Tempat LDK OSIS SMA Tribakti berada di sebelah selatan Kota Kembang. Wilayah yang terkenal sejuk dan memiliki ratusan hektar perkebunan teh, stroberi, juga aneka tumbuhan lain yang cocok ditanam di pegunungan. Euforia sempat terjadi di dalam bus, para peserta sibuk mengabadikan pemandangan indah itu dengan lensa mata mereka secara langsung. Tak ada satu pun yang memegang ponsel karena aturan panitia.
Kesenangan itu berakhir setelah satu setengah jam mereka menempuh perjalanan. Rombongan Tribakti berangkat sekitar pukul dua belas siang selepas shalat zuhur dan tiba di sana pukul setengah tiga. Mereka diturunkan di pinggir jalan raya lalu diarahkan untuk berbaris dan berjalan menjauhi jalan raya. Panitia menjelaskan bahwa mulai dari titik pemberhentian itu mereka akan jalan kaki sampai tempat perkemahan. Diperkirakan perjalanan ini akan membutuhkan waktu sekitar setengah jam.
Tak hanya berjalan santai, para peserta diminta untuk menyanyikan yel-yel setiap kelompok yang s
Peserta pelatihan berbaris sesuai kelompoknya masing-masing. Damian sedang memberi pengarahan tentang kegiatan jurit malam yang tak lama lagi akan mereka lakukan. Saga menyimak dengan serius setiap penjelasan Damian agar tak satu pun informasi luput dari pendengarannya.“Ada lima pos yang harus kalian temukan selama jurit malam nanti. Di setiap pos kalian akan bertemu dengan senior OSIS yang akan mengetes kemampuan kalian terkait materi yang sudah disampaikan sebelumnya. Kalian mesti ingat, setiap jawaban dan tindakan kalian itu akan dinilai secara objektif. Sekolah kita tak mengenal formalitas dalam berorganisasi, dari 25 orang yang berpartisipasi hari ini kemungkinan ada yang gugur itu sangat besar. Jadi jangan lalai dan terlalu percaya diri, sudah tiba di titik ini bukan berarti kalian akan benar-benar menjadi anggota OSIS. Tetap disiplin, kompak, bertanggung jawab, dan teliti dalam melakukan apa pun. Kalian mengerti?”“Siap mengerti!” jawab
Sementara itu di sudut lain, kelompok Marchel sudah tiba lebih dulu di titik tempat penunjuk arah ke posko satu berada. Anggota kelompoknya yang lain sudah melanjutkan perjalanan, sedangkan ia sengaja berhenti di sana bersama Yandi untuk merencanakan sesuatu. Mereka ingin balas dendam pada Sagara atas kejadian di lapangan basket tempo hari.“Lo yakin hanya kelompok dia yang belum tiba di sini?”“Gue yakin banget, Chel. Tuh lihat di bawah penunjuk arah ini ada cap dari masing-masing kelompok yang sudah melewati titik ini. Kelompok 1-4 udah ngasih cap, tinggal kelompok 5 doang yang belum. Artinya si Saga dan teman-temannya belum tiba di sini,” jelas Yandi sangat yakin.“Oke, kita kerjain mereka sekarang,” ungkap Marchel sambil tersenyum setan.“Tapi Icha sama Dendi masih sama mereka, Chel. Kasihan banget kalau mereka ikut nyasar sama trio kampret itu.”Dua anggota kelompok di tim Sagara adalah teman sek
“Kok kita enggak nyampe-nyampe, Ga?” tanya Omen masih setia menggandeng Sagara sebagai satu-satunya tumpuan menghadapi ketakutan ini.“Mungkin sebentar lagi, Men. Berdasarkan instruksi tadi katanya setelah menemukan petunjuk jalan kita hanya perlu lurus saja sampai menemukan posko 1 bukan?”“Iya memang, tapi ini sudah terlalu lama kita berjalan. Enggak wajar banget, masak tak kunjung sampai. Jangan-jangan ... kita tersesat, Ga?”Sagara memikirkan hal yang sama, ia tak berani menyampaikan kecurigaannya karena takut membuat Omen dan Tyana panik.“Sepertinya kita dijebak, Ga,” gumam Tyana sambil berkacak pinggang, sibuk mengatur napas.“Hah? Dijebak gimana, nih? Apa maksudnya, jangan bikin deg-deg ser dong, Tya!” rewel Omen dengan ekspresi yang minta ditonjok oleh Tyana.Untung Tyana sedang kelelahan kalau tidak, si Omen sudah benar-benar kena bogemnya lagi.“Mm, aku kira
Sagara berlari cepat menjauhi sang babi hutan, babi itu tak menunjukkan tanda-tanda akan mengejar Sagara. Ia malah diam sambil mengamati kemudian berbalik—jalan ke arah yang berlawanan dengan laki-laki itu.“Tyana! Omen! Kalian di mana?” teriak Sagara di sela napas terengah, ia berlari ke sana kemari untuk menemukan kedua temannya namun mereka tak kunjung terlihat.Sagara akan mengutuk dirinya sampai mati kalau sampai terjadi sesuatu pada kedua temannya itu. Dia yang menyuruh Omen dan Tyana untuk berlari tanpa henti tanpa tahu betapa membahayakannya hutan ini. Seharusnya ia terus menjaga Omen dan Tyana berada di sisinya apa pun yang terjadi.“Omen ... Tyana ...! Jawab aku jika kalian mendengar teriakan ini!”Sagara berhenti, teriakannya menggema di seisi hutan akan tetapi kedua temannya tak juga menyahut. Mungkinkah sesuatu yang buruk telah menimpa mereka? Tolong jangan, Sagara tidak mau hal itu sampai terjadi. Dia menyugar r
“Sebenarnya kita terperangkap di tempat apa ya, Ga? Hutan ini menyeramkan sekali, bahkan sampai ada babi hutan sebesar anak sapi. Apakah itu nyata? Tadi bukan hanya halusinasi saya saja, kan?”“Aku dengar ini adalah hutan larangan, seharusnya kita tidak masuk ke sini.”“Hah, hutan larangan? Kamu tahu dari mana?” tanya Omen sambil melangkah agak tertatih, dia baru sadar kalau ternyata kakinya juga terluka walau tak separah Tyana.“Bukankah sudah jelas, tadi panitia juga mewanti-wanti kita untuk tidak pergi keluar jalur yang sudah ditentukan.”“Sulit dipercaya, di wilayah kita ada hutan semacam ini. Saya merasa kita seperti terjebak di negeri asing, Ga.”Sagara merapatkan bibirnya, nyatanya perasaan Omen memang tidak salah sama sekali. Mereka terjebak di negeri asing, negeri yang tak seharusnya dijamah manusia biasa seperti Omen dan Tyana.“Tetaplah berpikir positif, Men, kita p
“Arghh—“ Sagara berdiri, terengah, menyingkirkan bebatuan yang mengubur tubuhnya. Dia melihat kobra tadi sedang berdiri tegak dan mengaung murka di depan dua sahabatnya.Ia ambil salah satu batu berukuran sedang, satu mata sang kobra sudah terluka. Sagara berencana melukai mata satunya lagi agar kobra raksasa itu kesulitan melawannya. Sagara berlari cepat dari tempatnya, begitu tiba di sisi incarannya, tak perlu menunggu waktu lama batu itu melayang bak kilat—menghantam tepat sasaran. Terdengar suara bola mata sang kobra yang pecah. Raungannya menggemparkan seisi gua. Tubuh Omen dan Tyana terkibas ekor kobra sampai terpelanting ke sudut gua.Ular itu meliuk kesakitan, ia bergerak tak tahu aturan kemudian mendapatkan Sagara dalam lilitannya. Walaupun tak bisa melihat, sang kobra masih bisa menemukan keberadaan pemuda sialan itu dari aromanya. Seperti yang dia katakan sebelumnya, aroma tubuh Sagara sangat kuat dan khas.“Aku akan memb
Setelah berjalan kurang lebih satu jam lamanya, Saga merasa suasana di sana terasa kondusif dan tidak ada tanda-tanda ancaman bahaya bagi mereka. Lelaki itu menurunkan Tyana di bawah pohon besar yang berdiri kokoh dengan daun rimbun. Ia melepas jaketnya dan diselimutkan pada Tyana yang masih pingsan. Sementara Omen menggelepar lemas di samping Tyana.“Kamu mau ke mana, Ga? Jangan tinggalkan kami,” refleks Omen bangun saat Sagara berjalan menjauhi mereka.“Aku mau cari kayu bakar. Sepertinya Tyana kedinginan.”“Hh, jangan jauh-jauh, Ga. Saya takut terjadi sesuatu lagi setelah kamu pergi.”“Aku akan mencari kayu bakar di sekitar sini. Tidak akan jauh dari jangkauanmu.”“Kalau begitu saya bantuin kamu, ya?”“Istirahat saja, Men. Tunggu Tyana, aku tidak akan lama.”Omen mengangguk dan Saga pun pergi mencari kayu bakar. Ranting, daun kering, atau segala hal yang bisa j
Tyana hendak berpindah dari tempatnya untuk bergabung bersama Omen dan Sagara—duduk di depan api unggun. “Kamu bersandar saja di sini, Tya, jangan terlalu banyak gerak. Kondisi kaki kamu masih belum pulih.” “Aku ingin bergabung dengan kalian,” ngotot tak mau dilarang. “Bawa saja ke sini, Saga, daripada ngomel-ngomel lagi, kan.” Tyana mendelik sebal pada Omen dan tentu saja si rambut keriting itu langsung mengalihkan pandangannya takut. Saga memapah Tyana menuju api unggun, gadis itu didudukkan di antara Sagara dan Omen. Tak lupa Saga kembali menyampirkan jaketnya ke pundak Tyana. Omen menyaksikannya sambil berpangku dagu, dia merasa jadi kambing congek sendiri. “Kalian terlihat seperti sepasang kekasih, iya enggak, sih?” celetuk Omen membuat Tyana dan Sagara saling berpandangan. Tyana salah tingkah sedangkan Sagara menanggapinya dengan santai, hanya senyum tipis khas Sagara yang ia tunjukkan. “Tya tadi dengar enggak Saga ngomon