Malam semakin larut. Namun, kesibukan di ibukota seolah tak pernah surut. Cahaya dari lampu-lampu berpijar mengalahkan indahnya cahaya bintang. Dinginnya semilir angin menembus pori-pori kulit, memaksa Syila merapatkan jaket. Tiba-tiba Alfa memberhentikan motor di tepian jalan. Tentu saja Syila mengernyit. Bukankah kos-kosannya masih jauh.
"Ada masalah?" tanya Syila sesaat ia turun dari motor Alfa.
Alfa melepas helm dan tersenyum. "Ada."
"Motornya ada masalah?"
Alfa menggeleng. "Bukan motornya. Tapi kamu."
Syila semakin dibuat bingung oleh ucapan Alfa. Dia merasa baik-baik saja, tapi sebenarnya ia tidak dalam keadaan baik-baik saja secara batin.
"Duduk." Alfa menjulurkan tangan, Syila meraihnya dan ikut duduk di trotoar jalan.
"Kok, kita di sini sih, Fa?" tanya Syila masih dalam mode bingung.
"Ingat nggak
Jikalau bahagia menghampiri, bolehkah aku berangan-angan di dalam kehampaan. Berharap lebih jika kau masih menggenggam kepingan hatiku. ***Awan mendung tak bisa lagi menahan beban. Akhirnya menyerah dan mengguyur bumi dengan derasnya. Kantin bukan pilihan tepat bagi mahasiswa untuk sekadar menghangatkan diri, tetapi masih ada segelintir mahasiswa memilih memesan minuman hangat termasuk Syila.Sejak tadi ia memandang hujan penuh minat, seakan hujan adalah hidupnya dan angin yang berembus adalah nyawanya. Kala hujan turun aroma petrichor menguar menusuk hidung, hingga membuatnya terhipnotis. Sebentuk wajah tiba-tiba hadir, bolehlah kali ini ia mengingat wajah rupawan itu. Membingkainya dengan kerinduan yang menggebu.Teh hangat yang ia pesan mulai mendin
Kehadiran Raka di kampus yang mendadak sukses membuat Syila terusik. Konsentrasinya terpecah. Sulit membangunnya kembali, sementara pikiran terpusat pada pertemuannya dengan Raka. Hal itu mengakibatkan ia mendapatkan teguran dari dosen dan terpaksa ia disuruh maju ke depan untuk mengulang materi yang disampaikan.Bagaimana ia bisa menjelaskan, bahkan tak ada satu pun hal yang ia tangkap dari apa yang disampaikan dosen. Karena hal itu dosen menyuruh Syila untuk keluar dari kelasnya.Dengan langkah berat, ia berjalan menyusuri sepanjang koridor. Ia melirik jam tangannya sudah menunjukkan pukul 11 siang. Sebaiknya ia pulang. Toh, tidak ada kelas berikutnya. Lagian juga ia merasa tidak enak badan.Jadi, sisa waktu sebelum sore bisa ia pergunakan untuk istirahat. Karena sorenya ia harus bekerja di Restoran Gorgeous dan membutuhkan tenaga lebih ekstra.“Syila!”
Julian mendesah lega. Setelah sekian lama ia meyakinkan pria bodoh itu, akhirnya ia sadar juga. Pesan terakhir yang ia terima dari pria bodoh itu membuat Julian menggelengkan kepala.Kasih gue pelayanan eksklusif. Begitulah isi pesan dari pria bodoh itu. Walaupun setelah sekian lama mereka bersahabat, Julian tetap masih sulit untuk mengerti jalan pikirannya. Pasti tidak lepas dengan kejutan-kejutan yang sulit ditebak.Sepertinya ia harus bersiap ke dapur dan mempersiapkan keinginan pria bodoh itu, jika tidak ingin rahasianya yang ia kubur sewaktu di New York terkuak. Lalu memikirkan cara yang tepat sebagai balasan yang setimpal bagi pria bodoh itu segera.Sebelum ke dapur, Julian melihat Syila sedang melayani seorang tamu. Ia memanggilnya sesaat setelah Syila selesai melayani dan kini berjalan menuju arah dapur.“Ya, Chef?”
Masih menggunakan pakaian koki, Julian masuk ke ruang kerjanya. Tak masalah baginya menyerahkan urusan dapur pada asisten, ia sudah sepenuhnya mempercayai kinerja mereka yang tak perlu diragukan lagi. Yang terpenting sekarang ialah bertemu dengan pria bodoh itu segera dan tak sabar mendengar apa yang akan disampaikan Raka padanya.“Gimana makan malamnya?” tanya Julian sambil mendaratkan tubuh ke sofa, tepat menghadap Raka.“Lumayan,” Raka menegakkan tubuh, sambil melemparkan senyum persahabatan.“Jadi—?” kata Julian menggantung. Mencari kepastian di kedua mata Raka.“Sorry untuk semua penyangkalan dan ketidakpercayaan gue sama lo. Gue terlalu buta untuk melihat kebenaran dan menghakimi Syila tanpa bukti. Pasti ulahku sangat menyakitinya. Membiarkan dia menanggung beban yang bukan kesalahannya adalah kebodohan gue yang tak termaafka
Nyatanya kenyataan menghantam sisi kesadaran. Bangunlah dari mimpi indah, sebelum semakin sulit melepaskan diri dari belenggu luka. ***Beberapa hari ini Syila merenung akan nasibnya yang jelas-jelas bukan ilusi semata. Banyak hal yang ia pikirkan di kamar kosnya yang tak seberapa luas. Menerawang sambil menatap langit-langit kamar. Kini senyumnya tak lagi palsu seperti yang selama ini ia tunjukan ketika bertemu orang. Melainkan senyum ketulusan dari hati terdalam.Sikap Raka yang berubah kala itu sedikit melambungkan harapan. Namun, kenyataan menohok batin. Mengembalikan kesadaran akan harapan semu. Syila tertawa miris, percuma berharap. Jika kenyataannya status dan kesenjangan ataupun masa lalu, merupakan jurang yang memisahkan antar keduanya."Syil?" Resti melon
Raka melirik Rolex yang melingkar di pergelangan tangan. Sesekali kakinya mengetuk-ngetuk lantai dengan tak sabar. Matanya menatap lurus ke arah pintu terminal kedatangan di bandara. Ia yakin jika jadwal kedatangannya adalah sekarang, akan tetapi satu jam telah berlalu, namun sepasang suami-istri-tepatnya orang tuanya-tak kunjung menampakkan diri. Alih-alih ia merasa kesal harus dibuat menunggu."Sebentar lagi," ujar Felisya sambil mengelus lengan Raka.Hanya gumaman tak jelas keluar dari mulut Raka. Selang beberapa detik, orang yang sedari tadi mereka tunggu, akhirnya muncul juga. Mata Raka tertumbuk pada kebahagiaan yang terpancar dari wajah kedua orang tuanya. Ia mendengkus kesal. Dugaannya selama ini tidak pernah meleset. Mereka pasti akan menceritakan hal paling romantis selama berada di tempat liburan setelah ini dan sengaja membuat Raka iri dengan keharmonisan yang mereka ciptakan."Lama sekali," kelu
Sejak dari tadi, Syila tak henti memperhatikan pergerakan Alfa yang tak lepas dari ponsel. Sibuk mengangkat telepon dan tampak kegusaran menghantui wajah Alfa.Sejak satu jam yang lalu, Syila telah berganti pakaian dengan kemeja dan jeans, bahkan sudah mengenakan sepatu flat, tinggal menunggu keduanya berangkat. Akan tetapi, Alfa meminta waktu sejenak untuk mengangkat telepon, namun sampai sekarang tak kunjung selesai. Satu telepon masuk selesai, datang telepon dari yang lain, sehingga Syila merasa sangat bosan."Fa, kalau kamu sibuk kita tunda saja jalan-jalannya," ujar Syila mulai bosan dengan sikap Alfa yang mengabaikan eksistensinya sejak tadi.Alfa menoleh. "Maaf." Ia mengusap wajah dan menatap Syila sendu."Ada apa?" Syila sangat khawatir dengan perubahan wajah Alfa yang tiba-tiba."Mama masuk rumah sakit. Baru saja Kak Aurel telepon," kata Al
Sejak aku melepasmu, jalanku telah lama tersesat, bagai terombang-ambing di laut tak bertepi. Namun, saat kau benar-benar tak mampu kujangkau lagi. Bukan hanya kakiku yang bergeming, enggan tuk melangkah, jiwaku pun ikut mati oleh rasa sesal yang menggelayut bersama air mata. ***Raka mengambil ponsel yang berdering di dalam saku kemeja. Padahal sudah dua kali ia mengabaikannya, karena kesibukannya sedang mengawasi pembangunan proyek jalan tol yang ditangani RH Group. Sehingga ia tak ingin siapa pun mengganggu kerjanya di lapangan.Merasa kesabarannya sudah berada di ambang batas, akhirnya ia putuskan untuk mengangkatnya. Ia mengernyitkan dahi saat suara Julian memberondong dengan pertanyaan, tanpa didahului salam.“Lo ada di mana sekarang?”