“Aku menang lagi. Jangan lupa. Siapin surat-surat pengalihan kepemilikan. Ditunggu.”Kukirimkan sederet kalimat pesan ke kontak Elzar beserta bukti kebersamaanku dengan Aya yang masih terlelap. Kausnya kuturunkan hingga menutupi kulit yang sempat memberi hangat bagi indra penciumanku.Tak ingin mengusik, kurapikan tampilan Aya yang masih betah menutup mata di hamparan kasur tipisnya. Sekali kecupan kudaratkan di puncak kepalanya sebelum beranjak, membenahi kaus dan celana panjangku yang kusut karena pergumulan singkat.Aku masih ingat penolakan yang kembali terjadi sebelum penyatuan. Kata “sakit” di sana membuatku harus terus meyakinkannya dengan belai dan janji yang mungkin sulit dipenuhi.“Mau ke mana, Bra?” Pertanyaan yang sama sering kudapatkan dari pasangan sebelumnya setiap sang gadis membuka mata karena tidak menemukan tubuhku di sisi.Gejolak hasrat yang membara itu nikmatnya hanya sesaat. Setelah tuntas, enggak tahu lagi harus bagaimana setelahnya. Aya benar, rasa penasaranku
“Hei, Bra!”Kaki kananku diturunkan dari susunan kursi hingga menabrak lantai. Ingin tahu oknumnya, tapi terlalu silau menghadapi cahaya yang memenuhi ruangan ketika menurunkan lengan yang menutupi mata. Aku kembali terpejam meski tahu suara si pemanggil yang sangat familier.“Ngapain manggil namaku kayak dalemanmu, Ya?”Kaki kiriku menyentuh bantalan lembut yang bersandar di kursi seiring sengatan yang neyerang paha kananku.“Itu mulut udah dicuci bersih belum? Masih nutup mata aja, ngomongnya udah kotor banget.”Aku refleks duduk, menghadapi aroma manisnya tanpa perlu membuka mata. “Barusan sikatan pake sianida.” Kedua tanganku langsung melingkar di pinggangnya dan menyandarkan kepala di bahu Aya.“Gila!” Bahkan dia menggeleng pun terasa.Aku menyipit, membuka penglihatan perlahan hingga jelas sosok yang kutempeli. “Ke sini pakai apa?”Rambut panjang Aya tergerai, terlihat lebih terang dari sweter hitamnya. Mungkinkah dia menutupi tanda yang enggak sengaja kutinggalkan?“Mobilmu.” Ay
“Aku cuma kebayang …. Gimana kalau misalnya aku yang mati sendirian di ranjang rumah sakit. Tanpa keluarga.”Jemari panjang Aya terasa memilah helaian rambutku yang sepertinya sudah mampu menutupi pandangan jika diurai ke depan. Suaranya tidak terdengar, tetapi bisa kulihat raut bekunya dari pantulan cermin yang menjadi pintu lemariku secara penuh di seberang ranjang. Jemari dari tangan kirinya kuangkat naik menjelajahi udara di depan wajah hingga lengan membentuk garis lurus.“Selama ini aku melihat keluarga yang nangis, kecewa, bahkan mengumpat dokter yang dianggap enggak mampu menyelamatkan nyawa pasien. Padahal kami berusaha semaksimal mungkin.”Kepalaku masih betah berpangku perutnya. Hangat. Berbanding terbalik dengan pendingin ruangan yang digunakan untuk menghilangkan peluh di tubuh.“Kami bukan Tuhan yang dengan menjentikkan jari saja bisa memberi jiwa pada tubuh mati.”Aku masih betah bercerita. Mungkin, hanya saat bersamanya kurasakan kenyamanan. Seperti sepuluh tahun lalu,
"Mama bilang apa tadi sebelum pergi, Abra?" Wanita yang kulihat di depan pintu kamar hampir mengetuk pintu langsung melayangkan omelan panjang menyangkut makan siang di luar."Ya Tuhan, Ma. Sorry, Abra beneran lupa." Aku mengusap tengkuk sambil melirik Aya yang masih mengumpulkan pakaiannya.Hanya berharap Mama tetap berada di luar kamar. Mau nutup pintu, Mama sudah lihat aku mau keluar. Kutahan daun pintu seraya memaksakan senyuman sementara Mama masih mengoceh."Mama udah telepon kamu berkali-kali, tapi—"Ucapan Mama terhenti ketika memaksa masuk. Aku sudah mengusap wajah dengan kasar sambil membelakangi, menendang-nendang dinding pelan sambil bersiul, tahu pemandangan seperti apa yang bakal Mama saksikan."Aya masih di sini?""Sore, Tante." Suara serak Aya menyambut."Kalian ngapain?"Pembicaraan mereka terdengar pelan, tentu aku enggak berani berbalik. Apalagi suara benda jatuh di belakang. Gelas kaca pecah?"Abra? Abra jawab Mama!"Daun telingaku ditarik hingga menghadap ranjang.
"Ngajuin izin berapa lama, Mas Abra?" tanya Pak Agus saat melihatku meletakkan amplop surat di buku besar presensi kerja."Semingguan, Pak." Kedua tanganku masuk dalam saku jas ketika menghampirinya, menyamakan langkah di koridor menuju ruangan dokter. "Adikku mau nikah, Pak.""Wah, Mas Abra ternyata punya saudara.""Saudari, sih. Beda ibu." Kepalaku menggeleng, menunduk sekali dan menggulirkan senyum dengan menaikkan ujung kanan bibir. "Secara nyata, belum pernah ketemu."Rekan sejawatku sejak bertugas di IGD itu menepuk bahuku sebelum memisahkan diri di depan ruang yang dituju. Dia berbelok ke arah lain setelah berpamitan dan mengucap, "Moga lancar, Mas."Sempat kuaminkan, tetapi kemunculan Aya yang duduk di bangku kerjaku dalam ruangan menarik perhatian. Ingin menerkamnya kalau saja enggak ingat pesan Mama terakhir kali.Ah, aku jadi paham alasan Pak Agus pergi.Jemari kurus Aya menekan tiap tuts kibor laptop tanpa melepaskan penglihatan dari layar."Ngapain?" tanyaku setelah mendar
Tahu rasanya meminjam lagi dari orang lain?Bepergian pun rasanya seperti diingatkan dan dikejar-kejar. Yah, meski enggak bakal ditagih juga kalau yang ngasih pinjam kayak Caca. Uang kayak enggak berdigit dalam sakunya."Ambil yang mana, Bra?"Aya menutup ritsleting jaket sambil menghampiriku di lorong showroom rental motor. Dia mengikat asal rambut panjangnya di belakang.Setengah jam dari bandara menggunakan taksi cukup menambah kusut wajahnya yang hampir tidak tersentuh riasan selain pelembab. Tau dandanan itu juga karena beberapa kali harus mengikutiku menghadiri acara yang Ayah adakan.Aku masih ingat saat pertama kali Caca menyapukan perona di pipi Aya. Gadis itu terbatuk berkali-kali. Lucu."Yang mana?" Aya mengulang pertanyaannya.Kami berpikir menyewa kendaraan biar bisa leluasa sejak menginjak Surabaya dan sempat berdebat panjang mengenai penggunaan roda dua atau empat. Dan ... Aya menang. Kondisi keuangan memang membatasi perjalanan kami biar lebih banyak berhemat."Terserah
Dari luar, rumah Ayah terlihat dicat warna krem berpadu cokelat tanah. Dilengkapi batuan kecokelatan dan air mancur di pertengahan kolam kecil berisi ikan mas koki.Belum lagi pot-pot putih dengan berbagai tanaman hias di depan rumah. Hiasan bernuansa logam sesekali ditemukan pada dinding dalam rumah yang didominasi warna putih. Khas Ayah sekali.Kepercayaan tentang keseimbangan unsur itu memang sering kudengar. Tentang logam, air, api, dan tanah. Kalau enggak salah sih gitu. Tapi, apa harus?Entahlah. Kepercayaan tiap orang kan beda.Aku sendiri masih belum jelas dalam mengenali Tuhan mana yang diikuti. Dalam keluarga besar Ayah mempercayai banyak dewa, tetapi agama yang dianut menguatkan trinitas.Para pria berseragam yang mengawal sepanjang perjalanan tadi meninggalkan kami di ruang depan yang kupikir khusus untuk tamu.Sofa-sofa tebal dari kulit solid memang empuk. Namun, pria tua yang selalu kutemui hanya dalam pesta itu mengurungkan niatku berlama-lama duduk.Alih-alih bersalaman
Mobil bak yang kuparkir di samping pedestrian langsung memperlihatkan sosok kedua perempuan yang kukenal. Mereka duduk dalam gazebo bertiang merah dengan hiasan bebatuan pada tiang bawahnya.Kuhela napas kuat-kuat setelah turun dari kendaraan roda empat yang sangat menguji kesabaran. Kecepatan terbatas dan rentan mogok.Aku jadi curiga kenapa enggak ada pengejar setelah kami keluar dari kawasan perumahan elite. Apalagi jarak yang ditempuh cukup jauh menuju lokasi taman yang dikirimkan Aya. Sekitar lebih dari setengah jam perjalanan.Lumayan buat saling mengorek informasi dari Abi, suami Jessie. Hanya enggak nyangka kalau mereka menikah karena digerebek warga saat melarikan diri di pinggiran kampung."Wah, ternyata Pak Irawan punya anak lain," seloroh Abi ketika mendengar ceritaku tentang Ayah di sepanjang perjalanan.Bisa saja kupukul dia di tempat karena candaan yang sama sekali enggak lucu mengenai tingkat percaya dirinya yang terlalu tinggi gegara urusan banyak wanita yang mengantri