"Maaf Bu, memangnya siapa yang akan nikah? ini pengantinnya udah pergi kok," tanya salah seorang tamu.
"Ini Bu, yang akan jadi pengantin prianya ini, anak saya," jawab Mama sambil menepuk pundakku. Kini semua mata memandang ke arahku. Duh, dagsigdug juga jadi pusat perhatian. "Ibu gak bercanda, kan? anak ibu Marna mau nikahi anak saya?" tanya seorang wanita seumur Mama, sepertinya ini mamahnya Teh Shiena karena dia yang tadi pingsan. "Yang bener, Bu?" tanya orang-orang itu secara bersamaan. Ya iyalah siapa yang tak heran, si pengantin wanita kan udah janda dan udah tua, mereka pasti heran kenapa yang mau menikahi janda tua itu adalah laki-laki seganteng aku. Jangankan mereka, gue juga heran, kenapa mama gue justru nikahkan gue sama janda. "Ya udah, kalau memang Masnya serius mau nikah, ayo duduk, biar saya langsung nikahkan soalnya saya udah ditunggu yang lain," ujar Paak Penghulu sambil kembali duduk. Aku tadinya masih tetap berdiri mematung, tapi mamaku menyenggol lenganku dan mengisyaratkan agar aku duduk di depan penghulu. Dengan terpaksa, aku pun duduk di depan laki-laki yang memakai baju batik ini. Pak penghulu mengulurkan tangannya, ingin rasanya aku kabur saat ini, tapi aku tak berdaya, akhirnya aku pasrah saja ketika petugas KUA ini menjabat tanganku. "Saya nikahkan dan kawinkan engkau saudara ... eh, aduh sampai lupa nanya nama masnya siapa, hehe," tanya Pak penghulu itu menghentikan kalimatnya. Para hadirin pun terlihat cekikikan menertawakan pak penghulu. "Duh, si Bapak, sampe lupa nanya nama, ha ha ha," ucap salah satu tamu yang disambut gelak tawa tamu undangan lainnya. "Hehe maklum, saya udah terlambat ke acara lain, Jadi saya lupa. Ayo saudara ... " ucap Pak penghulu dia menjeda pertanyaannya agar ada yang menjawab. "Nama saya Hadi Firmansyah," jawabku cengengesan. "Baiklah Saudara Hadi Firmansyah, dengan mengucap Bismillahi Rohmani Rohim, saya nikahkan dan kawinkan engkau dengan saudari Thury Shiena Maulidyah binti Abdullah dengan mas kawin cincin berlian, dibayar tunai!" ucap penghulu itu dengan lantang. "Saya terima nikah dan kawinnya Thury Shiena Maulidyah binti Abdullah dengan mas kawin tersebut dibayar ... tunai ... " ucapku dengan tak kalah lantang dengan penghulu. Entahlah kenapa aku bisa sekali ucap dan gak nervous, apa karena aku sudah mengucapkan kalimat ini dalam setiap mimpiku. "Bagaiamna saksi, Sah?" tanya Pak penghulu kepada dua saksi yang duduk di sebelahnya. yang disambut ucapan "Sah" oleh saksi dan seluruh hadirin yang ada di situ. "Akhhh, ya Allah, jadi sekarang aku sudah sah menjadi suami?" batinku lirih. Mamanya pengantin wanita ... eh, salah, sekarang dia sudah menjadi mertuaku, dia mendekatiku dan berucap. "Terima kasih, ya, Nak Hadi, Bu Marnah. Karena udah mau membantu kami," ujar ibu mertuaku sambil sesenggukan di pelukanku dan Mama. "Sama-sama Bu Erna. Saya senang bisa punya menantu seperti Shiena," jawab ibuku. Akhh ... Mama yang senang, aku yang malang harus menikah dengan orang yang belum pernah kulihat sebelumnya. Mending kalau dia cantik, lah gimana kalau dia jelek dan gembrot? Hadeuh bisa hancur reputasiku sebagai playboy kelas kakap, Hah, malang sekali nasibku, menikahi janda punya anak, mana udah tua, lagi. Batinku terus menggerutu. Namun, di bibirku tetap terukir senyuman termanisku. Tak lama kemudian, pengantin perempuan dipanggil keluar oleh para pagar ayu yang sejak tadi duduk. Dari dalam kamar, muncullah seorang perempuan memakai kebaya putih dan rok batik coklat. "Cantik juga, tapi kenapa aku seperti familiar dengan wajahnya, ya?" Aku bergumam sendiri ketika kulihat sang pengantin wanitaku. Duh, lucu banget sih, dalam sekejap sudah jadi suami. Wanita itu semakin mendekat, dia kini berdiri di depanku. Dan sesuai adat, kami diprintahkan duduk berhadapan karena sang pengantin wanita akan sungkem pada pengantin pria. Entah kenapa dadaku jadi berdebar-debar. Aku merasakan perasaan yang tak pernah kurasakan saat bersama Lena atau pun Marina atau juga gadis yang lain termasuk Nisa. " Hadi, ayo ci*um kening istrimu!" titah Mamaku sambil cekikikan bersama yang lain. Aku terperanjat dari lamunanku. Kulihat istriku mendongak ke wajahku dan seketika dia tersentak kaget, tak beda jauh dengan orang yang melihat hantu. "Hadi, Kamu?" ucap perempuan itu sambil mengacungkan jari telunjuknya menunjuk ke wajahku. Dan ahkh ... sepertinya aku juga mulai mengenalinya .. .ah ... tapi tidak mungkin, tidak ... ini tidak mungkin! Aku menggelengkan kepalaku masih tak percaya jika wanita yang barusan kunikahi adalah Bu Lidya, Dosenku yang selalu galak dan sering aku bully kalau dia mengajajar di kelasku. "Bu Lidya?" tanyaku padanya. "Jadi, kamu ... kamu beneran Hadi? Hadi Firmansyah?" tanya wanita itu. Aku yakin dia juga syok, sama sepertiku. "Astagfirullahal Adzim." Kami beristigfar dan refleks menepuk kening kami masing-masing dalam waktu bersamaan. Melihat kami berdua terkaget kaget, para orang tua dan tamu malah tertawa riang. "Wah, kalian ternyata udah saling kenal, ya? Bagus dong, berarti kalian akan mudah saling menerima," ujar mama dan ibu mertuaku. Aku dan Lidya pun menoleh dengan senyum yang sama-sama dipaksakan. "Ah, bagaimana ini bisa terjadi? hadeuh, jangan sampai orang kampus tau kalau aku menikahi Bu Lidya. Ahh ... mau ditaruh di mana mukaku kalau sampai ketahuan. Bagaimana mungkin seorang Hadi Firmansyah yang masih muda dan ganteng, yang biasa jalan dengan cewek-cewek cantik, kini punya istri yang lebih tua, wajahnya pas-pasan, janda, punya anak lagi, akhhh ... ini benar-benar-benar hal gila yang tak bisa kupercaya dan kuterima. "Ya Allaah, apa ini balasan karena aku selalu mngejek wanita inii?" batinku. "Maaf Pak, saya permisi dulu ya, soal penandatanganan surat nikah, dan sebagainya nanti kita urus dulu, soalnya nama pengantin prianya kan beda. Jadi, Masnya harus menyerahkan berkas-berkas pribadi dulu untuk kami catat," ucap Pak Penghulu sambil bersiap pergi. Setelah Pak Penghulu dan petugas KUA lainnya pergi, kami disuruh sungkeman dan akhh yang lebih membuatku mual. Para orang tua menyuruhku menciumnya. "Hadi, ayo pakaikan cincinnya!" titah mamaku. Dengan sangat terpaksa, aku pun memakaikan cincin berlian yang tadi diberikan ibuku ke jari wanita yang sudah sah menjadi istriku ini. "Shiena, kamu cium tangan Hadi, nanti Hadi akan mencium kamu," ujar seorang Ibu yang kutaksir adalah ibu dukun, eh, maksudku paraji alias dukun beranak. Meski terlihat ogah-ogahan, dia tetap mencium tanganku, tapi setelahnya aku tak langsung melaksanakan perintah mereka untuk mencium wanita ini. "Had, ayo cium istrimu, jangan bengong gitu!" titah mamaku. Dengan mendengkus kesal, aku akhirnya mendekatkan wajahku ke arah wajah wanita ini, tapi sebelum aku menciumnya, aku berbisik padanya.Pov Shiena. Salah satu resiko menjadi seorang pengajar adalah harus siap mental kalau kalau ada murid yang nakal atau bandel. Itu lah yang aku hadapi sekarang. Saat ini aku mengajar di sebuah kampus sebagai Dosen di Fakultas Ekonomi, kebetulan aku dipercaya menyampaikan mata kuliyah Etika berbisnis dan profesi dan juga PAI. Hari ini aku benar benar dibuat kesal oleh salah seorang mahasiswa yang selalu terlambat dan sering juga ceplas ceplos disaat aku mengajar. Kalau saja aku seperti dosen yang lain, mungkin anak itu sudah diberi nilai D, tapi aku masih memberi dia kesempatan, meski dia sungguh menyebalkan. Kali ini aku memberi mereka tugas untuk membuat makalah, tapi mahasiswa yang bernama Hadi ini selalu melakukan kesalahan dalam penyusunannya. Karena besok aku mau mengambil cuti sampai seminggu, hari ini aku berbuat baik pada para mahasiswa yang makalahnya masih perlu perbaikan. Ketika aku berada di kantin, aku mendengar Hadi dan Ilman menyebut-nyebut namaku, aku pun berg
Aku jatuh terkulai di lantai, sementara Mama jatuh pingsan. " Maa, kenapa Mama nangis, Maa?..Dan itu nenek, kenapa nenek juga jatuh, Maa?" Basmah menangis di sampingku sambil menggoyangkan tanganku. Aku berusaha menguatkan hatiku dan menjawabnya. " Gak ada apa-apa, Basmah jangan takut ya sayang!" Aku menarik Basmah ke pelukanku. " Na, sebaiknya kamu bawa masuk Basmah ke dalam, biar ibumu kami yang urus," Titah Bi Ijah padaku. BI Ijah adalah saudara jauh ibuku yang tinggal bersama kami karena beliau sudah tak punya keluarga lagi. Aku menuruti dan gegas membawa Basmah masuk kamar dan menidurkannya. Ceklek... Terdengar Pintu kamarku dibuka dari luar dan muncullah sosok wanita yang kukenal. " Assalamualaikum nak Shiena, " ujarnya seraya memelukku. " Wa alaikum salam wr wb. Bu Marnah, Ibu udah datang?" jawabku sambil berdiri dan menyalaminya. Beliau bertanya padaku tentang apa yang terjadi dirumah ini. Aku terpaksa menjelaskan pada Bu Marnah. Bu Marnah adalah orang yang pernah ak
Usai menerima ucapan selamat dari para tamu, kini saatnya acara adat yaitu 'makan spertemon' acara adat ini dilakukan di sebagian daerah Serang, di mana pengantin akan disuruh makan bersama dan saling menyuapi dipandu oleh ibu dukun branak, alias paraji. Kini aku dan Bu Lidiya duduk saling berhadapan, dan di depan kami ada sepiring nasi kuning lengkap dengan lauk pauknya. "Had, ayo suapin istrimu!" printah Ibu dukun padaku setelah selesai berdoa. Aku meraih sesuap makanan dan .. Blep.. Aku memasukan makanan yang cukup banyak ke mulutnya hingga dia tak bisa mengunyah. "Makan yang banyak, Bu! Ayo telen, ya Bu! Biar nanti malam Ibu kuat malam pertama hihi," bisikku di telinganya. Sungguh menyenangkan melihat Ibu dosenku ini tak berdaya mengikuti kemauanku. Entah kenapa dia memandangku dengan pandangan horror, sepertinya dia sedang merencanakan sesuatu untuk membalasku. "Suamiku sayang, makan ini, ya! Biar kamu juga kuat , he he he," ucapnya di sertai kedipan mata. Ah, gawat, sepe
Hadi terlihat mondar-mandir di kamarnya. Sementara Shiena masih khusyu dengan lantunan bacaan ayat Alquran setelah ia selesai salat isya."Kamu gak salat, Had?" Shiena mencoba mencairkan suasana di kamar pengantin yang kaku dan aneh itu.Hadi terlihat kesal dengan pertanyaan wanita yang sudah shah menjadi istrinya itu. Hadi mulai mendekat ke arah Shiena dia menghempaskan bokongnya di dekat Shiena dan mulai berbisik."Bukan urusan Anda, Bu Dosen. Dengar, ya, Bu Shiena atau Bu Lidya atau Bu siapa kek, saya gak perduli dengan nama Ibu.Saya tegaskan sama ibu, Ibu ini memang sudah sah menjadi istri saya, tapi ibu sama sekali tidak berhak mengatur saya, karena saya tidak akan pernah menginginkan ibu menjadi istri saya, Bagi saya Ibu ini hanyalah dosen saya, tidak lebih. Cam kan baik-baik, Bu Lidya!" tegasnya dengan suara setengah berbisik, karena Hadi tak mau Mamanya mendengar percakapan mereka berdua.Deg..Jantung Shiena terasa nyeri mendengar kata-kata murid nya yang kini telah men
Waktu sudah menunjukkan pukul 12 lewat, tapi Hadi masih gelisah, Hadi berusaha memejamkan matanya, tapi tak jua bisa ia lakukan.Bagaimana pun dia adalah laki-laki normal, yang apabila berduaan dengan perempuan pastilah timbul perasaan aneh."Gila, kenapa aku kegerahan gini, padahal AC nyala, tapi kenapa terasa panas. Apa karena ada Bu Lidya?" Hadi bergumam sendiri sambil melirik ke arah istrinya yang sudah terlelap.Mungkin karena ini bukan hal pertama bagi Shiena tidur di samping suami, jadi dia tak merasa gelisah, lain dengan Hadi yang memang baru pertama kali tidur di samping perempuan.Perlahan Hadi mendekat ke arah Shiena dan dipandanya wajah Shiena dengan seksama. "Manis juga kalau lagi merem kek gini. Astagfirullah kenapa aku jadi tertarik dengan wanita ini? Iih amit-amit, tapi ... sekarang dia istriku. Meski aku ngucap amit-amit berjuta kali, kenyataannya dia sekarang istriku.. Hadeuh, apa aku kualat, ya? karena aku sering menghinanya."Hadi terus saja merutuki diri sendiri y
Dengan malas, aku pergi ke dapur dan sarapan bersama Mama dan Lidya."Had, kamu ke Resto hari ini, kan?" tanya Mama. Aku langsung mengangguk sambil memasukkan sedikit nasi goreng ke mulutku.Tadinya kukira tak enak, setelah kucicipi, ternyata sangat lezat.Ternyata Lidya bukan hanya pintar dalam akademik, tapi juga pintar memasak. Eh, kenapa aku jadi memuji wanita itu?Aku melirik ke arah wanita yang sudah sah menjadi istriku ini. Ada yang berbeda dari wajahnya, tapi entah apa. Setelah kuingat, ternyata dia tidak memakai kaca matanya."Ternyata tanpa kaca mata, wajah dia lebih terlihat muda," pujiku, tentunya hanya dalam hati. Kalau aku langsung mengatakan dia cantik, bisa-bisa besar kepala dia."Hadi! kok, malah bengong? Hmm, mentang-mentang pengantin baru, diliatin terus, apa belum puas semalaman berduaan?" sindir Mama, yang tentunya membuatku terkesiap. Sementara Lidya, kulihat ia melirikku, kemudian tersenyum ke arah Mama."He-he-he, Hmm Mama tadi nanya Hadi ke Resto, kan?" tany
Pov ShienaHari ini aku benar-benar dibuat jengkel oleh kelakuan laki-laki yang kini sudah sah menjadi suamiku ini.Seenaknya saja dia nyelonong masuk saat aku membersihkan Basmah. Aku paling tidak suka saat anakku mandi ditonton orang, meski itu keluarga sendiri. Seorang janda yang punya anak perempuan kemudian menikah lagi, harus hati-hati menjaga anak perempuannya. Meski seorang ayah tiri telah menjadi mahram dan haram menikahi, tapi sebagai ibu kita wajib hati-hati agar anak tak terlalu dekat dengan ayah tiri. Sudah banyak kejadian yang terjadi di masyarakat. Bukannya kita harus curiga pada suami, tapi kita wajib menjaga pergaulan diantaranya harus ada batasan tertentu antara anak kita dan ayah tirinya tidak tergoda oleh bujukan setan yang selalu saja mengambil kesempatan menggoda bani Adam.Aku ingin mengajarkan anak agar menutup aurat dan itu aku awali dengan cara tidak mempertontonkan bagian tubuh yang sensitif dimulai dari kecil.Setelah aku selesai dengan Basmah, aku gegas
Entah perasaan apa yang kurasa saat ini, aku begitu berbunga-bunga dan selalu saja ingin tersenyum bila mengingat wajah wanita yang sudah sah menjadi istriku itu.Hari ini aku puas sekali karena sudah berhasil mengerjai dia dari pagi. Entah kenapa aku sangat senang melihat wajahnya yang sedang menahan amarah dan jengkel atas kelakuanku.Aku senang sekali kala melihat dia menyalamiku dan mencium tanganku. Dosen yang selama ini selalu galak dan memberiku hukuman, kini malah mencium tanganku. Ah, rasanya sungguh menyenangkan."Mas Hadi, kenapa melamun?" Suara cempreng itu membuyarkan lamunanku. Mataku membulat melihat wanita di depanku. Marina, gadis cantik yang sudah beberapa bulan bekerja di cafe ibuku ini sebagai kasir.Aku memacari gadis ini sejak dua bulan lalu, tepatnya saat si Nisa pergi tanpa kabar. Entahlah, sejak si Nisa pergi, aku kesepian. Dan untuk mengobati itu, aku memacari beberapa orang gadis, di antaranya Marina dan Lena, teman kampusku."Eh, Enggak, Kok, kamu lagi ngap