Setelah dirawat selama empat hari di rumah sakit, akhirnya Emilia diizinkan pulang. Kabar tersebut seperti menjadi penyegar bagi mereka setelah beberapa hari dibuat bosan karena terus menginap di ruangan beraroma medis tersebut. Isabella sengaja menghubungi Nathaniel, meminta bantuan pemuda tersebut agar menjemput mereka ke rumah sakit. Tak ada alasan khusus, Isabella hanya ingin bertemu dengan pemuda itu. Karena selama tiga hari terakhir, Nathaniel tak bisa menemani Isanella menjaga Emilia di rumah sakit karena harus bekerja.
Namun pagi ini, ketika Isabella menelpon dan mengatakan jika Emilia sudah diperbolehkan pulang— dan ia butuh bantuan untuk menyetir mobilnya, Nathaniel langsung mengatakan jika ia akan segera ke rumah sakit.
“Maaf sudah merepotkanmu belakangan ini, Nate,” kata Emilia ketika Nathaniel baru tiba di ruangan dan duduk di samping ranjang Emilia.
“Sama sekali tidak repot, Bibi,” jawab Nathaniel dengan senyuman hanga
Nathaniel berjalan mendekat pada lemari kabinet, lalu membukanya untuk mencari sarung tangan plastik. Setelah menemukannya, ia segera mengenakan sarung tangan itu dan melangkah mendekati kecoa yang masih berada di sudut ruang.Saat Nathaniel mendekat, kecoa tersebut bergerak gesit berlari kesana kemari, membuat Isabella menjerit ketakutan, “Huaaaa!!! Pergi! Pergi!!” Isabella lompat-lompat di tempatnya berdiri, terlihat sangat jijik melihat kecoa tersebut.“Isabella, ssstt... Sudah kubilang jangan bergerak,” tegur Nathaniel dengan suara pelan.“Maafkan aku, rasanya aku tidak bisa mengendalikan diri.” Isabella masih menggeliat jijik.Nathaniel menghela napas, kemudian kembali fokus pada kecoa yang masih berlarian di sekitar dapur, mencoba menangkapnya secepat yang ia bisa.Setelah drama kejar-kejaran yang cukup panjang dan melelahkan, akhirnya Nathaniel berhasil mencengkeram kecoa tersebut saat ada kesempatan. &ldq
Nathaniel mengangkat sebelah sudut bibirnya, tersenyum sinis, yang membuat Isabella merasa bingung akan maksud dari senyum itu. “Kau yang memulai ini, Isabella.”“Anggap saja begitu,” sahut Isabella. Waktu seakan berhenti berdetak saat keduanya saling berpandangan dari jarak dekat.“Kau menyukaiku, bukan?” tanya Isabella, dia meyakini itu, tapi masih membutuhkan validasi.“Kau terlalu percaya diri,” balas Nathaniel.“Bagaimana kalau kita buktikan?” Tangan Isabella bergerak, mengalungkan lengannya di leher Nathaniel.Nathaniel spontan meraih pinggang Isabella, keduanya siap saling menerkam satu sama lain, namun tiba-tiba saja terdengar suara langkah kaki mendekat, disusul dengan suara Emilia. “Isabella, kenapa lama sekali?”Emilia tiba-tiba muncul di dapur, membuat Nathaniel refleks mendorong tubuh Isabella hingga punggungnya membentur meja. “Aduh!”Sek
Isabella sibuk di dapur, perasaannya penuh harap. Pagi ini dia sedang memasak kari spesial untuk Nathaniel—pemuda yang selalu memenuhi pikirannya. Selama aktivitas memasaknya, bibir Isabella tak henti mengulas senyum, membayangkan jika kari spesial yang dibuat dengan cinta ini akan dinikmati oleh pujaan hatinya.Kini sudah seminggu setelah insiden hampir berciuman di dapur, Isabella makin yakin bahwa Nathaniel memiliki perasaan yang sama dengannya. Isabella hanya perlu menciptakan situasi seperti sebelumnya— berita bagusnya saat ini sudah tidak akan ada orang yang mengganggu karena ibunya sudah kembali ke Lavenham setelah kondisinya pulih sepenuhnya. Bukan berarti Isabella mengusir wanita itu hanya karena tidak ingin diganggu saat berniat mesra-mesraan dengan Nathaniel, Isabella hanya ingin Emilia aman dari gangguan Ayahnya.Setelah beberapa saat, kari yang dimasak oleh Isabella akhirnya matang, mengeluarkan aroma harum yang menguar di seluruh ruangan. Isab
Sore itu Isabella dan Nathaniel meninggalkan kantor BelleVue Book bersama-sama, langkah mereka seiring dengan semilir angin musim dingin yang sejuk.“Setelah ini aku masih harus ke kantor Evergreen Publishing, aku harus meeting untuk rencana perilisan buku 'The Labyrinth of Lies' yang terbit di sana,” ujar Isabella, suaranya terdengar bersemangat.Nathaniel mengangguk, “Oke. Sebelumnya selamat, aku yakin bukumu akan selalu sukses.”“Terima kasih,” jawab Isabella dengan senyum. “Apa kau mau ikut aku ke kantor Evergreen Publishing?”Nathaniel mengernyitkan dahi, mempertimbangkan tawaran Isabella. “Mau apa aku ke sana? Kau ingin mereka menindasku karena merebut penulis kesayangan mereka?”Isabella tertawa, menyadari kekhawatiran Nathaniel. “Jangan bilang kalau kau adalah editor BelleVue Book. Katakan kalau kau pacarku.”Nathaniel menggeleng sambil tersenyu
Isabella meninggalkan ruang pertemuan di penerbit Evergreen dengan rasa puas. Meeting telah berjalan lancar, dan ia merasa senang dengan hasilnya. Bersama Eleanor— editor yang telah mengurus naskahnya dengan baik, ia meninggalkan kantor menuju pintu keluar.“Semoga perilisan bukumu nanti berjalan lancar,” ucap Eleanor sambil menatap Isabella dengan penuh harap. “Untuk rencana tur promosi bukumu yang akan dilakukan di luar kota, kau bilang ingin mengajak seseorang. Sebenarnya siapa yang ingin kau ajak?”Isabella tersenyum, mata berbinar dengan pikiran yang melambung tinggi.Eleanor makin penasaran melihat Isabella hanya tersenyum-senyum sendiri. “Hei, bukannya jawab malah senyum-senyum,” tegurnya. Eleanor jadi teringat postingan Isabella di media sosialnya beberapa hari lalu. “Ah, apa kau ingin mengajak pemuda itu?”“Siapa maksudmu?” tanya Isabella, mencoba menutupi kegembiraannya.
Nathaniel menyimpan ponselnya di saku sesaat setelah mengakhiri panggilan dengan Isabella. Saat itulah, dia melihat Jane keluar dari pintu ruang pemeriksaan klinik dengan langkah pincang.Nathaniel segera menghampiri dan membantu memapah Jane. “Apa kata dokter?” tanya Nathaniel.“Tidak masalah, hanya luka sobekan kecil. Sudah dibalut dengan baik,” jawab Jane dengan senyum lebar, meredakan kekhawatiran Nathaniel.“Di mana rumahmu? Aku akan mengantarmu,” tawar Nathaniel.“Sungguh? Aku senang sekali kau meluangkan waktumu,” kata Jane dengan senang, menerima tawaran Nathaniel dengan antusias.Tanpa menunggu lebih lama, Nathaniel membimbing Jane berjalan keluar klinik. Begitu tiba di parkiran depan klinik, dia segera membukakan pintu mobil untuk Jane dengan sopan.Ada kamera berkedip di kejauhan, menangkap momen ketika Nathaniel membantu Jane masuk ke dalam mobilnya. Tanpa disadari, mereka menjadi o
Nathaniel merasakan jika situasi makin tidak wajar, dia menyadari bahwa daerah di sekitarnya makin sepi— terutama karena sudah larut malam. Dengan pertimbangan tersebut, Nathaniel memutuskan untuk menghentikan mobilnya dan menanyakan keadaan kepada Jane.“Jane, kau yakin tidak tersesat?” tanya Nathaniel dengan wajah penuh kekhawatiran.Namun, Jane hanya tertawa melihat keresahan Nathaniel. “Tidak sama sekali, Nate. Kita berada di arah yang benar. Baiklah, kurasa kita memang sudah sampai.”“Kurasa?” Nathaniel mengulangi ucapan Jane yang seolah tidak yakin. Namun Jane mengabaikan keheranan Nathaniel dan malah membuka pintu mobil. “Bantu aku turun,” pintanya.Nathaniel tak punya pilihan selain mengikuti permintaan gadis tersebut. Ia turun dari mobil dan bergegas melangkah ke arah Jane. Nathaniel segera membantu Jane keluar dari mobil, sementara gadis itu langsung mengalungkan tangan pada bahunya.N
“Kenapa aku harus panik? Kenapa juga kau terlihat panik? Kau takut sesuatu akan terjadi jika aku menginap di sini?” tanya Isabella dengan senyum nakal.Nathaniel berdeham. “Bisa dibilang begitu.”“Ayolah, Nate. Kau tidak perlu takut, lagipula apa yang kau takutkan? Kalau pun terjadi sesuatu, kau tidak akan dirugikan, jika ada yang hamil, itu akan terjadi padaku, bukan padamu,” Isabella langsung tertawa setelah mengatakan itu.Namun Nathaniel terlihat kesal mendengar candaan tersebut. “Hentikan itu, Isabella. Apa kau pikir anak yang terlahir dari hubungan seks bebas itu ingin dilahirkan? Tidak, Isabella. Dia tidak pernah ingin dilahirkan. Dia adalah pihak yang paling dirugikan, karena dia adalah korban yang sebenarnya.”Isabella terkejut dengan reaksi Nathaniel. Wajahnya seketika berubah sedih. Isabella mengerti kenapa Nathaniel bereaksi seperti itu, karena pemuda itu merupakan 'korban' itu sendiri.Su