Kala rindu menguar, mendobrak paksa sekat-sekat tak kasat mata. Saat itulah aku menyadari cinta untukmu tak pernah mati.
***
Hari ini Felisya memang meminta Raka untuk mengantarnya ke kampus dan entah kenapa Raka mengiyakan. Bukan karena Felisya yang menjadi alasan, ataupun jadwal bertemu dengan dosen pembimbing yang memang bukan hari ini, melainkan dorongan lain yang pagi ini mengusik hati.
Dorongan itu disebabkan oleh gadis yang baru saja turun dari motor sport yang berhenti tepat di depan mobil Raka. Tangan Raka langsung mencengkeram erat setir saat ia melihat keakraban yang terjalin di antara dua manusia yang berlainan jenis itu. Saling te
Materi yang disampaikan dosen di depan kelas sedikit pun tidak menyangkut di otak Syila. Seharusnya buku catatan berisi tulisan-tulisan yang disalin dari whiteboard, nyatanya hanya coretan abstrak yang tercipta hasil dari melamun.Sebelah tangan menopang dagu, diliriknya sekilas penghuni kelas lain ternyata sudah tumbang, alias tertidur. Bukan rahasia umum jika dosen legend di depan—Pak Sam namanya—terkenal sangat membosankan. Biasanya Syila dengan senang hati akan menghayati dan mencatat semua materi yang disampaikan Pak Sam. Kali ini untuk pertama kalinya ia setuju dengan mahasiswa yang mengikuti kelas dosen tersebut, benar-benar membosankan.Momen di detik-detik terakhir usainya kelas adalah momen paling ditunggu-tunggu semua mahasiswa, tak terkecuali Syila. Helaan napas bersamaan dengan kepergian Pak Sam. Masih belum beranjak dari duduk, padahal teman-temanya sudah angkat kaki dan berebutan kelu
"Hei mas bro!"Aktivitas pada laptop terhenti. Ketika Fariz merangsek masuk tanpa izin. Ia memijit pelipis sejenak melihat ulah Fariz yang seenak jidat, membuatnya pusing."Hei, keluar!"Sekretaris Raka—Anggrekani—masuk. Wajahnya memerah, menahan kemarahan."Pak Raka, dia masuk seenaknya tanpa membuat janji terlebih dahulu!" ucapnya sambil menunjuk-nunjuk Fariz."Hei, gue udah buat janji, nona galak!" kilah Fariz cepat.Mata Anggrekani melotot tajam. ''Apa kau bilang—""Cukup!" potong Raka cepat. Tangan Raka terancung menghentikan konfrontasi mereka."Anggrekani kembali ke meja kamu. Sebelum itu buatkan tamu saya minuman. Segera!" lanjutnya memerintah."Baik, Pak!" ucapnya pasrah. Sebelum keluar, Fariz memberikan kedipan mata pada Anggrekani dan dibalas pelotot
Malam semakin larut. Namun, kesibukan di ibukota seolah tak pernah surut. Cahaya dari lampu-lampu berpijar mengalahkan indahnya cahaya bintang. Dinginnya semilir angin menembus pori-pori kulit, memaksa Syila merapatkan jaket. Tiba-tiba Alfa memberhentikan motor di tepian jalan. Tentu saja Syila mengernyit. Bukankah kos-kosannya masih jauh."Ada masalah?" tanya Syila sesaat ia turun dari motor Alfa.Alfa melepas helm dan tersenyum. "Ada.""Motornya ada masalah?"Alfa menggeleng. "Bukan motornya. Tapi kamu."Syila semakin dibuat bingung oleh ucapan Alfa. Dia merasa baik-baik saja, tapi sebenarnya ia tidak dalam keadaan baik-baik saja secara batin."Duduk." Alfa menjulurkan tangan, Syila meraihnya dan ikut duduk di trotoar jalan."Kok, kita di sini sih, Fa?" tanya Syila masih dalam mode bingung."Ingat nggak
Jikalau bahagia menghampiri, bolehkah aku berangan-angan di dalam kehampaan. Berharap lebih jika kau masih menggenggam kepingan hatiku. ***Awan mendung tak bisa lagi menahan beban. Akhirnya menyerah dan mengguyur bumi dengan derasnya. Kantin bukan pilihan tepat bagi mahasiswa untuk sekadar menghangatkan diri, tetapi masih ada segelintir mahasiswa memilih memesan minuman hangat termasuk Syila.Sejak tadi ia memandang hujan penuh minat, seakan hujan adalah hidupnya dan angin yang berembus adalah nyawanya. Kala hujan turun aroma petrichor menguar menusuk hidung, hingga membuatnya terhipnotis. Sebentuk wajah tiba-tiba hadir, bolehlah kali ini ia mengingat wajah rupawan itu. Membingkainya dengan kerinduan yang menggebu.Teh hangat yang ia pesan mulai mendin
Kehadiran Raka di kampus yang mendadak sukses membuat Syila terusik. Konsentrasinya terpecah. Sulit membangunnya kembali, sementara pikiran terpusat pada pertemuannya dengan Raka. Hal itu mengakibatkan ia mendapatkan teguran dari dosen dan terpaksa ia disuruh maju ke depan untuk mengulang materi yang disampaikan.Bagaimana ia bisa menjelaskan, bahkan tak ada satu pun hal yang ia tangkap dari apa yang disampaikan dosen. Karena hal itu dosen menyuruh Syila untuk keluar dari kelasnya.Dengan langkah berat, ia berjalan menyusuri sepanjang koridor. Ia melirik jam tangannya sudah menunjukkan pukul 11 siang. Sebaiknya ia pulang. Toh, tidak ada kelas berikutnya. Lagian juga ia merasa tidak enak badan.Jadi, sisa waktu sebelum sore bisa ia pergunakan untuk istirahat. Karena sorenya ia harus bekerja di Restoran Gorgeous dan membutuhkan tenaga lebih ekstra.“Syila!”
Julian mendesah lega. Setelah sekian lama ia meyakinkan pria bodoh itu, akhirnya ia sadar juga. Pesan terakhir yang ia terima dari pria bodoh itu membuat Julian menggelengkan kepala.Kasih gue pelayanan eksklusif. Begitulah isi pesan dari pria bodoh itu. Walaupun setelah sekian lama mereka bersahabat, Julian tetap masih sulit untuk mengerti jalan pikirannya. Pasti tidak lepas dengan kejutan-kejutan yang sulit ditebak.Sepertinya ia harus bersiap ke dapur dan mempersiapkan keinginan pria bodoh itu, jika tidak ingin rahasianya yang ia kubur sewaktu di New York terkuak. Lalu memikirkan cara yang tepat sebagai balasan yang setimpal bagi pria bodoh itu segera.Sebelum ke dapur, Julian melihat Syila sedang melayani seorang tamu. Ia memanggilnya sesaat setelah Syila selesai melayani dan kini berjalan menuju arah dapur.“Ya, Chef?”
Masih menggunakan pakaian koki, Julian masuk ke ruang kerjanya. Tak masalah baginya menyerahkan urusan dapur pada asisten, ia sudah sepenuhnya mempercayai kinerja mereka yang tak perlu diragukan lagi. Yang terpenting sekarang ialah bertemu dengan pria bodoh itu segera dan tak sabar mendengar apa yang akan disampaikan Raka padanya.“Gimana makan malamnya?” tanya Julian sambil mendaratkan tubuh ke sofa, tepat menghadap Raka.“Lumayan,” Raka menegakkan tubuh, sambil melemparkan senyum persahabatan.“Jadi—?” kata Julian menggantung. Mencari kepastian di kedua mata Raka.“Sorry untuk semua penyangkalan dan ketidakpercayaan gue sama lo. Gue terlalu buta untuk melihat kebenaran dan menghakimi Syila tanpa bukti. Pasti ulahku sangat menyakitinya. Membiarkan dia menanggung beban yang bukan kesalahannya adalah kebodohan gue yang tak termaafka
Nyatanya kenyataan menghantam sisi kesadaran. Bangunlah dari mimpi indah, sebelum semakin sulit melepaskan diri dari belenggu luka. ***Beberapa hari ini Syila merenung akan nasibnya yang jelas-jelas bukan ilusi semata. Banyak hal yang ia pikirkan di kamar kosnya yang tak seberapa luas. Menerawang sambil menatap langit-langit kamar. Kini senyumnya tak lagi palsu seperti yang selama ini ia tunjukan ketika bertemu orang. Melainkan senyum ketulusan dari hati terdalam.Sikap Raka yang berubah kala itu sedikit melambungkan harapan. Namun, kenyataan menohok batin. Mengembalikan kesadaran akan harapan semu. Syila tertawa miris, percuma berharap. Jika kenyataannya status dan kesenjangan ataupun masa lalu, merupakan jurang yang memisahkan antar keduanya."Syil?" Resti melon