Sepanjang perjalanan, Felisya dan Raka terus berbicara dan sesekali tertawa bersama. Syila yang duduk di jok belakang mobil memandangi keakraban mereka. Sama sekali tidak mengajaknya ikut dalam perbincangan. Sepertinya ia cuma dijadikan obat nyamuk.
Tak apalah. Asalkan kakaknya bisa tersenyum bahagia dia juga turut bahagia. Ya, walaupun hubungan mereka tak seperti dulu setidaknya kakaknya tak sebenci saat di rumah sakit.
Felisya juga mulai mengajaknya bicara, meski tak sesering dulu. Menurut Syila itu sudah kemajuan yang baik untuk hubungannya dengan Felisya.
Tak terasa mobil telah sampai di parkiran sebuah taman hiburan. Raka langsung membantu Felisya keluar dari mobil. Syila juga turut keluar sambil membawa kruk. Setelah mengantri membeli tiket, berbagai wahana langsung tertangkap mata, ketika mereka memasuki taman hiburan itu.
Felisya terlonjak senang. “Aku mau naik roller coaster!”
“Enggak ingat kaki, heh?” Raka menyentil dahi Felisya.
Felisya cemberut. Ia mengusap bekas sentilan Raka. “Elah, lupa.”
Mereka tertawa bersama.
“Syila, mau naik apa?” tanya Raka dan pertanyaan Raka padanya barusan adalah yang pertama ia dengar semenjak di mobil tadi.
“Kak Feli gimana?” Syila mengalihkan pertanyaan pada Felisya. Ia cemas meninggalkan Felisya dalam keadaan seperti itu.
“Aku baik, kok. Kalau kamu mau naik wahana, naik aja,” ujar Felisya sambil tersenyum.
“Kamu enggak usah khawatir. Felisya biar aku yang jagain.”
Padahal perkataan Raka biasa saja di telinganya. Namun, hatinya entah kenapa mendadak terasa ganjil.
Syila mengangguk lalu tersenyum. “Aku mau mencoba semua wahana,” katanya bersemangat sambil merentangkan kedua lengan.
Raka dan Felisya pun tak bisa menahan gelak tawa melihat tingkah kekanakan Syila.
“Hati-hati,” pesan Raka sambil mengusap kepala Syila pelan. Syila pun mengangguk.
Setahunya jika naik wahana apa pun pasti akan terasa sangat menyenangkan. Namun, tidak bagi Syila. Ia merasa mood-nya memburuk. Hatinya mendadak sangat kesal, entah penyebabnya apa. Akhirnya, ia memutuskan untuk berhenti bermain wahana dan membatalkan rencananya untuk menaiki semua wahana.
Penjual es krim menarik perhatian. Ia memesan es krim rasa pisang coklat. Biasanya bad mood-nya akan berubah lebih baik seiring menjilati es krim tersebut.
Ia putuskan makan es krim sambil duduk di bangku yang disediakan, seraya menunggu Felisya dan Raka yang menghilang begitu saja entah ke mana.
Saat matanya mengarah ke arah jam sembilan, sebuah pemandangan menghentikan kegiatan Syila menjilati es krim. Dia yakin tadi mood-nya sudah membaik, tapi suasana hatinya kembali buruk ketika ia memandangi interaksi Felisya dan Raka, yang sedang bermain permainan menembaki bebek-bebekan.
Es krimnya sudah habis. Bersamaan dengan mood baiknya menghilang.
“Syil, lihat deh!” Felisya dan Raka datang menghampiri Syila.
“Kakak dikasih boneka sama Raka. Lucu deh. Tadi Raka nembak bebek-bebekan terus dia menang dapat boneka.''
Felisya memeluk boneka kelinci yang sangat besar berwarna putih. Kebahagiaan kentara terlihat di wajah Felisya. Syila tersenyum, tetapi itu bukan senyum bahagia lebih tepatnya miris. Diam-diam ia merasa iri.
*
“Makasih, ya Raka sudah mau mengajak Felisya jalan-jalan,” ucap Ranti.
“Iya, Tan. Maaf kalau pulangnya sampai malam.”
“Gak apa-apa. Tante malah senang lihat Felisya bahagia.” Kentara sekali kebahagiaan Ranti di wajahnya.
“Kalau begitu, saya pamit pulang dulu Tante. Om,” pamit Raka.
“Gak makan malam di sini?” tawar Anton.
“Enggak usah. Om, boleh Syila antar saya ke depan?”
Anton melirik anak bungsunya yang duduk di sampingnya. Sejak kepulangannya dari taman hiburan, Syila menampakkan wajah tertekuk dan tak sepatah kata pun terucap. Sebenarnya anak ini kenapa?
Anton mengusap kepala Syila. Syila terperanjat dan langsung menoleh. Ternyata ia sedang melamun.
“Anterin Raka ke depan. Dia mau pulang,” pinta Anto, lalu Syila terpaksa mengangguk.
Dengan malas, Syila bangkit dan menyusul langkah Raka keluar rumah. Syila mengantar Raka sampai ke mobilnya.
“Dari tadi diam aja, kenapa?” tanya Raka langsung ke inti.
“Aku enggak apa-apa,” jawab Syila sekenanya.
Raka mendengkus. “Gak apa-apa gimana, kamu diam aja dari tadi.”
Raka tahu. Instingnya sangat tajam jika mengenai penyebab keterdiaman Syila. Namun, dia diam saja sebab dia ingin Syila sendiri yang mengungkapkan alasannya pada Raka.
“Aku tahu kamu bohong.” Raka merendahkan suara sehingga terdengar mengancam. Jika sudah begitu Syila sulit mengelak.
“Aku ... aku lagi seriawan,” jawab Syila asal.
Alis Raka terangkat. “Jawaban macam apa itu?”
“Katanya Kakak mau pulang, udah malam ini,” elak Syila mengalihkan topik seraya mendorong punggung Raka.
“Aku tidak akan pulang sebelum kamu menjawab pertanyaanku dengan jujur.”
Tak ada cara lain bagi Syila selain menjawab dengan jujur perasaannya yang tak tahu apa artinya itu pada Raka. Sebab cowok itu tak akan berhenti mengintimidasi sebelum mendapatkan apa yang dia inginkan.
Syila mengembuskan napas. “Aku juga tidak tahu pasti. Rasanya aneh aja. Tiba-tiba mood-ku berubah buruk saat Kakak mengabaikanku. Hatiku rasanya hampa, Kak dan aku tidak tahu penyebabnya apa,” tukas Syila frustrasi.
“Sudah cukup.” Penjelasan Syila barusan membuat perasaan Raka berbunga-bunga. Dan semakin yakin akan isi hatinya.
“Kamu ternyata masih bocah, ya?” Raka menepuk kepala Syila. Syila menepis tangan Raka. Dia tak suka jika Raka menepuk kepalanya dan menganggapnya seperti anak kecil.
“Tutup matamu,” pinta Raka.
“Kenapa aku harus menutup mata?” tanya Syila polos.
“Apa susahnya, sih menutup mata? Kecuali kalau aku menyuruhmu berlari keliling komplek baru kamu boleh bertanya,” ucap Raka tak sabar.
Syila kesal jika sifat menyebalkan Raka muncul mendadak. Dia segera menutup mata, malas berdebat dengan Raka. Ia merasakan sesuatu yang dingin menyentuh lehernya.
“Buka matamu.”
Syila terkejut ternyata sesuatu yang dingin menyentuh kulit lehernya adalah sebuah liontin warna silver berbentuk bulan sabit dan bintang kecil di tengahnya.
“Cantik. Ini ...?” gumam Syila sambil menunjuk pada liontin itu dan menatap Raka dengan pandangan bertanya.
“Ketika aku memandang bulan dan bintang, aku langsung teringat padamu. Kamu sama seperti mereka. Keindahannya begitu nyata, tak peduli malam semakin gelap atau awan mendung yang bergelayut di sekitarnya. Mereka akan tetap bersinar sekalipun matahari jauh lebih terang cahayanya,” ungkap Raka tanpa melepas pandangannya pada mata Syila.
“Kamu harus berjanji jaga liontin itu baik-baik jangan sampai hilang.”
Syila mengangguk. Dengan cepat Raka memeluk tubuh Syila erat. “Sepertinya hatiku tidak bisa berpaling dari yang lain.”
Syila mendongak tidak mengerti dengan ucapan Raka.
“Kamu benar-benar bocah, ya?”
Syila memukul dada bidang Raka, cukup keras karena kesal. Raka terkekeh. Tidak merasa kesakitan sama sekali. Ia menangkap tangan Syila sehingga pergerakannya terhenti.
“Tapi aku menyukainya,” bisik Raka di telinga Syila. Membuat bulu kuduk Syila meremang seketika dan entah kenapa hatinya berdesir hebat.
Hidup dalam bayang-bayang masa lalu, mungkin terasa menyakitkan hingga untuk bernapas pun sulit. Namun, sanggupkah untuk mengelak, sementara hidup harus terus berjalan?***"Syil."Resti menyenggol lengan Syila cukup keras hingga pekerjaannya menata kursi terganggu dengan kehadiran Resti di sampingnya. Ia melempar ekspresi kesal, sedangkan Resti nyengir lebar."Dari tadi Chef Julian ngeliatin kamu terus," goda Resti sambil memainkan alisnya naik turun.Benar saja saat pandangan Syila menangkap sosok itu, pria itu sedang mengamatinya dengan menyilangkan kedua tangan di dada. Rasanya Syila mulai jengah."Apaan, sih Res," ucap Syila sebal. Kembali ia melanjutkan pekerjaannya menata kursi."Baru kali ini lho, aku lihat Chef Julian mandangin cewek seintens itu." Resti masih belum menyerah untuk terus menggoda.
Keesokan harinya, sebuah mobil Range Rover hitam terparkir tak jauh dari gerbang kos-kosan. Kedatangannya menarik perhatian penghuni kos lainnya yang sebagian besar wanita. Bisik-bisik mulai terdengar saat pemilik mobil itu keluar.Seorang pria blasteran, berkemeja biru dongker, memakai celana jeans dan kacamata hitam bertengger di hidungnya yang mancung. Menambah kadar kemaskulinan sang lelaki hingga membuatnya menjadi dambaan kaum hawa. Apalagi garis rahang yang membingkai wajah serta cambang yang membuat siapa pun yang melihatnya tak akan mampu menahan decakan kekaguman.Saat lelaki itu membuka kacamata hitamnya, tak terelakkan lagi teriakan demi teriakan tertahan dari gadis-gadis yang sengaja mencuri kesempatan menarik perhatian si lelaki. Sayangnya, ia tak mengindahkan.Yang ia pedulikan adalah sesosok tubuh mungil keluar dari gerbang. Rambutnya yang tergerai mempercantik penampilannya yang hanya memakai
Teramat dalam luka yang tertoreh, hingga kepercayaan pun sukar 'tuk tergenggam.***Sepasang kekasih itu melangkah penuh percaya diri. Tak peduli jika mereka menjadi pusat perhatian semua orang. Kemesraan yang mereka ciptakan, membuat semua orang diam-diam merasa iri. Secara keduanya memiliki fisik yang sempurna. Cantik dan tampan. Wajar jika mereka semua merasa iri melihatnya. Seolah keduanya memang sengaja diciptakan sebagai sepasang kekasih yang sempurna.Keduanya sudah terbiasa mendapatkan tatapan itu selama satu tahun hubungan mereka berlangsung. Berjalan bersama di tempat umum, saling berpegangan tangan tanpa niatan untuk melepaskan adalah momen romantis yang sering mereka tunjukkan di depan umum.Pandangan iri dari orang-orang itu terputus, tatkala sepasang kekasih itu masuk ke sebuah toko perhiasan. Langsung saja mereka disambut oleh seorang wanita cantik."Hai, Felisya.
Sudah sepuluh menit Resti berdiri di depan kamar Syila. Berkali-kali ia mengetuk pintu kamarnya. Namun, tak ada respons. Semenjak kepulangan Syila, Resti merasa ada yang tidak beres dengan Syila. Ia ingin bertanya pada Syila apa yang sudah terjadi padanya. Namun, pertanyaannya tak sempat ia ucapkan. Pasalnya, Syila langsung mengurung diri dan tak mau keluar.Lamat-lamat ia mendengar suara tangisan tertahan dari dalam. Resti menghentikan aksi mengetuk pintu. Ia sadar jika Syila butuh waktu untuk menyendiri dan sekarang bukan waktunya ia untuk bertanya. Mungkin nanti jika Syila sudah merasa tenang."Bagaimana?" tanya Julian.Semenjak ia mengikuti taksi yang membawa Syila pergi dari Cafe Orchid, rasa khawatir terus melanda Julian. Ia takut jika Syila kenapa-kenapa makanya ia terus mengikuti taksi itu. Julian sangat lega ternyata Syila pulang ke kos-kosannya dan sekarang ia menyusul Resti karena ia tak sabar menunggu di luar. Hanya untuk
Seberapa keras pun kamu menghapus rasa cintamu terhadapnya, tetap akan sia-sia. Sekalipun berhasil tetap masih ada cinta yang tertinggal.***Sejak kejadian di Cafe Orchid, Syila berubah menjadi sosok yang sangat dingin dan sulit tersentuh. Resti menyadari perubahan itu. Masa lalu Syila memang mengubahnya menjadi gadis yang jarang tersenyum, datar dan sedikit bicara.Kali ini Syila sudah sangat keterlaluan. Dia membangun benteng tak kasat mata yang berdiri kokoh dan sulit tertembus oleh siapa pun. Bahkan, Resti tidak melihat ada sinar kehidupan sedikit pun di kedua bola mata Syila. Seolah raganya hidup, namun jiwanya telah mati.Syila semakin jarang mengajak Resti mengobrol. Itu pun ia lakukan jika ia membutuhkan sesuatu atau bertanya soal tugas kuliah. Selebihnya, Syila memendamnya sendiri. Resti
Entah apa yang membawanya berada di depan Restoran Gergeous. Mungkin, satu hal yang ia tahu bahwa hatinya penuh dengan perasaan ambigu. Antara percaya dan tidak. Pikirannya juga penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang akhir-akhir ini mulai mengganjal.Tarikan napas adalah hal yang pertama ia lakukan untuk meyakinkan diri bahwa jawaban atas pertanyaannya ada di sini. Setelah ia yakin dengan keputusannya adalah tepat, ia melangkah, memasuki restoran itu.Seorang laki-laki yang menjabat sebagai manajer restoran datang menghampiri. Manajer itu sangat mengenal baik sosoknya."Selamat datang, Pak Raka. Ada yang bisa saya bantu?" sapa manajer itu dengan ramah."Aku ingin bertemu langsung dengan Julian. Dia ada?" ucap Raka datar."Tentu. Beliau sedang berada di ruang kerjanya di lantai tiga.""Bisa kau antar aku ke ruangannya?""Silakan ikuti say
Mungkin kamu telah melepasku. Membiarkan mata hatimu tertutup oleh kabut dusta. Namun, biarlah aku tetap meraihmu sekalipun kau memilih tuk pergi menjauh. ***Uh!Kalau saja Resti tidak melarikan diri setelah kelas usai, Syila tidak akan membawa terlalu banyak buku tebal yang ia pinjam di perpustakaan kampus sebagai referensinya untuk mengerjakan tugas makalah.Ia pasti menyuruh Resti untuk membantu membawakannya dan jika Syila bertemu dengan Resti nanti, dia pastikan sahabatnya itu akan mendapatkan balasannya nanti.Karena sibuk merutuki sahabatnya itu, tanpa sadar ia menabrak seseorang. Akibatnya buku-buku di tangannya jatuh berserakan di lantai koridor. Syila menunduk. Memungut buku-bukunya satu per satu tanpa melihat siapa yang ia tabrak.“Maaf ...
Meski cinta terlalu menyakitkan, akankah tetap menyalahkannya sekalipun kata maaf terbuka lebar. Tetap saja akan sulit jika hatimu telah mematikan dirinya sendiri. *** Langit memperlihatkan warna biru memukau mata. Tak kalah birunya dengan deburan ombak yang saling berkejar-kejaran seirama arah angin yang berembus. Embusannya menerbangkan helaian rambut panjang milik seorang gadis cantik yang kini sedang menatap penuh kekaguman pada ombak pantai yang jarang ia lihat. Kaki telanjangnya tenggelam dalam butiran halus pasir putih. Lalu tak lama ombak menghantam bagian betisnya. Ia tertawa merasakan rok motif bunga-bunganya basah terkena air laut. Tak jauh dari tempat gadis itu berdiri, seorang laki-laki seumuran dengannya sedang duduk mengamati tingkah si gad