Share

Keluarga

Setelah menemani Aya mengantarkan pakaian ganti dan perlengkapan mandi untuk bapaknya di ruang ICCU, aku bisa bernapas lega sejenak. Bantuan yang kuulurkan untuk Pak Raden ternyata dianggapnya sebagai utang. Itu juga termasuk lucu bagiku.

Gimana, ya?

Mama selalu memberi contoh padaku untuk memberi tanpa meminta imbalan. Bahkan ketika ibu penghuni sebelah rumah harus melahirkan, tidak perlu ditanya dua kali, Mama langsung membantu mencari tumpangan dan bantu pembiayaan si ibu. Ya, tanpa imbalan. Mama tidak pernah menagih besaran biaya sekalipun kami pernah mengalami kesulitan keuangan sejak ditinggal Ayah.

Ah, mengingatnya lagi saat perjalanan pulang membuat darah menggelegak. Kepalan tanganku spontan memukul roda kemudi sampai Aya meneriakkan namaku.

"Sorry, Ya. Aku lagi enggak fokus." Kupinggirkan kendaraan roda empat milikku setelah memastikan tidak ada tanda dilarang parkir atau berhenti. Pelipisku harus ditekan beberapa kali sampai nyeri yang menusuk dadakan hilang.

Aliran napas di dadaku sepertinya tidak beraturan, cenderung memburu jika mengingat lelaki tua yang menikahi Mama hanya untuk memberiku kedudukan selama tidak mengungkapkan diri. Sekarang? Dia memintaku menjadi pewaris tunggal?

Senyap di dalam mobil kembali diiringi rintik hujan. Ketika melihat aliran yang sering disebut manusia sebagai berkah dari langit, aku membencinya. Setiap perempuan yang kukenali menikmati hujan justru membasuh luka dengan air mata yang tersamarkan.

Apa air mata bisa menyelesaikan masalah?

"Ya?" Kualihkan pandangan pada sosok gadis di bangku sebelah saat menegakkan punggung. Dia sedang memainkan embun yang melapisi kaca, seperti yang biasa kulakukan kala jenuh. "Maaf aku memintamu menolongku."

"Sekali lagi kamu minta maaf, aku bakal minta bayaran lebih tinggi," ucapnya perlahan, menekan setiap kata sebelum condong padaku. Pantulan panorama pada kedua bola matanya terlihat indah bagiku. Hanya ada aku sebagai satu-satunya manusia yang terlihat.

"Kamu tahu apa yang kupikirkan tentang bayaran lebih tinggi?" Kutiru cara bicaranya dan mendekatkan wajah hingga jarak yang tersisa tinggal menyapu bibirnya. Tatapanku turun, fokus pada bentuk bibir tipisnya, terbayang membuka dalam gigitan-gigitan kecil yang ....

Aya langsung menepi ke pinggiran bangku, meletakkan ransel kecilnya di antara kami. "Kapan berangkat, Bra?"

"Sial!" Panggilan itu lagi.

Kutekan tombol on di dekat roda kemudi, menginjak pedal gas setelah pergantian persneling. Pergerakan pelan roda mobil menandai masuknya kami dalam kemacetan yang mulai terajut di lampu merah persimpangan dekat mal besar. Terlihat air menggenangi pinggiran jalan, lebih dalam lagi di seberang.

Bola mataku terasa berputar jika mengingat janji para perebut kekuasaan di kota ini. Bukannya perubahan yang lebih baik, taman yang baru kami lintasi saja sudah penuh dengan semak, tidak terurus. Enggak heran, sih. Manusia lebih suka membangun, bukan memelihara. Jika sudah tidak nyaman, ditinggalkan.

"Aku enggak bisa percaya siapa pun setelah kejadian itu, Bra." Akhirnya Aya mulai bicara. Aku hampir mengumpat karena kesunyian yang terjalin semakin memberi jarak. "Aku berusaha lupain semuanya, tapi setiap bertemu setiap wajah .... Sakit."

Sakit? "Termasuk aku?"

Bukan tidak memiliki empati. Aku hanya menahan diri untuk tidak membuat segalanya di antara kami semakin runyam setelah gencatan senjata. Dia perlu sadar, membalas dendam itu seperti menggali dua lubang kubur. Musuh memang rasakan perihnya, tapi si pembalas dendam jauh lebih tersakiti. Kayaknya tiap kali aku punya kata bagus malah kena muka sendiri.

Kulirik Aya yang kembali terbenam meratapi hujan saat harus kembali menghentikan kecepatan karena antrian di pengisian bahan bakar. Dari pantulan kaca yang dihadapinya, rengutan tampak nyata. "Dulu kamu bilang sudah cukup menjadi sahabatku. Ya. Aku percaya. Aku cuma enggak nyangka kalau kamu memilih jadi tontonan teman-teman satu kelas daripada melapor ke BK."

Aku juga enggak nyangka jadi sangat membenci teori menangis saat hujan. Karena suaranya tidak terdengar? Karena tidak terlihat meneteskan air mata?

Kulepaskan sabuk pengaman yang membatasi diri setelah menetralkan persneling mobil. Kepalaku menggeleng sebelum menarik bahu Aya. Kuraih wajahnya dalam rengkuhan. "Aya, yang ngelihat kita hanya Elzar dan Randi. Kamu benar-benar di bawah pengaruh obat waktu itu." Tanpa kedipan atau pergerakan ragu. Harusnya itu cukup membuatnya yakin jika aku tidak berbohong.

"Terus kamu pikir ngelakuin hal terlarang jawabannya?"

Kehabisan kata, kugerakkan kedua ibu jari pada pipinya, mengusap air mata yang terlanjur turun. Bukankah itu yang disukai perempuan? Seseorang yang menghapus air mata. "A-aku enggak berpikir jauh, Ya. Maaf."

"Kalian, para orang kaya memang mengerikan."

"Anggap saja begitu." Aku tidak berbohong, tidak juga beralibi. Hanya tidak mengatakan kebenaran sebenarnya.

***

"Abra belum pernah bawa cewek lain sebelumnya ke rumah, loh." Mama ternyata sudah berbincang bersama Aya di dapur saat aku selesai memindahkan pakaian kotor dari mobil.

Aku tidak memperhatikan kegiatan mereka, tapi kalau boleh, aku ingin meralat ucapan Mama. Bukan belum pernah bawa cewek ke rumah. Mama cuma belum pernah lihat, selain ..., "Caca enggak masuk hitungan, Ma?"

"Dia bukan orang lain, Abraham. Kita cukup kenal keluarganya dari kamu kecil."

Kepalaku refleks mengangguk pelan sambil menyelipkan lengan di pinggang mama seperti anak kecil yang mengintip masakannya. "Liburan, Ma?" Kusempatkan mencium pipi kanan Mama sebelum beralih pada lemari pendingin dan mengambilkan salah satu botol jus untuk Aya.

"Ini Aya, Ma. Teman Abra di SMA dulu." Kami bersandar pada pinggiran meja saji menghadap Mama. Senyuman Aya terlihat lebih lepas daripada saat hanya berdua denganku. Apa kenanganku di matanya sangat buruk?

"Oh, ya? Aya yang dapat penghargaan juara umum itu?" Intonasi mama terdengar tertarik. Enggak nyangka ada yang mengingat Aya di luar kalangan sisa. "Bagaimana Abra dulu? Pasti bandelnya kebangetan. Kalau di rumah, manjanya ampun .... Tante aja enggak yakin dia bakal betah di sekolah."

"Ma ...."

Kekehan terdengar dari balik telapak tangan yang Aya tutupkan ke mulutnya. "Kurang tahu, Tante. Saya enggak dekat sama Abra."

"Duh ... Abra itu anaknya kalem. Kalau di rumah pendiam banget. Ada tamu malah sukanya ngendok di kamar."

"Bohong." Penolakanku justru memperparah tawa Aya hingga memukul meja yang menjadi sandaran kami.

"Enggak tahu ketularan dari mana nih sekarang jadi banyak bicara."

Ya Tuhan! Aku merasa dinistakan sama mama sendiri.

"Aya!" Kusikut tangan Aya yang berada di sisi lalu menunjuk ke langit-langit, memberi isyarat padanya untuk ikut naik ke lantai atas.

Dia mengangguk, mengikuti langkahku tanpa mau disentuh. Kuraih botol jus di tangannya, sekadar alasan membuka biar tidak ada kekosongan dalam langkah kami menyusuri koridor ruangan.

"Mamamu sendiri?"

"Iya."

"Bapak? Ayah?"

"Ayahku punya banyak istri."

"Bisa?"

"Ya, kalau enggak resmi. Menurut agama pun, menikah lagi enggak diakui, Ya."

Kukembalikan botol Aya saat tiba di balkon kamarku. Selalu rapi meski jarang ada penghuninya. Aku lebih banyak berkutat di rumah sakit atau apartemen Caca semenjak lelaki tua yang mengaku sebagai ayahku berusaha kembali bersama mama.

Aya mengangguk kemudian meneguk isi botol yang kuberikan. Jus jingga rasa jeruk itu biasa diisi dalam lemari pendingin karena dianggap sebagai kesukaanku. Dia ternyata menyukainya juga.

"Aya?"

"Hem?"

"Temani aku malam ini."

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status