Hidup dalam bayang-bayang masa lalu, mungkin terasa menyakitkan hingga untuk bernapas pun sulit. Namun, sanggupkah untuk mengelak, sementara hidup harus terus berjalan?
***
"Syil."
Resti menyenggol lengan Syila cukup keras hingga pekerjaannya menata kursi terganggu dengan kehadiran Resti di sampingnya. Ia melempar ekspresi kesal, sedangkan Resti nyengir lebar.
"Dari tadi Chef Julian ngeliatin kamu terus," goda Resti sambil memainkan alisnya naik turun.
Benar saja saat pandangan Syila menangkap sosok itu, pria itu sedang mengamatinya dengan menyilangkan kedua tangan di dada. Rasanya Syila mulai jengah.
"Apaan, sih Res," ucap Syila sebal. Kembali ia melanjutkan pekerjaannya menata kursi.
"Baru kali ini lho, aku lihat Chef Julian mandangin cewek seintens itu." Resti masih belum menyerah untuk terus menggoda.
Syila berusaha tidak menggubris omongan Resti yang semakin menggelikan di telinganya.
"Aku bisa merasakan gelombang longitudinal cinta tak kasat mata merambat di ruangan ini."
Syila menggeleng. Geli, mendengar istilah yang dipakai Resti. Sepertinya dia akan semakin ngawur jika tidak dihentikan.
"Ngaco! Cepat sana kerja. Mau kamu dipecat?"
Pipi Resti menggembung. Kesal tentunya mendapatkan ancaman seperti itu. Syila yang melihatnya hanya bisa tertawa.
"Ehem!"
Suara dehaman seseorang yang berdiri tepat di belakang mereka menghentikan tawa. Syila dan Resti refleks menengok ke belakang. Hal pertama yang mereka lakukan adalah pura-pura kembali membersihkan meja dan kursi.
Julian ingin tertawa melihat tingkah mereka yang canggung dan lucu di matanya. Tetapi sebagai atasan, ia harus menjaga wibawa dengan baik. Cukup senyum simpul yang berhasil terbit menghiasi bibirnya.
"Kok, berhenti? Saya tidak akan memecat seseorang hanya karena ucapannya yang menggelikan. Tapi saya suka istilah kamu. Gelombang longitudinal." Julian menggerakkan jari, gestur menciptakan tanda kutip ketika ia menyebutkan kalimat gelombang longitudinal.
Wajah Resti yang merah padam gagal ia sembunyikan. Kegiatan membersihkan meja terganti dengan tangan yang meremas-remas kain lap. Malu, satu kata yang menggambarkan dirinya saat ini.
"Karena kamu sudah membuat saya senang hari ini, saya naikkan gajimu bulan ini dua kali lipat," tandas Julian.
Mata Resti berbinar-binar. Mendengar kenaikan gaji, ia langsung membayangkan dompetnya menebal seketika. Tas yang menjadi incarannya selama berbulan-bulan sebentar lagi akan beralih ke tangannya segera. Tak sabar rasanya menunggu waktu itu tiba. Syila yang melihatnya hanya mendengkus.
"Syil, kamu ada waktu besok?" tanya Julian mengalihkan perhatiannya pada Resti.
"Kenapa Chef bertanya seperti itu?" tanya Syila heran.
"Temani saya mengambil pesanan di butik."
"Kenapa harus saya?" tanya Syila polos.
Julian mengangkat sebelah alis. "Memang kamu ada alasan untuk menolak?" Julian balik bertanya dengan pertanyaan lain.
"Saya kuliah, Chef." Syila beralasan.
"Besok kita libur, kan Syil. Masa kamu lupa," celetuk Resti.
Syila melotot pada Resti. Sengaja ia berbohong pada Julian karena tak ingin terlalu dekat dengan orang-orang yang pernah mengenalnya sebelumnya. Ia takut masa lalunya diketahui oleh Julian dan terlebih lagi usaha untuk melupakan masa lalu yang selama ini ia lakukan akan terbuang sia-sia.
"Alasan apa pun yang kamu katakan, tidak akan mengubah keputusan saya," putus Julian final.
Satu hal yang membuat Syila langsung teringat akan bagian masa lalunya. Yaitu sikap otoritas Julian sama percis menyebalkannya dengan lelaki yang pernah mengisi hatinya, Raka. Mengingat nama itu, hati Syila kembali koyak. Lekas, ia mengusir bayangan Raka yang berkelebat menari di benaknya.
"Kalau begitu saya akan mengantar kalian pulang," sela Julian.
Raut Syila menegang. Berbeda dengan Resti yang langsung semringah seperti mendapatkan rumah berharga satu miliar.
"Tidak usah, Chef. Kami bisa pulang sendiri," tolak Syila halus.
"Dengan senang hati, Chef. Mana mungkin kami menolak kebaikan Chef Julian yang tampan." Resti cepat menimpali tanpa memedulikan pelototan dari Syila.
Julian terkekeh mendengar ucapan Resti.
Tak tahu malu, batin Syila.
"Kalau begitu kalian bersiap-siaplah dan kita ke mobil saya setelah itu."
***
"Terima kasih, Chef. Sudah repot-repot mengantar kami," ucap Resti ketika ia dan Syila berdiri di depan gerbang kos-kosan mereka.
"Sama-sama."
Resti menyenggol lengan Syila. Syila mengernyit saat Resti melotot. Gerakan bibir Resti tertangkap Syila dan dia mendengkus, sebab mengerti maksud Resti ialah memintanya untuk berterima kasih juga pada Julian.
Sebenarnya ia masih gondok dengan ulah Resti. Pertama, mengatakan sejujurnya jika ia tak kuliah besok dan tak punya alasan untuk menolak permintaan Julian. Kedua, mengiyakan ajakan Julian untuk mengantar mereka pulang dan yang terakhir, Resti memaksanya duduk di depan tepat di samping Julian. Merasa tak perlu lagi bingung dengan aksi modus yang dilancarkan Resti, karena mengetahui aksinya sengaja mendekatkan Syila dan Julian. Dan Syila tak ambil pusing. Dirinya lebih memilih bungkam, ketimbang masuk dalam obrolan seru yang didominasi Julian dan Resti.
"Terima kasih, Chef," ucap Syila setengah hati.
Julian mengangguk, lalu bertanya, "Aku pernah bilang belum kalau di luar jam kerja tidak boleh bersikap formal?"
Syila menggeleng. Heran dengan pertanyaan Julian.
"Kalau begitu aku melarangmu untuk bersikap formal padaku di luar jam kerja."
Syila mengangguk. Ia berbalik membuka gerbang. Gerakannya terhenti saat Julian berkata, "Siapa yang menyuruhmu pergi? Aku belum mendengar kamu mengulanginya dengan bahasa nonformal."
Syila memutar mata malas. Menyebalkan. Resti terkikik geli melihat tingkah lucu keduanya.
"Terima kasih, Kak Ian. Kalau begitu kami masuk dulu." Tak lupa Syila memberikan senyum yang terkesan aneh karena dipaksakan.
Julian mengangguk lalu tersenyum.
"Hati-hati, Chef!" ucap Resti menambahkan, seraya melambaikan tangan.
Julian mengamati keduanya masuk ke dalam lingkungan kos-kosan. Ia masih belum menyalakan mesin. Ada sesuatu yang ia pikirkan. Ia meraih ponsel di saku celana. Tangannya dengan lincah mencari nomor di kontak. Lalu ia tempelkan pada telinga, tak butuh waktu lama seseorang di seberang sana mengangkatnya.
"Syila setuju. Aku harap kalian bisa berbaikan lagi."
"Terima kasih, aku tidak tahu dengan cara apa meminta maaf pada Syila, selain lewat bantuan Kak Julian."
"Aku melakukannya karena kalian bersahabat sebelumnya dan Demi Syila, aku ingin sedikit membantu kesulitannya."
"Aku tidak salah meminta bantuan padamu."
Julian mematikan telepon. Ia menatap kos-kosan itu sejenak sebelum menyalakan mobil dan pergi dari sana.
Sementara itu, Syila meninggalkan Resti yang berlari menyusul di belakangnya. Ia membuka pintu kos dan segera pergi ke kamar, merebahkan diri di atas kasur. Sengaja mengunci kamar agar Resti tidak masuk ke kamarnya seenaknya, sebab ia masih dongkol dengan ulah Resti tadi.
Dari dalam, ia mendengar jelas sindiran Resti. Bantal yang menutup kedua telinga pun tak membantu banyak.
"Senangnya hari ini. Dapat kenaikan gaji dua kali lipat plus diantar pulang lagi sama bos paling tampan sedunia. Hahaha ... Mimpi apa aku semalam. Beruntungnya diriku."
"Syil?" panggil Resti sambil mengetuk pintu.
Tak ada respons.
"Tapi kamu yang paling beruntung. Bisa jalan berdua sama Chef Julian besok. Aku bisa merasakan kalau Chef Julian suka sama kamu," goda Resti.
Pemikiran apa itu, teriak Syila dalam hati.
"Kak Ian, hem ... Sejak kapan kamu sama Chef Julian jadi adik kakak. Haha ... bentar lagi jadi ayang babe." Tawa Resti makin meledak-ledak.
"Kalau mulutmu nggak bisa diam. Aku ogah masakin kamu sampai kita lulus kuliah!" ancam Syila.
Resti bungkam, sejenak berpikir. Selama ini ia menggantungkan diri dalam hal mengisi perut pada Syila. Sebab ia tak bisa masak. Namun, sekarang jika Syila tak mau memasakkan makanan lagi untuknya, bukanlah hal buruk.
"Tak masalah. Aku dapat kenaikan gaji. Aku bisa beli nasi uduk di warung Bu Iyem," balas Resti santai.
Argg! Syila frustrasi.
***
Keesokan harinya, sebuah mobil Range Rover hitam terparkir tak jauh dari gerbang kos-kosan. Kedatangannya menarik perhatian penghuni kos lainnya yang sebagian besar wanita. Bisik-bisik mulai terdengar saat pemilik mobil itu keluar.Seorang pria blasteran, berkemeja biru dongker, memakai celana jeans dan kacamata hitam bertengger di hidungnya yang mancung. Menambah kadar kemaskulinan sang lelaki hingga membuatnya menjadi dambaan kaum hawa. Apalagi garis rahang yang membingkai wajah serta cambang yang membuat siapa pun yang melihatnya tak akan mampu menahan decakan kekaguman.Saat lelaki itu membuka kacamata hitamnya, tak terelakkan lagi teriakan demi teriakan tertahan dari gadis-gadis yang sengaja mencuri kesempatan menarik perhatian si lelaki. Sayangnya, ia tak mengindahkan.Yang ia pedulikan adalah sesosok tubuh mungil keluar dari gerbang. Rambutnya yang tergerai mempercantik penampilannya yang hanya memakai
Teramat dalam luka yang tertoreh, hingga kepercayaan pun sukar 'tuk tergenggam.***Sepasang kekasih itu melangkah penuh percaya diri. Tak peduli jika mereka menjadi pusat perhatian semua orang. Kemesraan yang mereka ciptakan, membuat semua orang diam-diam merasa iri. Secara keduanya memiliki fisik yang sempurna. Cantik dan tampan. Wajar jika mereka semua merasa iri melihatnya. Seolah keduanya memang sengaja diciptakan sebagai sepasang kekasih yang sempurna.Keduanya sudah terbiasa mendapatkan tatapan itu selama satu tahun hubungan mereka berlangsung. Berjalan bersama di tempat umum, saling berpegangan tangan tanpa niatan untuk melepaskan adalah momen romantis yang sering mereka tunjukkan di depan umum.Pandangan iri dari orang-orang itu terputus, tatkala sepasang kekasih itu masuk ke sebuah toko perhiasan. Langsung saja mereka disambut oleh seorang wanita cantik."Hai, Felisya.
Sudah sepuluh menit Resti berdiri di depan kamar Syila. Berkali-kali ia mengetuk pintu kamarnya. Namun, tak ada respons. Semenjak kepulangan Syila, Resti merasa ada yang tidak beres dengan Syila. Ia ingin bertanya pada Syila apa yang sudah terjadi padanya. Namun, pertanyaannya tak sempat ia ucapkan. Pasalnya, Syila langsung mengurung diri dan tak mau keluar.Lamat-lamat ia mendengar suara tangisan tertahan dari dalam. Resti menghentikan aksi mengetuk pintu. Ia sadar jika Syila butuh waktu untuk menyendiri dan sekarang bukan waktunya ia untuk bertanya. Mungkin nanti jika Syila sudah merasa tenang."Bagaimana?" tanya Julian.Semenjak ia mengikuti taksi yang membawa Syila pergi dari Cafe Orchid, rasa khawatir terus melanda Julian. Ia takut jika Syila kenapa-kenapa makanya ia terus mengikuti taksi itu. Julian sangat lega ternyata Syila pulang ke kos-kosannya dan sekarang ia menyusul Resti karena ia tak sabar menunggu di luar. Hanya untuk
Seberapa keras pun kamu menghapus rasa cintamu terhadapnya, tetap akan sia-sia. Sekalipun berhasil tetap masih ada cinta yang tertinggal.***Sejak kejadian di Cafe Orchid, Syila berubah menjadi sosok yang sangat dingin dan sulit tersentuh. Resti menyadari perubahan itu. Masa lalu Syila memang mengubahnya menjadi gadis yang jarang tersenyum, datar dan sedikit bicara.Kali ini Syila sudah sangat keterlaluan. Dia membangun benteng tak kasat mata yang berdiri kokoh dan sulit tertembus oleh siapa pun. Bahkan, Resti tidak melihat ada sinar kehidupan sedikit pun di kedua bola mata Syila. Seolah raganya hidup, namun jiwanya telah mati.Syila semakin jarang mengajak Resti mengobrol. Itu pun ia lakukan jika ia membutuhkan sesuatu atau bertanya soal tugas kuliah. Selebihnya, Syila memendamnya sendiri. Resti
Entah apa yang membawanya berada di depan Restoran Gergeous. Mungkin, satu hal yang ia tahu bahwa hatinya penuh dengan perasaan ambigu. Antara percaya dan tidak. Pikirannya juga penuh dengan pertanyaan-pertanyaan yang akhir-akhir ini mulai mengganjal.Tarikan napas adalah hal yang pertama ia lakukan untuk meyakinkan diri bahwa jawaban atas pertanyaannya ada di sini. Setelah ia yakin dengan keputusannya adalah tepat, ia melangkah, memasuki restoran itu.Seorang laki-laki yang menjabat sebagai manajer restoran datang menghampiri. Manajer itu sangat mengenal baik sosoknya."Selamat datang, Pak Raka. Ada yang bisa saya bantu?" sapa manajer itu dengan ramah."Aku ingin bertemu langsung dengan Julian. Dia ada?" ucap Raka datar."Tentu. Beliau sedang berada di ruang kerjanya di lantai tiga.""Bisa kau antar aku ke ruangannya?""Silakan ikuti say
Mungkin kamu telah melepasku. Membiarkan mata hatimu tertutup oleh kabut dusta. Namun, biarlah aku tetap meraihmu sekalipun kau memilih tuk pergi menjauh. ***Uh!Kalau saja Resti tidak melarikan diri setelah kelas usai, Syila tidak akan membawa terlalu banyak buku tebal yang ia pinjam di perpustakaan kampus sebagai referensinya untuk mengerjakan tugas makalah.Ia pasti menyuruh Resti untuk membantu membawakannya dan jika Syila bertemu dengan Resti nanti, dia pastikan sahabatnya itu akan mendapatkan balasannya nanti.Karena sibuk merutuki sahabatnya itu, tanpa sadar ia menabrak seseorang. Akibatnya buku-buku di tangannya jatuh berserakan di lantai koridor. Syila menunduk. Memungut buku-bukunya satu per satu tanpa melihat siapa yang ia tabrak.“Maaf ...
Meski cinta terlalu menyakitkan, akankah tetap menyalahkannya sekalipun kata maaf terbuka lebar. Tetap saja akan sulit jika hatimu telah mematikan dirinya sendiri. *** Langit memperlihatkan warna biru memukau mata. Tak kalah birunya dengan deburan ombak yang saling berkejar-kejaran seirama arah angin yang berembus. Embusannya menerbangkan helaian rambut panjang milik seorang gadis cantik yang kini sedang menatap penuh kekaguman pada ombak pantai yang jarang ia lihat. Kaki telanjangnya tenggelam dalam butiran halus pasir putih. Lalu tak lama ombak menghantam bagian betisnya. Ia tertawa merasakan rok motif bunga-bunganya basah terkena air laut. Tak jauh dari tempat gadis itu berdiri, seorang laki-laki seumuran dengannya sedang duduk mengamati tingkah si gad
Kilasan itu langsung hadir begitu saja. Seakan waktu sengaja membawanya kembali ke masa dua tahun silam. Ia memejam, mencoba mengusir kenangan menyakitkan itu.Saat matanya perlahan terbuka. Ia dihadapkan dengan kenyataan yang lebih menyakitkan dari kenangannya yaitu sosok nyata dari Alfa. Berdiri di depan gerbang kampus sambil menatap Syila dengan penuh pengharapan.Tubuh Syila kaku. Ia memalingkan wajah dan menerobos mahasiswa lain yang juga keluar dari kampus. Tak peduli protes dari mereka yang tanpa sengaja Syila tabrak.“Syil!”Suara Alfa terus berteriak memanggil namanya. Langkah Syila semakin cepat karena ia tahu Alfa pasti mengejarnya.Sejak dari tadi Alfa sengaja menunggu Syila keluar dari gerbang kampus. Tujuannya adalah satu, yaitu berbicara padanya dan menyelesaikan masalah di antara mereka. Ia tahu itu akan sulit. Namun, ia h