"Kenapa udah deket jamnya baru minta aku datang?"
Aku terkejut ketika menutup lemari pendingin dan mendapati Caca sudah berada di ruang makan. Dia duduk dan memakan beberapa donat yang tersedia tanpa keributan. Sepertinya Mama meninggalkan camilan sebelum pergi. Memiliki banyak cabang dalam bidang kuliner justru jadi alasan Mama sering keluar kota."Calonnya baru setuju." Kuanggukkan kepala ke sisi kanan sebelum menghampiri meja dan membawa dua kaleng bir. "Mau?"Caca membuka salah satu kaleng. Bahunya naik ketika meneguk paksa isinya. Jelas, dia enggak terbiasa dengan soda apalagi bir. Anggur bisa lah dikit. Tumben."Cewek mana lagi yang malam ini mau jadi korbanmu?" tanya Caca sambil mengambil lembaran tisu dari kotak untuk membersihkan jari dan bibirnya.Pinggangku bersandar pada pinggiran meja. Sesekali mendongak ketika meminum isi kaleng. "Yang jelas manusia. Enggak mungkin aku bawa succubus. Entar bukannya ke pesta, malah ngider di kasur." Gelak yang keluar dari bibirku justru mengundang pukulan darinya hingga harus meletakkan kaleng asal."Otakmu, Nathanael Abraham."Pemilik rambut panjang yang dikepang ke sisi kanan itu sudah bangkit dari kursinya dan masih betah membuatku terus mundur hingga punggungku menabrak dinding. Dia baru menyadari jarak di antara kami jauh terhapus. Rumah yang tidak besar membatasi ruang kami."Aku lelaki normal, Ca. Kamu buka baju di depanku sekarang juga bisa langsung kuterkam." Pelan kubisikkan pada telinga gadis di depanku. "Kamu kan belum nyobain.""Bohong. Selama ini kita selalu menjaga jarak, Bra."Caca mengambil satu langkah mundur, tetapi lebih dulu kutarik, mengubah keadaan dengan mengurungnya ke dinding."Kapan aku enggak jujur?"Kedua lengannya kucengkeram, menekannya hingga Caca menatapku secara langsung. Bukan. Aku bukan menyukainya. Hanya menggertak sesaat dengan bernapas pada ceruk leher jenjangnya. Wangi. Serupa primros setelah hujan."Abra ... berhenti."Kalimat di antara desahannya justru menguatkan cengkeraman. Jemariku perlahan berpindah pada pinggang terusan panjang yang dikenakannya. Warna putih tulang berpadu mutiara di antara pembatas lehernya terlihat lembut.Tidak ada perlawanan. Pinggulnya terasa merapat padaku, lepas dari sandaran dinding."Abra ...."Aku mundur sebelum terlalu jauh. Tidak bisa. Kepalaku menggeleng pelan, menertawakan tindakan yang masih bisa ditahan.Caca membuka mata. Apa dia menikmati sentuhan hingga terpejam?"Sudahlah. Di mana dia?" tanya Caca seraya membenahi tampilan yang sebenarnya tidak berantakan sama sekali."Kamar atas." Kutunjuk langit-langit dan mendongak sekali."Mamamu gimana?" Caca mengikuti langkahku sambil membawa tas besar yang biasanya berisi banyak benda tak kukenali terkait tata rias. Dia turut menyusuri tangga setelah sekali petikan jariku di udara."Aman. Paling ngewanti doang kalau enggak boleh bobo bareng.""Enggak ada harapan."Tawa khas Caca terdengar lagi. Suara yang mampu membuat kedua kelingkingku mengorek telinga. Mengganggu.Pintu kamar memang enggak dikunci. Enggak juga ditutup. Kebiasaan, sih. Lain cerita kalau ngelakuin hal yang iya-iya.Aya terlihat masih berdiri di dekat pagar balkon, memainkan ibu jarinya yang saling bertumpu dalam kepalan menyatu. Dia menoleh dan berbalik ketika kami mendekat.Gadis yang masuk bersamaku sepertinya enggak sabar buat menyapa. Dia lebih dulu berada di depan Aya dan mengulurkan tangan. "Hai! Aku Caca.""Aya."Kuembuskan napas dengan lega. Jauh lebih mudah daripada pertama kali bertemu Aya. Atau mungkin karena kebencian Aya padaku hingga berusaha bersikap tak ramah?"Bra! Ini Aya yang itu, bukan?"Ish! Apa Caca bisa dibungkam? Suaranya terlalu nyaring saat bertanya mengenai masa lalu. Ingatannya terkadang mengerikan.Tatapanku memutar ke seluruh ruangan saat menjawab, "Iya.""Seriously? Cewek pertama Abra?"Apa kubilang sebelumnya? Dia terlalu heboh jika dibandingkan dengan penampilan yang membalut tubuhnya."Enggak usah dibahas, Ca. Siapkan aja dianya biar bisa dibawa." Kulemparkan bantal terdekat yang mampu dicapai, tetapi enggak juga kena sasaran.Caca lebih dulu mengancamku dengan melepaskan salah satu sepatu yang terpasang di kakinya. "Keluar dulu! Mana bisa aku urusin kalau kamu di sini!"Aya menertawakanku. Dia melihatku sambil menutup mulut dengan kedua tangannya.***Alunan gesekan senar biola berpadu nada-nada piano terdengar sendu. Meski beberapa peserta undangan yang datang dan mengaku mengerti seni bilang lagu cinta, bagiku, ini menyedihkan.Entah karena yang kupahami seperti itu, atau karena Aya bersamaku. Saat pertama kutarik dalam rengkuhan di pelataran parkir rumah sakit, dia memberontak, bahkan mengigit lenganku.Bekasnya masih bisa ditutupi dengan kemeja lengan panjang. Namun, saat ini Aya justru melekat padaku, menyandarkan kepala di bahuku ketika mengikuti kesenduan.Beberapa kali peganganku di pinggangnya yang turun ke belakang menghadapi pukulan ringan. Kapok? Enggak. Aku menertawakan perlindungan yang diciptakannya ketika tak berjarak."Ya? Kayak enggak liat kamu kalau didandanin gini. Caca pakai sihir apaan?" Tangan kananku naik menyusuri wajah Aya yang mundur seketika.Awalnya terlihat menolak, tapi dia kembali mendekat, seolah memaksakan senyuman meski matanya cenderung melotot."Ngaco kamu. Ini berasa tebel banget. Apa ikutan acara gini selalu ribet?"Aku menunduk, memperhatikan gerak kaki kami di tengah lantai dansa, lalu beralih pada barisan meja besar yang didominasi para pemegang saham.Terkadang pertanyaan mencuat. Apa yang mereka bicarakan di sana? Apa saling melempar sarkas? Atau saling menjilat kekuasaan?Ketika pandangan bertumpu pada Aya, mata kelam itu seolah menelitiku, mencari jawaban atas pertanyaan yang tidak kuketahui jika dia tidak bicara.Garis yang dibentuk pewarna di permukaan wajah Aya mempertegas rautnya bak bidadari. Elegan dipadu gaun hitam selutut tanpa tali.Bisa kulihat ketidaknyamanan dari wajah Aya maupun geraknya yang terus menaikkan pengait samping gaun. Ah, aku jadi tertarik melucutinya."Kamu mempertanyakan kehidupan orang kaya, kan?" Suaraku berbisik di sudut daun telinganya, berharap napas perlahan yang tercipta mampu menggelitik. "Aku bakal kasih lihat ke kamu alasan terbesar yang buat aku enggak nyaman di tempat kayak gini."Aya mengusap telinganya. "Enggak nyaman? Di luar sana banyak yang ingin jadi kayak kamu, Bra."Ya, siapa yang tidak menginginkan kekayaan tanpa tahu risiko apa saja yang akan ditanggung? Minimal rasa waswas kekurangan harta seperti yang dilakukan para pemilik perusahaan. Begitu juga awalnya alasan perjodohan aku dan Caca. Kepentingan."Kamu lucu." Kujawab pernyataan Aya dengan menyolek sudut hidungnya. Ingin kusentuh bibirnya perlahan, tapi nanti. Menunggu dia yang menyerahkan padaku seperti gadis lainnya."Semua ini enggak lucu, Bra. Kamu cuma cari alasan menyentuhku." Aya menggeleng. Dia benar tentang itu dan seharusnya menolak sejak awal kalau emang enggak mau."Apa untungnya buatku?" Lebih murah membayar wanita lain daripada berderma. Namun, berderma dengan bonus teman tidur, itu beda cerita."Aku enggak ngerti, Bra! Sepuluh tahun lalu atau hari ini, aku enggak pernah bisa ngerti kamu!"Teriakan Aya mampu membelah barisan dansa. Sudah kuduga dia akan lepas kendali dan mengambil atensi para tamu undangan."Jelas, Ya." Aku melepaskan setiap sentuhan darinya, menghitung tiap langkah mundur sampai lima sebelum melanjutkan. "Kamu enggak pernah berada di posisi aku buat rasain hal yang sama. Asal kamu tahu, aku enggak pernah menyesal pernah tidurin kamu."Tanggapan terkejut sangat kentara dari para tamu. Seorang putera dari pengusaha terkenal sekelas Rangga Irawan, dokter baik hati, ternyata meniduri perempuan lain meski telah bertunangan.Merusak nama baik Ayah justru terasa sangat menyenangkan sampai sudut bibirku naik dan merentangkan kedua tangan untuk Aya.Apa ini memalukan untuknya? Kurasa ya."Abraham!"***"Brengsek!" Aya memberi tonjokan di pipi kiriku.Lucu. Begitulah pemikiranku jika ingin membandingkannya dengan gadis lain yang paling jauh menamparku. Ini ringan untuk ukuran Aya.Dia bahkan dua kali hampir mencelakaiku. Baret di mobil dan tabrakan motor itu.Bisa saja kecenderungan berbahayanya kulaporkan ke polisi, tapi tawaran perjanjian yang kuberikan untuknya saat bicara di tempat makan gado-gado ternyata berjalan mulus."Hanya perlu jadi pacarku sampai rencana pernikahan dibatalkan. Bagaimana?"Aya berhenti menyuap. Kedua kakinya yang naik bersila di bangku terlihat bergoyang. Ternyata dia mengenakan celana pendek di balik rok yang membuatnya terlihat feminin. Aya menyiramkan air dari botol ke tangannya di atas piring makan. "Apa untungnya buatku?"Sudut bibir kananku naik begitu menyadari ada ketertarikan dalam intonasinya. "Mau lihat duniaku? Kamu kan selalu ngebahas hal yang terlihat dari jauh. Aku juga bisa menanggung biaya pengobatan bapakmu, Aya.""Enggak perlu, Bra. Terim
"Nah, tuan muda Abraham sudah datang!" Tepuk tangan mengiringi kalimat pemuda sepantaran denganku di sudut kapal yang disewanya hanya untuk pesta bikini di pinggiran Selat Makassar.Memang belum beranjak dari pelabuhan, menunggu jingga berganti kegelapan di penghabisan cakrawala."Enggak lucu tau, Zar." Kurengutkan bibir saat harus menanggapi tinjuan persahabatan darinya lalu mengambil gelas tinggi dan kurus dari pelayan yang menghampiri.Elzar namanya. Hanya celana pendek yang biasa digunakannya untuk renang yang tersisa. Padahal dingin yang menyapa mulai menusuk lapisan terluar kulit. Aku saja sampai harus mengusap lengan atas berkali-kali karena hanya mengenakan kaus tanpa lengan."Gimana Aya?"Sudah kuduga dia akan menanyakan gadis itu setelah beberapa hari pertaruhan berjalan. Lumayan. Akuisisi perusahaan yang dia pegang dengan salah satu rumah pemberian Ayah. Wajah Elzar begitu tenang saat mengisap lintingan yang kuyakin tidak hanya berisi tembakau dari aroma yang menguar.Kuseru
"Bra! Aku bilang bakal bayar ke kamu, tapi enggak bisa sekarang." Aya memegang kepala sabuk pengamannya, belum lagi dimasukkan dalam sambungan di bangku penumpang. Dia menunduk sebelum melihatku menyerahkan tas plastik berisi beberapa jenis botol cairan obat injeksi dalam kotak beserta nota pembelian."Aku enggak bilang sekarang. Aku cuma ngasih kamu pilihan." Kututup pintu mobil. Berdiam diri sejenak dan menghela napas panjang.Daftar obat yang diserahkan Aya tidak mudah didapat, juga tidak bisa sembarang beli. Penggantinya memang banyak, tapi bakal menunggu keputusan dari dokter yang mengampu prosedur pengobatan lagi. "Bapakmu kehilangan kesadaran sampai harus menerima injeksi?"Aya mengangguk pelan. Bibir bawahnya dimajukan hingga menutup bibir atas. Jari-jarinya memainkan pegangan tas plastik, semakin keras sampai harus kupegangi."Ya Tuhan. Aya?" Kumajukan diri hingga lebih dekat di depan Aya, berusaha menatap kedua mata kelamnya dengan menarik naik dagu Aya. Lingkar gelap di seke
"Kamu itu nyadar enggak sih, Bra?" Tatapan sendu itu berganti sorot tajam ketika telunjuk Aya naik menyusuri sisi kiri wajahku. "Aku berkali-kali berusaha menghindar, kamunya malah selalu datang di saat aku enggak punya pilihan."Suara Aya yang terdengar serak, menggairahkan. Wajahnya mendekat, memberi napas hangat yang menggoda. Lalu, cengkeraman di leher membuatku tersentak. Dia menekan tepat di saluran napas hingga aku harus berusaha tetap tenang. Kepanikan hanya mempercepat habisnya oksigen dalam aliran darah.Gelas di tangan jatuh, pecah di dekat pijakan."Tuhan bener, dong," ucapku tanpa lepaskan pandangan tepat pada kedua titik matanya."Bener?""Kalau kamu memang cocok jadi jodohku."Aya melepaskan cengkeramannya dengan mendorongku hingga menabrak pagar pembatas. Syukur masih selamat, enggak jatuh atau ....Hanya kebayang ketinggian dari lantai tiga bangunan besar nan luas. Aku bergidik ngeri. Mungkin enggak bakal ketahuan kalau ada yang mati membusuk."Gila!" Sindiran Aya meng
"Cewek yang dijodohin sama kamu?" tanya Aya saat aku masih berkutat dengan obeng kembang untuk membuka setiap baut yang terpasang pada benda kotak berbahan plastik.Ukurannya seperti televisi layar datar saat pertama kali keluar, hanya saja tidak ada layar kecuali disambungkan pada monitor terpisah. Kotak ini memiliki slot pemutar disket dan cakram. Kabel yang mungkin dipasangkan pada slot belakangnya masih berukuran besar."Caca?" Kusebutkan nama gadis yang seringkali dipertanyakan Aya. Mungkin dia enggak ingat."Yang waktu itu dandanin aku, kan?"Jadi ngerasa diinterogasi terus-terusan. Meski Aya sibuk dengan bongkar-pasang komputer dan laptop di meja utama, otaknya seolah bisa memikirkan hal lain yang enggak ada sangkut pautnya dengan pekerjaan."Iya.""Kamu akrab sama dia. Kenapa enggak jadian beneran aja?"Bolehkah aku ngerasa percaya diri kali ini? Kayak nemu kecemburuan dalam intonasi bicaranya.Kupastikan jumlah baut dalam kotak penyimpanan yang Aya berikan sebelumnya lalu mend
"Ada tamu, Kanaya?"Suara berat yang terdengar diiringi batuk mendekat. Aya mendadak mendorongku. Kalau enggak nguasai diri, mungkin saja aku bakal menjatuhkan lemari pembatas karena panik. Untungnya, Pak Raden melihatku seperti baru keluar dari dapur."Eh, Bapak." Aya lebih dulu menyapa dan menarik kursi untuk duduk bapaknya. Senyumannya seolah dipaksakan, terlihat dari bagaimana mata besarnya melotot padaku beberapa kali."Tadi ngetok, tapi pintu enggak ditutup. Kalian lagi nyiapin makanan?" Bapaknya Aya mengambil piring dan mengisinya dengan nasi dari kukusan."Makan, Pak." Kusodorkan panci berisi sayur ke dekatnya.Perlengkapan di rumah Aya tidak seperti d/i tempat Mama yang membedakan segala jenis hidangan berdasarkan ukuran. Semua seadanya, pakai yang ada aja."Pak dokter, kan?" Pak Raden menoleh padaku, menyambut dengan senyum keramahan. Lengkung yang terbentuk di matanya menyorotkan ketulusan ketika mempersilakan. "Ayo, makan juga."Kutarik kursi berbeda dari kayu tanpa sandara
“Aku menang lagi. Jangan lupa. Siapin surat-surat pengalihan kepemilikan. Ditunggu.”Kukirimkan sederet kalimat pesan ke kontak Elzar beserta bukti kebersamaanku dengan Aya yang masih terlelap. Kausnya kuturunkan hingga menutupi kulit yang sempat memberi hangat bagi indra penciumanku.Tak ingin mengusik, kurapikan tampilan Aya yang masih betah menutup mata di hamparan kasur tipisnya. Sekali kecupan kudaratkan di puncak kepalanya sebelum beranjak, membenahi kaus dan celana panjangku yang kusut karena pergumulan singkat.Aku masih ingat penolakan yang kembali terjadi sebelum penyatuan. Kata “sakit” di sana membuatku harus terus meyakinkannya dengan belai dan janji yang mungkin sulit dipenuhi.“Mau ke mana, Bra?” Pertanyaan yang sama sering kudapatkan dari pasangan sebelumnya setiap sang gadis membuka mata karena tidak menemukan tubuhku di sisi.Gejolak hasrat yang membara itu nikmatnya hanya sesaat. Setelah tuntas, enggak tahu lagi harus bagaimana setelahnya. Aya benar, rasa penasaranku
“Hei, Bra!”Kaki kananku diturunkan dari susunan kursi hingga menabrak lantai. Ingin tahu oknumnya, tapi terlalu silau menghadapi cahaya yang memenuhi ruangan ketika menurunkan lengan yang menutupi mata. Aku kembali terpejam meski tahu suara si pemanggil yang sangat familier.“Ngapain manggil namaku kayak dalemanmu, Ya?”Kaki kiriku menyentuh bantalan lembut yang bersandar di kursi seiring sengatan yang neyerang paha kananku.“Itu mulut udah dicuci bersih belum? Masih nutup mata aja, ngomongnya udah kotor banget.”Aku refleks duduk, menghadapi aroma manisnya tanpa perlu membuka mata. “Barusan sikatan pake sianida.” Kedua tanganku langsung melingkar di pinggangnya dan menyandarkan kepala di bahu Aya.“Gila!” Bahkan dia menggeleng pun terasa.Aku menyipit, membuka penglihatan perlahan hingga jelas sosok yang kutempeli. “Ke sini pakai apa?”Rambut panjang Aya tergerai, terlihat lebih terang dari sweter hitamnya. Mungkinkah dia menutupi tanda yang enggak sengaja kutinggalkan?“Mobilmu.” Ay