Dentum musik elektro dari mesin di panggung terus menghentak, tapi aku belum tergoda bergerak mengikuti, hanya melintasi keramaian para manusia nokturnal yang terus meliuk. Keberadaanku di tempat bising dan penuh ini hanya untuk memenuhi janji jumpa pada seseorang.Kulihat gadis yang aku tuju melambaikan tangan dari meja dilingkari sofa kulit tebal yang warnanya sudah enggak jelas di bawah paduan banyak lampu. Terusan sepaha yang dikenakannya tampak jatuh membentuk lekuk tubuh, tali bahunya menegaskan garis dari tulang selangka dan bahu yang sempurna. Siapa yang tidak akan tergoda dengan pergerakan Caca?"Hai, Ca!" balasku terhadap sapaannya tanpa menyentuh sama sekali. Aku menolak salaman apalagi pelukan seperti biasa, cenderung menghindarinya setelah insiden terakhir di pulau seberang. Jujur, aku ngerasa salah karena sempat melewati batas dan kepergok Aya."Istrimu enggak dibawa, Bra?"Tunggu. Aku cukup terkejut saat baru mencapai keempukan sofa. "Kamu sudah tau kalau aku sama Ay—""
"Kenapa enggak dibawa ke puskesmas dulu, Bu?" tanyaku saat menemukan pasien balita masuk ruang IGD di akhir minggu karena masalah batuk, pilek, dan demam lebih dari tiga hari.Kebanyakan masalah kayak gini alasannya enggak jauh-jauh dari orang tua pekerja atau antrian di fasilitas umum yang membawahi jaminan kesehatan dari pemerintah terlalu penuh. Cara tercepat mendapatkan pelayanan kesehatan emang bisanya datang ke IGD di luar jam pelayanan fasilitas kesehatan pertama.Sayangnya, karena alasan itu, bisa jadi pasien yang benar-benar mengalami masalah gawat dan darurat mengalami ketertundaan. Atau bisa jadi pasien mengeluhkan penanganan IGD yang lamban karena harus mengurus urgensi lebih dulu.Serba salah, ya.Si ibu enggak jawab pertanyaanku. Dia terus menggoyang anak perempuan yang terus menangis dalam gendongannya. Aku tahu si balita bergender perempuan dari simbol keagamaan yang menutupi kepalanya. Udah lumrah lihat seperti itu dikenakan rekan sejawat di rumah sakit."Sudah berapa
"Makan atau mandi dulu?" Aya mengambil tumpukan pakaian yang baru kulepaskan di permukaan kasur dan memindahkannya pada keranjang pakaian kotor di dekat lemari."Makan dulu, deh." Menyisakan celana dalam yang melekat di tubuh, aku memeluk Aya dari belakang, mengurung dan mendaratkan kecupan-kecupan ringan di lengkung bahu kanannya yang terekspos saat menyingkirkan helaian rambut ke sisi kiri."Kamu bau, Bra!" Kekehan Aya terdengar riang. Mungkin ada hal baik yang telah terjadi hari ini. Melihat refleksi kami berdua ketika menghadap cermin, Aya berusaha melepaskan pergelangan tanganku dengan erat."Masa sih aku bau?" Kudesakkan sudut penciuman di samping wajahnya. "Coba cium."Kekehan berubah gelak tawa, Aya berbalik menghadapiku. Kedua tangannya menggantung di leherku sementara peganganku berpindah pada belakang tubuhnya yang terasa semakin padat."Gimana kalau mandi? Beneran kamu bau. Biar aku siapin makanannya." Bibir Aya mengerucut. Garis-garis wajahnya mengerut seolah menahan."Ya,
"Ini kantung kehamilannya, ya. Masih belum jelas, mungkin periksa berikutnya sudah terlihat," kata wanita yang menggeser kepala transduser di permukaan kulit perut Aya, menampilkan proyeksi hitam putih pada layar di dekat ranjang pemeriksaan. "Kehamilan pada trimester awal memang rentan. Makan dan istirahat yang cukup, karena di sini LDL-nya tergolong tinggi.""Pendarahannya bagaimana, Dok?" Kugenggam tangan Aya yang terasa bergetar. Ketakutan sempat menjalari pikiranku di sepanjang perjalanan menuju klinik terdekat yang memiliki pelayanan kehamilan. Aku sendiri enggak ngerti kenapa bisa merasa khawatir kali ini, padahal biasanya aku bisa sangat tenang menghadapi pasien."Ini saya resepkan vitamin dan penguat kandungan. Untuk sementara enggak usah dulu angkat-angkat yang sekiranya berat. Berhubungan dengan suami ditunda dulu yah, Bu. Ini perlu istirahat total."Pesan yang sangat panjang dari Bu Dokter memang bisa mengurangi sebagian besar resah, tetapi buat menahan diri lebih lama dari
"Selesai sif, Pak?" Nanda mengambil pulpen dari tanganku setelah aku menyelesaikan tanda tangan beberapa keterangan inventaris dan presensi."Iya." Aku masih terkejut dengan keberaniannya mengambil milikku tanpa izin seperti biasa sampai-sampai mulutku terbuka hingga pertanyaan Nanda berikutnya."Langsung pulang?""Enggak, sih. Ada janji." Kepalaku mendongak ke sisi kanan, mengingat pesan terakhir dari grup rese sebelum beralih pada Nanda yang mengembalikan pulpen ke saku jasku. "Kamu langsung ke asrama, kan?"Kekehan ringan Nanda ditutupi papan alas dalam pegangannya hanya menampakkan mata sipit yang dihiasi alis lurus dan rapi. "Ya mau gimana lagi, Pak. Mau keluar, enggak tahu jalan di kota sini."Aku baru memperhatikan. Entah. Mungkin karena baru beberapa hari terakhir Nanda jadi teman bicara sejak Mas Agus dipindahkan ke VIP. Perawat lain masih enggan mendekat denganku setelah Mbak Risa berhenti kerja karena pernikahan."Rantau?" tebakku ketika sadari Nanda mengiringi langkah di ko
Malam dari ketinggian. Hotel yang dipesan Elzar di pertengahan kota memang enggak menjulang tinggi seperti kebanyakan hotel baru. Namun, kesejukan dikelilingi pepohonan menjadi perbedaan kenyamanan paling dasar yang menjadi kelebihan tempat ini. Tentu karena posisinya juga berada di atas bukit.Balkon berpagar kayu yang menjadi tempatku dan Nanda memisahkan diri dari para orang gila dalam ruangan menampakkan lampu-lampu perkotaan yang tampak seperti bintang di lautan. Atap-atap menghilang dalam kegelapan."Sorry, tadi mereka ngasih kamu wine." Rasanya aku lagi enggak minta maaf kalau membelakanginya.Entah hanya dugaan saja atau memang benar, anggur dalam gelasku memberi efek panas ke seluruh tubuh. Biasanya alkohol menyisakan kehangatan di kerongkongan hingga perut, bukan sampai lapisan kulit."Boleh nanya enggak, Pak?" Nanda merapat di sampingku, turut menumpukan lengan pada pembatas kayu yang sama."Silakan." Kusesap lagi cairan kemerahan dari pinggiran gelas di tangan. Kepalaku mul
"Nanda kenapa, Mas?" tanya Mbak Dara yang menyambut brankar Nanda begitu masuk pintu IGD."Hipotermia. Kontra obat. Intoleransi alkohol." Aku menjawab cepat.Dokter jaga di pertengahan malam itu pasti kaget melihatku yang masih berselimut jubah mandi hotel saat menunggu pemeriksaan Nanda sambil menjawab rinci kemungkinan diagnosis. Pihak medis harus mengurai belitan berlembar-lembar handuk dan selimut ketika harus mencari jalur vena untuk pemasangan infus, tentunya juga memasang alat monitoring karena detak jantung dan intensitas napas Nanda masih rendah."Bagaimana ceritanya Nanda ketemu alkohol sama obat?" Lirikan yang tertuju padaku seperti paduan khawatir dan marah, terpampang nyata dari kerutan di kening Mbak Dara. Wanita berpenutup kepala itu sempat menggeleng."Afrodisiak sintetis." Kusebutkan jenisnya, bukan merek. Menyebutkan nama yang mudah dicari dalam penjelajahan internet bisa saja menjerumuskan orang lain untuk mencoba mendapatkan obat yang sama."Mas Abra? Ini nyawa oran
"Pagi, Sayang ...." Aku menguap setelah membuka tampilan layar ponsel dan menemukan wajah Aya tampil. Ah, tidur di kursi menyakiti punggung, aku perlu peregangan."Baru bangun?" tanya Aya. Wajahnya tampak semringah, segar di jam ... arlojiku menunjukkan jam sembilan lewat."Iya, semalam ada kasus darurat." Kuletakkan ponsel bersandar pada tumpukan buku dan aku berdiri merentangkan tangan ke atas sejauh mungkin kemudian menggerakkan kepala hingga suara patahan terdengar."Tadi Mama ngirimin makanan lewat ojol. Sampai?"Kuperhatikan, Aya meletakkan ponselnya, seperti di penyangga menghadap ranjang kami. Dia terlihat bolak-balik di ruangan. Aya sepertinya terbiasa mengenakan kaus milikku, seperti enggak pakai celana di baliknya kalau tertutupi hingga ke paha.Tunggu, dia tadi bilang apa? Kiriman makanan?Aku kembali duduk dan mendapati tas bekal berlapis kemasan merek salah satu layanan pengiriman daring di dekat bingkai foto. Di depannya tergeletak kertas pesan dari Nanda, "Disuruh antar