Pov TeoAku tahu betul masalah semacam ini pasti akan muncul. Untuk itu aku menghindarinya bagaimanapun caranya. Sayang, keterbatasanku sebagai manusia membuatku tidak mampu melakukan segalanya."Ulah siapa?" tanyaku lagi pada Arga. Setelah mengantar Amira pulang, aku memfokuskan diri menangani kebakaran. Aku memutuskan membahas ini di resto baru bersama Arga dan Gea."Pak Baja, Bos.""Kamu yakin?"Arga mengambil tabnya untuk kemudian menunjukkan padaku. "Dia ….""Betul, Pak. Bagian manajemen yang memesan ini.""Apa tujuan mereka?" tanyaku tak percaya.Tiba-tiba Gea datang dengan membawa beberapa berkas. "Kamu harus lihat ini, Teo. Ini gila," ujar Gea seraya mendekat padaku. "Banyak transaksi mencurigakan dari akun perusahaan. Bahkan ada aliran dana ke bank belanda.""Belanda katamu?" tanyaku sambil memeriksa berkas-berkas itu. "House production?"Gea mengangguk-angguk. "Ini cangkang perusahaan milik Raline. Belum resmi mereka beroperasi tapi mereka sudah dapat transfer dana sebesar i
"Ada yang ingin bertemu denganmu," ucap Mas Arhab setelah pintu lift tertutup."Siapa, Pak?""Aku," jawab Mas Arhab seraya menatapku iba. Ia tampak begitu sedih. "Maksud, Bapak?""Seharusnya aku mengejarmu, Mir. Seharusnya aku tak membiarkanmu pergi dari desa. Seharusnya …."TinggggggggSuara pintu lift yang terbuka menyelamatkan kami dari perasaan canggung ini. Buru-buru aku melangkah demi menghindari ucapan Mas Arhab yang semakin entah."Arga?" kataku tak percaya."Aku cuma nganter, Mbak. Kebetulan aku ada kontaknya Pak Arhab juga," terang Arga. Ia tampak bingung."Emangnya siapa yang mau ketemu aku?""Orangnya di dalem, Mbak. Masuk aja." Arga mempersilakanku untuk masuk ke ruangan Mas Arhab. Aku yang bingung, melirik Mas Arhab."Pake aja. Kalau udah nanti kabarin aku," ujar Mas Arhab.Seketika perasaanku tak menentu. Siapa yang ingin bertemu? "Ini beneran?"Mas Arhab mengangguk. "Aku keluar bentar sama Arga," terangnya."Aku ikut, Mas."Aku pun dibuat bingung dengan tingkah Arga
Entah berapa lama aku terdiam di ruangan pimpinan ini. Meluapkan kumpulan sesak yang sejak lama kutahan. Aku juga tak ingat kapan terakhir kali perasaan perih seperti ini menjumpai. Yang pasti aku tidak bisa menahannya lagi meski ini di kantor. Ucapan Gea dan Pak Rama pada intinya bermuara pada perpisahanku dengan Teo. Hanya itu yang mereka butuhkan. Tapi, di sisi lain kata-kata Gea ada benarnya.Benarkah Mas Baja senekat itu? Atau ini hanya skenario agar aku menjauhi Teo? Seketika semua terasa asing dan memberatkan. Kupukul-pukul sendiri dada yang terus berdenyut nyeri. Bagaimana semua ini bisa terjadi? Apa yang harus kulakukan sekarang?[Nomorku. Gea]Dari pop up notifikasil aku bisa membacanya. Gea tak hanya mengirim satu pesan melainkan beberapa. Kucoba memberanikan diri untuk mengetuknya namun tiba-tiba ponselku bergetar."Udah belum, Mir?" Suara Mas Arhab yang tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu menyadarkanku."Mas Arhab dari tadi nunggu?""Udah lumayan pegel, Mir. Di d
Pov AuthorTeo bukanlah pria bodoh yang tidak tahu apa-apa. Ia jelas sudah mengamati gerak gerik bawahannya beberapa hari ini. Setelah banyaknya rapat dan agenda perusahaan menyita waktunya, ia tersadar belum memberi kabar pada Amira."Kamu dari mana, Ga?" tanya Teo setelah Arga kembali ke kantor. "Emmmm tadi diminta nemenin Mbak Gea ambil berkas, Bos," jawab Arga gugup. Ia tak pandai berbohong."Berkas apa?" Teo yang sudah tahu tentang gelagat aneh Arga berusaha mendesak."Berkas soal investigasi kebakaran kemarin. Ternyata masih ada yang kelewat.""Boleh aku lihat?" Kini Teo tak mau kalah. Selagi Gea belum masuk ia ingin menggali lebih banyak."Emmm, anu Bos tadi dibawa ….""Ga, ini apaan di tasku?" tanya Gea tiba-tiba. Ia membawa berkas yang dirapikan di snelhecter."Aaa itu, Bos. Itu yang tadi saya ambil," kata Arga menutupi kebohongannya. Ia meraih berkas yang disodorkan Gea.Teo pun mengangguk. Meski menaruh kecurigaan, dia menutupinya. Dia tak serta merta menuduh Gea maupun Ar
Awalnya aku ingin pergi sejauh mungkin ke tempat di mana tak ada seorang pun bisa menemukanku. Tapi anehnya langkahku justru terhenti di tempat ini. Adakah tempat yang bisa kutuju? Benarkah aku menyerah hanya karena mereka meminta? Beberapa panggilan juga pesan yang masuk ke ponselku, tak ku hiraukan sama sekali. Tetes demi tetes air mata berjatuhan. Menghangat di pipi kiri dan kanan. Tidak seharusnya aku seperti ini."Maaf, Mbak. Sudah dari tadi anda di sini. Anda tidak akan pulang?" Seorang perempuan berjilbab cukup lebar menegurku. "Maaf, apakah sudah waktunya tutup?"Perempuan itu menggeleng. "Belum, Mbak. Hanya saja sejak tadi anda tidak menyentuh makanan anda. Saya bertanya-tanya kenapa bisa begitu."Mataku beralih melihat sup yang tadinya hangat sudah dingin. Nasi beserta pelengkapnya juga masih rapi."Banyak orang datang ke sini hanya untuk melamun memang, Mbak. Tapi saya selalu menegur mereka. Seharusnya makanan tak dibiarkan dingin begitu saja. Kami menyajikannya dengan
Pak Rama memberitahu kepada kami bahwa seseorang telah bersedia mendonorkan darahnya untuk Teo. Operasi yang dijalani Teo pun berjalan lancar."Kalau Ibu mau lihat orangnya bisa ikut saya," ujar suster setelah mendengar penjelasan Pak Rama."Yang jagain Teo?""Biar aku, Mbak. Bos Teo aman," sahut Arga.Akhirnya aku mengikuti Pak Rama dan perawat menuju tempat di mana orang tersebut berada. Aku harus mengucapkan terima kasih."Itu Bu Rosma yang tadi menelepon saya, Bu," terang Pak Rama seraya menunjuk perempuan berhidung bangir yang tengah tidur terlentang di brankar."Siapa, Pak?""Bu Rosma," ulang Pak Rama.Aku terkesiap. Benarkah Mbak Rosma yang baru kukenal hari ini? Sungguh? Segera aku berjalan demi memuaskan rasa penasaran."Amira ….""Mbak Rosma terima kasih banyak. Terima kasih sudah membantu suami saya."Rosma menggeleng. Ia menyeka sudut mata. "Saya yang berterima kasih. Makasih banyak Mbak Amira.""Loh, gimana ceritanya, Mbak. Mbak yang udah nolong keluarga saya."Rosma meng
Sore ini semua hal yang berkaitan dengannya sudah tidak ada. Mau sekeras apa pun aku mencoba bersikap biasa, nyatanya aku tak bisa. Sesuatu yang memang sudah berlalu lebih baik tidak diingat lagi. Akan lebih baik jika dijauhi. Bahkan sampai tak terlihat sama sekali. Aku dan Mas Arhab memang tidak ditakdirkan bersama. Jalan kami jauh berbeda. Maka kuputuskan untuk menyudahi semua kenangan yang masih sedikit tersisa.Aku akan kembali ke jalurku. Meniti kasih bersama pria yang sudah memutuskan untuk membawa bahagia padaku. Walau ranjau tampak pasti akan menghadang kami, aku tak akan gentar. Seperti sekarang, Teo masih terbaring lemah. Meski Dokter bilang kondisinya sudah membaik, hanya butuh tekad dari pasien agar segera sadar, tak semudah yang dibayangkan. Rasanya menunggu dengan penuh cemas membuatku kian tak sabar. Berkali-kali kuusap punggung tangannya, meminta agar dia segera siuman. Dia harus tahu ada aku di sini yang jelas-jelas menanti.“Bu Amira,” panggil suster yang masuk ke ru
“Saya beli ini saja, Mbak,” kataku setelah memutuskan satu barang yang akan dibeli.“Baik, Bu. Saya bungkuskan sekalian?”Aku mengangguk kecil. Rasanya akan lebih puas jika aku bisa memberikan kado ini langsung bersama Teo. Bagaimanapun Raline adalah keluarga Teo.“Berapa, Mbak?”“Totalnya dua ratus lima puluh lima ribu, Bu.”Aku pun melakukan pembayaran sesuai dengan yang disebutkan. Saat akan meletakkan kembali dompet ke dalam tas, ponselku bordering.“Ya, Pak Rama?” tanyaku. Belum lama aku bertemu dengan Pak Rama.“Pak Teo siuman, Bu.”Tubuhku melemas. Berita itu jauh lebih membahagiakan dari pada apa pun. Aku jelas sangat bersyukur. Terima kasih Tuhan.“Ibu baik-baik saja?”Aku mengangguk-angguk. “Suami saya siuman, Mbak. Suami saya sudah sadar.”“Alhamdulillah. Alhamdulillah, Bu.”“Makasih, Mbak untuk doanya. Makasih.” Tak kuasa aku menahan haru atas kebaikan allah hari ini. “Saya pamit dulu, Mbak.”“Iya, Bu.”Setelah mendapat tas belanja dari karyawan toko aku bergegas keluar. A