Rumah dengan gaya minimalis kami terasa begitu sepi. Meski Akila dan Ibu sudah kembali, tetap saja ada kehampaan yang tercipta. Sang pemilik rumah sedang pergi dan belum memutuskan kapan akan kembali.Aku tak banyak bercerita pada ibu dan Akila. Aku takut mereka khawatir dan terbebani dengan kondisi Teo. Yang bisa kulakukan hanyalah menangis soorang diri di kamar pengantin kami. Teo dengan segala keangkuhannya selalu senang saat kami bercengkrama bersama di ranjang ini. Teo yang tidak pernah mau mengalah dalam hal apa pun padaku selalu percaya diri cintanya untukku tak pernah terbagi. Tapi, apa yang bisa dilihat kini. Dia bahkan tak mengingatku. Tak mengenali istrinya sendiri.Sedu sedan tak terelakan. Sungguh ini terlampau berat. Takdir ini membawaku kembali ke titik awal. Manusia teramat lemah. Tak punya apa-apa saat Sang Maha Kuasa menuliskan takdir terbaik untuk mereka.Allahku … Allahku ….Dan aku teringat dengan panggilan telepon tadi sore dari nomor itu. Meski sudah menghapusn
Setelah menceritakan semuanya pada Ibu perasaanku jauh lebih enteng. Tinggal membahasnya dengan Akila dan memberi pengertian. Tapi aku memilih untuk menundanya. Hari ini ibu dan Akila kuajak untuk melihat keadaan Setelah berkomunikasi dengan Mama Ajeng kami pun berangkat.“Maaf belum sempat mampir, Bu. Saya fokus di sini,” ujar Mama Ajeng begitu bertemu dengan Ibu.“Ndak apa-apa, Bu Ajeng. Saya paham betul kondisinya.”“Terima kasih sudah menyempatkan waktu buat jenguk Teo, Bu.”Ibu menggeleng. Beliau mengusap lengan Mama Ajeng beberapa kali. Seperti saling menyalurkan kekuatan. “Saya tau betapa beratnya. Tapi untung Teo masih ingat ibunya.”Mama Ajeng tersedu. Kaca-kaca di matanya kian kentara. “Dia bahkan lupa papanya sudah meninggal, Bu. Dia juga lupa sama Amira.”Ibu mengangguk-angguk. “Nggak apa-pa. Kita usaha sama doa yang kenceng buat kesembuhan anak kita.”Tak ada yang lebih mengharukan selain dua keluarga yang menyatu karena ikatan pernikahan. Keduanya saling membantu, mengas
Wejangan dari Ibu kembali menguatkanku. Keresahan akan takdir yang tengah bergulir sedikit demi sedikit mulai hilang. Aku memantapkan diri bahwa ini bagian dari ujian rumah tanggaku dengan Teo. Aku tak akan terlalu egois mementingkan perasaanku sendiri tanpa melihat sisi kesehatan Teo. Ujianku sebagai seorang istri adalah mendampingi suami sampai beliau benar-benar pulih.Waktu berjalan cepat. Kegiatanku di rumah sakit menjadi semakin berkualitas. Tak lupa aku berkonsultasi dengan dokter dan mencatat hal-hal yang boleh serta tidak boleh dilakukan untuk membantu pemulihan Teo. Akhirnya setelah melalui serangkaian pemeriksaan, Teo diizinkan untuk pulang. Sebelumnya keluarga dan Pak Rama sempat berdiskusi terkait kemana Teo harus tinggal. Dan semua sepakat untuk membawa Teo ke rumah kami.“Nanti Akila biar Mama yang jaga,” ujar Mama Ajeng setelah kami selesai berdiskusi.“Apa tidak merepotkan, Ma?”Mama Ajeng menggeleng. “Sama sekali tidak.”“Sementara nanti ibu juga di rumah mertua kamu
Pertanyaan itu cukup mengusiku. Namun, memberi angin segar bagi hubungan kami. Aku tak bermaksud memaksa Teo mengingat semuanya segera, tapi aku berusaha sebisanya.Siang ini aku meminta Teo mengantarku ke suatu tempat setelah sebelumnya mengatur janji dengan seseorang. Aku berharap pertanyaan pembuka dari Teo tentang kehamilanku benar-benar sebuah awal yang besar.“Tidak salah?” tanya Teo saat kami menepi ke sebuah danau.Aku menggeleng. “Memang restonya dekat danau.”Teo melihat ke sekitar. Dia seperti tertarik dengan tempat ini. Tempat di mana kami sama-sama melepas masa lalu setelah banyak hal buruk menimpa kami. Di sini juga Teo membuang jauh satu-satunya kenanganya dengan Raline.“Wah di sana?” tunjuk Teo pada sebuah kafe yang dibangun di dekat danau.Aku mengangguk. “Pemiliknya baik. Makanannya juga enak.”“Aku pernah ke sini sebelumnya?”Pertanyaan Teo membuatku menghentikan langkah. Aku berbalik menatap danau. “Ke danau cukup sering. Kamu lihat Menara itu?”Teo mengikuti arah
Teo dan Neymar bicara cukup banyak dalam bahasa Belanda dan itu membuatku cukup pusing. Aku yang memang tidak tahu sama sekali hanya bisa gigit jari."Waktu papanya masih ada kami tinggal di belanda," terang Mbak Reyna seperti paham dengan kebingunganku. "Baru setelah papanya tidak ada, aku ajak Neymar ke Indonesia.""Papanya pasti hebat banget ya, Mbak?" tanyaku. Melihat soror mata Mbak Reyna yang menerawang jauh seakan melihat kehidupan mereka.Mbak Reyna mengangguk. "Dia suami terbaik di dunia ini. Ayah terhebat dan kekasih sejati. Sampai sekarang aku belum bisa melupakannya." Melihat sampai sekarang Mbak Reyna masih sendiri bisa kupastikan sosok suami Mbak Reyna memang luar biasa. "Kamu harus kuat, Amira. Jangan menyerah hanya karena Teo lupa tentangmu.""Pasti, Mbak. Sudah kuniatkan tetap mendampinginya meski dia tak ingat apa-apa.""Minta sama Allah. Doa yang banyak. Dekatkan diri sedekat-dekatnya. Jika Allah berkehendak, tak ada yang tidak mungkin."Aku terdiam. Tidak ibu tida
Di atas sajadah yang diberikan Mbak Reina aku bersimpuh memanjatkan doa. Memohon agar Teo baik-baik saja. Tak lupa aku menyebutkan satu doa khusus untuk buah hati kami."Ya allah kuatkan dia di rahimku. Izinkan kami bertemu dengannya tepat di waktunya nanti. Sudah cukup banyak yang kulalui. Jika memang cobaan bertubi-tubi ini engkau berikan agar aku mendekat, inilah saatnya Allah. Jangan tinggalkan hamba. Jangan buat hamba terus berburuk sangka. Tuntun hamba untuk kembali berjalan menujumu. Hamba memohon."Setelahnya satu sujud tambahan kulakukan. Sebuah kebiasaan yang kadang dilakukan ibu. Makna dari sujud itu tak lain tak bukan bentuk ungkapan syukur yang teramat dalam."Raline, Raline ...."Lirih kudengar Teo berkata. "Raline, Raline ...."Aku pun mempercepat gerakanku seraya mendekat ke ranjang tempat Teo terbaring. "Kamu kenapa, Teo?" tanyaku."Raline, Raline!" teriak Teo. Tiba-tiba matanya terbuka. "Di mana aku?" tanyanya.Kuamati wajahnya yang pucat. Bulir-bulir keringat di da
Aku tergopoh menghampiri ruang inap Teo. Pak Rama menyampaikan Teo sudah sadar dan sudah bisa ditemui. Begitu pintu ruang inap VVIP itu terbuka wajah pucat Teo menyapa.“Hai,” ujarnya saat tanpa permisi aku langsung menghambur ke peluknya. “Aku baik-baik aja,” imbuhnya.“Aku tau. Aku sudah tau semuanya.” Tanpa ingin diganggu aku tetap memeluknya. Sudah lama sekali rasanya tidak merasakan pelukan ini. Hingga tanpa sadar aku sedikit mendorongnya.“Sakit,” pekik Teo.Buru-buru aku mendongak. Menatap wajahnya yang memancarkan senyum manis. Ya, jarang sekali Teo tersenyum seperti ini. Setelahnya aku melihat dengan cukup jelas kaca-kaca di matanya.“Sekali lagi maafin aku. Maaf untuk semuanya.”Aku menggeleng. Permintaan maaf itu jelas sudah tidak perlu. Kesembuhannya serta kembalinya ingatannya sudah menjadi obat semuanya. Perasaanku yang sempat tercabik saat Teo tak mengenaliku seketika membaik.“Apa yang kamu pakai?” tanyanya setelah aku memosisikan diri dengan lebih nyaman. Tak lagi ber
“Your sister, Teo. Dia keluargamu.”“Yang selama ini aku cari?”Aku mengangguk. Tanpa sadar mataku ikut mengembun. Terlebih saat melihat suamiku sebahagia itu.“Ini tidak salah?”Aku menggeleng. “Ini kenyataan, Teo. Selain kesembuhanmu, Allah beri kabar gembira yang menyempurnakan kebahagiaan kita. Aku hamil dan kamu bisa bertemu dengan saudaramu.”Teo mengangguk-angguk. Ia setuju dengan pendapatku. Ia tak henti menatap ponselku. “Kamu ada nomornya Mbak Rosma? Apa kamu bisa menghubunginya? Atau kita ke sana saja?”Aku menggangguk mantap. Semua pertanyaannya jelas akan terjawab. Terlebih saat aku dan Mbak Rosma sudah Menyusun janji temu. “Besok pagi beliau ke sini. Sekalian mau mampir ke resto.”“Tidak malam ini?”“Sudah terlalu malam. Kita juga butuh istirahat.”“Tapi aku tidak sabar.”“Apa kamu mau menghubunginya?” tawarku. Siapa tahu akan membantu Teo merasa lebih baik.Teo menggeleng. “Tidak perlu. Lebih baik kita tidur agar pagi cepat datang. Aku bisa bertemu kakakku.”Aku terseny