gak ikut?"Arun mengangguk-angguk. "Ya gini lah, Mbak