“Sebenarnya kita terperangkap di tempat apa ya, Ga? Hutan ini menyeramkan sekali, bahkan sampai ada babi hutan sebesar anak sapi. Apakah itu nyata? Tadi bukan hanya halusinasi saya saja, kan?”
“Aku dengar ini adalah hutan larangan, seharusnya kita tidak masuk ke sini.”
“Hah, hutan larangan? Kamu tahu dari mana?” tanya Omen sambil melangkah agak tertatih, dia baru sadar kalau ternyata kakinya juga terluka walau tak separah Tyana.
“Bukankah sudah jelas, tadi panitia juga mewanti-wanti kita untuk tidak pergi keluar jalur yang sudah ditentukan.”
“Sulit dipercaya, di wilayah kita ada hutan semacam ini. Saya merasa kita seperti terjebak di negeri asing, Ga.”
Sagara merapatkan bibirnya, nyatanya perasaan Omen memang tidak salah sama sekali. Mereka terjebak di negeri asing, negeri yang tak seharusnya dijamah manusia biasa seperti Omen dan Tyana.
“Tetaplah berpikir positif, Men, kita p
“Arghh—“ Sagara berdiri, terengah, menyingkirkan bebatuan yang mengubur tubuhnya. Dia melihat kobra tadi sedang berdiri tegak dan mengaung murka di depan dua sahabatnya.Ia ambil salah satu batu berukuran sedang, satu mata sang kobra sudah terluka. Sagara berencana melukai mata satunya lagi agar kobra raksasa itu kesulitan melawannya. Sagara berlari cepat dari tempatnya, begitu tiba di sisi incarannya, tak perlu menunggu waktu lama batu itu melayang bak kilat—menghantam tepat sasaran. Terdengar suara bola mata sang kobra yang pecah. Raungannya menggemparkan seisi gua. Tubuh Omen dan Tyana terkibas ekor kobra sampai terpelanting ke sudut gua.Ular itu meliuk kesakitan, ia bergerak tak tahu aturan kemudian mendapatkan Sagara dalam lilitannya. Walaupun tak bisa melihat, sang kobra masih bisa menemukan keberadaan pemuda sialan itu dari aromanya. Seperti yang dia katakan sebelumnya, aroma tubuh Sagara sangat kuat dan khas.“Aku akan memb
Setelah berjalan kurang lebih satu jam lamanya, Saga merasa suasana di sana terasa kondusif dan tidak ada tanda-tanda ancaman bahaya bagi mereka. Lelaki itu menurunkan Tyana di bawah pohon besar yang berdiri kokoh dengan daun rimbun. Ia melepas jaketnya dan diselimutkan pada Tyana yang masih pingsan. Sementara Omen menggelepar lemas di samping Tyana.“Kamu mau ke mana, Ga? Jangan tinggalkan kami,” refleks Omen bangun saat Sagara berjalan menjauhi mereka.“Aku mau cari kayu bakar. Sepertinya Tyana kedinginan.”“Hh, jangan jauh-jauh, Ga. Saya takut terjadi sesuatu lagi setelah kamu pergi.”“Aku akan mencari kayu bakar di sekitar sini. Tidak akan jauh dari jangkauanmu.”“Kalau begitu saya bantuin kamu, ya?”“Istirahat saja, Men. Tunggu Tyana, aku tidak akan lama.”Omen mengangguk dan Saga pun pergi mencari kayu bakar. Ranting, daun kering, atau segala hal yang bisa j
Tyana hendak berpindah dari tempatnya untuk bergabung bersama Omen dan Sagara—duduk di depan api unggun. “Kamu bersandar saja di sini, Tya, jangan terlalu banyak gerak. Kondisi kaki kamu masih belum pulih.” “Aku ingin bergabung dengan kalian,” ngotot tak mau dilarang. “Bawa saja ke sini, Saga, daripada ngomel-ngomel lagi, kan.” Tyana mendelik sebal pada Omen dan tentu saja si rambut keriting itu langsung mengalihkan pandangannya takut. Saga memapah Tyana menuju api unggun, gadis itu didudukkan di antara Sagara dan Omen. Tak lupa Saga kembali menyampirkan jaketnya ke pundak Tyana. Omen menyaksikannya sambil berpangku dagu, dia merasa jadi kambing congek sendiri. “Kalian terlihat seperti sepasang kekasih, iya enggak, sih?” celetuk Omen membuat Tyana dan Sagara saling berpandangan. Tyana salah tingkah sedangkan Sagara menanggapinya dengan santai, hanya senyum tipis khas Sagara yang ia tunjukkan. “Tya tadi dengar enggak Saga ngomon
“Sudah jam tujuh pagi tapi suasana di sini masih sangat gelap,” gumam Sagara mendongak berusaha mencapai langit dengan pandangannya namun gagal karena rimbunnya pepohonan yang ada di hutan larangan.Hawa pagi hari sangat dingin melebihi semalam, kabut menyebar—membalut satu pohon ke pohon lain. Sisa pembakaran semalam masih menghangatkan meski tak seberapa.Saga menoleh ke belakang, dua sahabatnya tertidur pulas. Ia berinisiatif membangunkan mereka. Saga guncang pelan tubuh Tyana dan Asep, mereka tak jua membuka mata. Ia coba upaya yang sama sekali lagi dan hasilnya masih belum berubah. Kepanikan menyerang, “Tyana, Omen, bangunlah!” kata Saga terus menerus.Saga mematung sesaat, ia kemudian menyentuh leher dua sahabatnya, merasakan tubuh mereka masih hangat Saga mengela napas lega. Anehnya dua orang itu tetap tak sadarkan diri meski sudah Saga guncang beberapa kali. Kondisi tidak wajar, seberat apa pun rasa kantuk seseorang mu
Tyana menggeliat, ia mengadaptasikan pandangannya lantas duduk lemas sembari meresapi nyeri di punggung. Aneh, dia hanya tidur tapi kenapa punggungnya sakit sekali seperti habis terbentur benda keras. Rupanya Tyana tak menyadari apa yang terjadi selama ia tertidur di bawah pengaruh embun pelelap.Tak lama setelah itu Omen juga bangun, ia mengucek matanya dan sedikit meringis. Merasakan hal serupa dengan Tyana. Setelah benar-benar sadar Omen kaget karena ia berpindah tempat."Loh, kenapa saya di sini? Apa saya tidur sambil jalan, Tya?"Tyana menatap Sagara tengah berdiri kaku di depan sana. Ia sudah memindai sekitar, Tyana yakin sesuatu yang buruk telah terjadi."Kamu juga ngigau sambil jalan, Tya? Kok bisa barengan, sih? Kita janjian di alam mimpi atau bagaimana?""Pohonnya tumbang, Men," gumam Tyana."Hah, pohon?" Omen langsung mengar
Rasanya seperti menemukan surga di tengah neraka. Omen dan Tyana larut dalam ketakjuban terindah yang pernah mereka alami dalam hidup. Gemericik air sungai, bebatuan besar yang tersebar di tengah aliran bening, dan kicau burung yang menyambut pagi dengan ceria. Segenap lelah dipaksa lenyap dalam hitungan detik, Omen berlari mendekati sungai. Membasuh wajahnya dengan air bahkan sampai menenggelamkan sebagian kepalanya. “Yuhuuu!” soraknya, “Airnya seger banget, sini buruan!” ajaknya heboh setelah merendam tubuhnya di aliran sungai yang dangkal. Saga tersenyum, ia saling pandang dengan Tyana lalu menuntun gadis itu mendekati sungai. Tyana duduk di pinggirnya, meregangkan kaki dan tanpa diduga Saga langsung membasuh kaki Tyana dengan air dingin itu. “A-aku bisa sendiri, Ga,” kata Tyana sedikit gugup. “Enggak apa-apa, takutnya kamu kesulitan menjangkau air jadi biar aku saja yang membasuh kaki kamu.” Tyana diam, Sagara semakin meresahkan dari hari
Beberapa waktu lalu ... Ambarwangi adalah suatu negeri yang ada di daratan Pasundan. Negeri itu terkenal oleh gemah ripah kekayaan alam dan seluruh rakyatnya pun sejahtera di bawah pimpinan raja agung nan bijaksana bernama Majapati. Sejak berabad-abad lalu, Ambarwangi selalu menjadi destinasi para pendatang karena keindahannya yang seperti taman surga. Samudra membentang luas mengelilinginya, pegunungan menjulang kokoh, persawahan menghampar di desa-desa. Bisa dikatakan negeri Ambarwangi adalah definisi dari keindahan dan kebahagiaan yang sebenarnya. Tapi semuanya berubah sejak raja Majapati jatuh sakit selama satu tahun lamanya. Tiba-tiba Ambarwangi didera paceklik panjang—gagal panen, kekeringan, wabah penyakit menular muncul, korban berjatuhan. Itu adalah tahun paling mengerikan yang pernah terjadi di sepanjang sejarah negeri Ambarwangi. Diduga raja Majapati telah terkena kutukan atas kesalahan yang bahkan belum diketahui jelas apa penyebabnya.
Duarr!“Ahhh!”Sebelum berhasil mencapai kapal lawan, kapal Sagara terguncang usai meriam bola api diluncurkan dan mengenai bagian samping kapal. Sagara dan Larasati juga terpental karena ledakan kuat meriam bola api itu. Tangan Sagara sedikit mendapat luka bakar karena kejadian itu.“Keadaan semakin tidak kondusif, kita harus memukul mundur pasukan!”“Tidak, kita tidak boleh mundur. Jika kita menyerah maka Ambarwangi akan terancam. Perketat keamanan dan sasar kapal lawan, SEKARANG!”“Tapi Gara, kau sudah terluka. Kita telah kalah jumlah dan—““Aku bilang serang mereka sekarang!”“Kita akan mati jika terus memaksakan diri,” tekan Larasati berharap Sagara mau mengikuti sarannya, mereka harus mencari cara lain agar bisa bertahan hidup dan tetap menyelamatkan raja Majapati.“Demi Ambarwangi, aku tidak takut mati!”Larasati mendesah ber