Pintu kamar Edy takkan pernah terbuka kecuali jam sudah menunjukkan pukul tiga sore, tak peduli di hari kerja atau libur. Dan dia terbukti tak pernah betah bersantai di rumahnya pada sore di hari-hari libur. Aku mengetuk pintunya pada pukul satu siang, setelah menemani Hyunji berbelanja sepatu baru di butik yang hanya boleh dimasuki oleh orang-orang yang sudah membuat janji (bukan Lilac Anak Mama).
Lama Edy tidak membukanya, membuat pikiranku bebas berkelana membandingkan Bree dengan Hyunji dan betapa aku sadar bahwa kualitas manusia tidak boleh dibanding-bandingkan. Selalu ada daftar kelebihan untuk menambal compang-camping kelemahan. Tapi masalahnya, mereka berdua benar-benar wanita yang loyal. Bedanya, aku tidak harus membayar ganti pada Hyunji tapi aku masih harus membayar ganti pada Bree. Bukan karena aku lebih nyaman bersama Hyunji, melainkan karena adik Bree adalah teman sepermainanku. Dan aku tidak ingin terlihat seperti sedang memoroti kakaknya.
"Oh ya, Thomas, bisakah kita bicara sebentar?" Max tiba-tiba bangkit dari tidur ayamnya."Tidak bisa," jawab Bree. "Aku harus menunjukkan progres karya listrikku padanya.""Kalau begitu setelah itu.""Dia milikku malam ini.""Aku tidak salah dengar?" Philip tergelak. "Kau belum mencoba riesling dan spätburgunder kami, ya? Paman Hans menyembunyikannya di kamar Gesa. Kalian punya alasan untuk menyelinap pergi dari sini.""Scheiße!"kata Max dengan wajah datar. "Kenapa kau mendukungnya?""Siapa yang tidak ingin mendukungnya?"Bree menepuk tangan karena kegirangan dan melayangkan tinju pada Philip. Max menggeram frutasi di antara mereka. "Kenapa kalian berdua tidak ikut kami saja menemui teman-teman di teras depan sana?" Max mengulurkan tangan pada Philip. "Ayo!"Seperti kembar identik, merek
Daftar lima ratus kata prioritas yang Bree susun sudah rampung diterjemahkan ke bahasa Belanda. Sepanjang jalan menuju toko pakaian, Bree membaca ulang setiap kalimat di handphone-nya keras-keras dan memintaku untuk mengoreksi pengucapan yang salah. Kami tidak membeli pakaian renang khusus, terutama Bree, yang menyangkal segala ide yang berhubungan dengan berenang setengah telanjang di kolam renang hotel. Pertama-tama, kami harus pergi membeli pakaian murah untuk berenang agar pakaian panjang kami tidak basah.Berenang adalah olahraga kesukaan Bree. Berenanglah yang membuatnya dapat membentuk massa otot yang bagus dan juga jadi setinggi ini. Dia meliuk-liuk seperti cacing, mengibaskan kakinya ke kanan dan kiri dengan elastis seperti para duyung, dan mengapung menghadap langit seperti papan gabus. Keantusiasannya hampir membuatku tidak menyesali ketantrumanku kemarin kalau pada akhirnya aku bisa melihat Bree berenang dengan gembira seperti bocah
Ruangan di rumahku cenderung tidak berbau karena aku dan Edy tidak membeli pengharum ruangan, tidak memelihara hewan, tidak memiliki lilin aromaterapi berwarna pink, tidak merawat mesin espresso dan grinder biji kopi, dan juga tidak pernah memasak puding berbau buah-buahan. Paling-paling kamarku membangkitkan nostalgia yang kuat tentang hawa pegunungan karena bau jamur dari tumpukan pakaian yang belum sempat kubawa ke penatu."Bolehkah aku membawa baju kotor sekalian? Aku bakal menaruhnya di penatu.""Jeep Max sanggup mengangkut kulkas, jadi, ya, pasti bisa mengangkut baju kotor juga."Aku berjongkok pelan-pelan, berusaha untuk tidak memicu rasa ngilu di perutku. Untung bukan Victor yang meninjuku. Dia hanya menahan serangan orang dan memanfaatkannya untul membalikkan keadaan, seperti yang dia lakukan padaku di vila Sylvia setelah kejadian Lia. Tapi sejauh ini aku tidak pernah mendengar cerit
Pintu kembali terbuka dan Bree tiba-tiba merebut rokokku, mematikannya di batu andesit, mengangkat tubuhku ke kamarnya, menutup pintunya, lalu berteriak, "MAAFKAN AKU, THOMAS!" Aku menoleh ke luar, pada Victor dan Jake yang memelotot dengan takjub ke arah kami. "Turunkan aku. Bisakah mereka mendengarmu?" "Aku berteriak. Jadi, ya, mereka mungkin mendengarku. Dan, mereka juga bisa melihatmu." "Turunkan aku!" tuntutku. "Maafkan aku dulu. Dan aku akan menurunkanmu." Aku mendorong bahunya dan menendang-nendang untuk mencapai tanah, tapi Bree bergerak seperti sedang menari untuk menyeimbangkan tubuhnya. Pelukannya semakin erat. Akhirnya aku tertawa. "Bree, Ya Tuhan, turunkan aku! Terakhir kali aku merengek, Apollo 11 baru saja mendarat di bulan." "Berdasarkan keahlianku dalam membaca penanggalan, misi itu baru terjadi empat puluh delapan tahun yan
Konter kafetaria di kampusku tutup pukul tiga sore setelah menghabiskan stock paket makan siang mereka. Tapi banyak mahasiswa yang menggunakan meja-meja panjang kafetaria untuk mengerjakan tugas atau sekadar nongkrong massal. Apalagi teman-teman sejurusanku yang berjumlah tujuh puluh tujuh orang dalam satu angkatan. Kami membutuhkan tempat yang luas untuk bercengkerama dan kafetaria adalah salah satu pilihan terbaik selain halaman berumput di tengah-tengah gedung Fakultas Teknik.Bree menungguku di tangga aula kafetaria, merasa sungkan menginterupsi segerombolan anak Arsitektur yang kelihatan butuh tidur tapi tertawa-tawa begitu lantang. Segagah apa pun dirinya, Bree tetaplah seorang perempuan yang pasti merasa malu menjadi pusat perhatian para laki-laki asing.Dia menghela napas dan mengumpulkannya di dalam dada selama mungkin sebelum mengembuskannya. "Hanya ada sebelas perempuan di antara delapan puluh mahasiswa Aeronotika da
Aku mempercepat gerakan tanganku menghabiskan nasi campur, mendapat firasat buruk tentang reputasiku sebagai murid berprestasi yang sering dibicarakan di kantor dosen. Tapi, kemudian aku berpikir, Hyunji cantik. Dan dosen-dosen akan berpikir bahwa aku pantas mendapatkannya karena dia supercantik dan aku superpintar. Aku tidak perlu malu, kecuali Hyunji membuatku malu.Aku dan Mike pergi ke kantor dosen bersama karena Mike masih harus membicarakan tentang esai arsitektur dengan pembimbing akademiknya. Di sanalah dia duduk, di sofa abu-abu gerimis, menutupi celah di bawah roknya dengan dua telapak tangan. Hyunji muncul dalam balutan blus putih berlengan panjang dan rok hitam gingham ketat sepanjang betis. Pakaian tertutup yang tetap membuatnya terlihat seksi dan memukau. Rambut pirangnya disanggul di atas kepala sementara helai rambut yang lebih pendek mencuat di sana sini dengan cara yang malah membuatnya tampak semakin elegan. Hyunji me
Aku ditinggalkannya dalam keadaan cengo. Kausalitas berdasarkan verba yang tergantung pada subjek-subjek tertentu. Menunda tugas gambarku, selama beberapa menit selanjutnya sampai Bree tiba di kamarnya, aku memikirkan arti kalimat Junko. Aku menanyakannya pada Bree."Mari merunut satu persatu," katanya, meletakkan cangkir moccachino hangat yang baru di meja. "Oh, ya, aku mencoba tiga banding satu robusta banding arabika. Untuk menyeimbangkan rasanya agar menjadi moccachino seperti yang kau suka biasanya, aku mengganti dark chocolate dengan milk chocolate. Silakan dicicipi."Cokelatnya terlalu dominan sehingga rasanya lebih manis dari yang biasanya. Lidahku menyukai kelembutan teksturnya. Bahkan foam-nya pun seolah menyatu dengan likuid itu sendiri. Tapi aku tidak begitu menyukai makanan dan minuman yang terlalu manis."Terlalu manis? Hm, nanti kuco
Iring-iringan mobil sampai di rumah sewaan Hyunji pada pukul sepuluh malam. Bree bilang Max akan langsung menunggu di rumah baru Hyunji untuk ikut menurunkan barang-barang. Furniturnya tidak terlalu banyak, tapi hampir seluruhnya berukuran sangat besar. Termasuk kardus barang-barang kecil, kami mungkin hanya perlu dua putaran pengangkutan.Victor dibuat penasaran dengan hubunganku dan Hyunji. Baru kali ini dia melihat seorang wanita yang kecantikannya sangat tidak manusiawi."Hey, Timmy." Victor berbisik di luar pintu rumah. "Menurutmu kenapa kita bertiga sama sekali tidak bergairah saat melihat wanita semagis aurora sepertinya?"Karena ada wanita lainnya yang telah membuat kita otomatis menyimpan gairah itu di suatu tempat di dalam tubuh kita, yang hanya akan muncul oleh impuls dari wanita yang tepat. Sylvia untuk Victor, Junko untuk Jake, dan Bree untukku. Aku hanya menepuk bahu Victor dua kali sebagai jawaban, menyu