“Siapa?”
Lydia bisa mendengar suara perempuan ketika pintu kamar hotelnya terbuka. Itu adalah Mary. Lydia sangat yakin akan hal itu karena dia sudah menghapal suaranya dengan baik. Mungkin karena dia terus kepikiran. “Kau?” Mary terlihat terkejut saat melihat Lydia. “Untuk apa kau ke sini?” Diluar dugaan Mary terlihat marah. Itu membuat Lyida makin yakin kalau suaminya ada di dalam kamar hotel itu. “Aku ke sini mencari seseorang,” gumam Lydia pelan. “Dia tidak ada di sini. Sebaiknya kau pergi,” hardik Mary tak berniat membuka pintu lebih lebar dari sejengkal. Perempuan itu bahkan tidak mau keluar. Walau menyangkal, tapi jawaban itu sudah menjelaskan semuanya. Mary yang awalnya tidak tahu siapa Lydia, kini tiba-tiba bersikap defensif. Itu artinya perempuan itu mengenali Lydia sebagai ancaman dan satu-satunya orang yang bisa memberitahu Mary hanya Reino.“Lydia, anakku.” Clarissa langsung memeluk menantunya saat datang. “Kamu ke mana saja, Sayang? Mama khawatir loh.” “Maaf, Ma. Tadi tiba-tiba pengen keluar, jadi aku ajak Pak hadi.” Lydia tersenyum pelan. “Kebetulan Mama gak pakai mobil, jadi aku yang pakai.” “Ya.” Clarissa mengangguk. “Mama tadi memang pakai ojek online biar cepat. Gak tahunya kamu malah hilang.” “Maaf.” Hanya itu saja yang bisa dikatakan Lydia pada ibu mertuanya. Reino yang tadi hanya sempat menggeramkan satu kalimat memilih diam saja sejak tadi, namun siapapun bisa tahu kalau lelaki itu sedang marah. Sayangnya Lydia memilih untuk acuh. Perempuan yang tengah hamil muda itu, berjalan melewati suaminya untuk mencapai ranjang. Dia merasa lelah dan merasa perlu minimal berbaring dulu. Setelahnya dia siap menghadapi Reino. “Bicaralah dengan lembut. Dia sedang hamil muda dan sensitif.” Tahu kalau putra dan mantunya perlu bicara berdua, Clarissa memberi nasihat pada sang putra, sebelum meninggalkan ruangan. Namun se
[Lydia Andersen: Bagaimana cara tahu tentang hubungan darah ayah dan anak selain tes DNA?] Alih-alih berkonsultasi dengan suami, keluarga atau dokter, Lydia memilih untuk menghubungi para sahabat baiknya. Tentu dia melakukan itu ketika Reino sudah tertidur di atas sofa bed yang disediakan rumah sakit. [Vanessa Cerewet: Kenapa kau tiba-tiba bertanya soal itu?] [Vanessa Cerewet: Apa Reino selingkuh dan punya anak di luar nikah?] [Erika Jayantaka: Atau dia sudah pernah punya anak diluar nikah?] [Cinta Brawijaya: Jangan bilang ada perempuan yang datang dan mengaku punya anak dari suamimu?] Pertanyaan datang secara beruntun. Itu membuat Lydia cukup senang karena masih ada yang memperhatikannya. Bahkan Cinta yang kebetulan terbangun karena bayinya menangis pun, menyempatkan diri membalas chat. Mereka sempat membicarakan itu, sebelum Lydia menjawab kalau tebakan Ci
“Apa yang kau maksud?” tanya Clarissa pada anaknya dengan mata membulat terkejut. “Jadi begini.” Reino menggaruk tengkuknya yang tidak gatal itu dengan gugup. Ya. Reino sudah menceritakan semuanya sesuai permintaan sang istri, namun kini dia harus mengulanginya lagi. Baru Clarissa yang mendengar, tapi itu sudah cukup membuat Reino babak belur. “Dasar anak brengsek,” maki Clarissa sambil melayangkan tas tangan mahalnya ke tubuh sang putra. “Auw, Ma. Sakit.” Reino memekik karena itu memang cukup sakit, apalagi dia terkena bagian yang terbuat dari besi. “Dasar anak tidak berguna. Itu akibatnya kalau kau mendengar orang tuamu.” Clarissa terus memukul tanpa ampun. Dia masih tak puas memarahi anaknya, sampai keributan itu didengar keluar. “Permisi, saya mau cek infusnya.” Seorang perawat masuk dengan wajah meringis. Sesungguhnya tak ada yang perlu dicek, tapi perawat itu perlu masuk untuk melerai pertengkaran. Untung saja tanpa diberi teguran, Clarissa berhenti memukuli anakny
“Lydia, apa yang kau …” Ucapan Reino terpotong ketika sang istri memintanya diam, dengan menaikkan telapak tangan. Bukan hanya meminta suaminya diam, tapi tangan Lydia yang satunya ikut bergerak menutup mulut. Perutnya tiba-tiba saja berputar dan asam lambungnya terasa naik sampai kerongkongan. Dia ingin muntah. “Sayang?” Reino mendekat dengan wajah khawatir. Tanpa bisa berkata-kata, Lydia bergegas mengangkat tiang infusnya. Berat, tapi dia perlu segera ke kamar mandi untuk mengeluarkan isi perutnya. “Lydia.” Reino segera mengikuti dengan wajah panik, diikuti oleh tatapan Mary dan Clarissa. Mary beranjak masuk, tanpa dipersilakan. Dia melewati Clarissa yang tampak tak senang, bahkan sudah memaki. Namun perempuan itu seolah tuli dan pergi melihat Lydia dan Reino. Di dalam kamar mandi yang lebih luas dari kamar mandi di ruang rawat inap biasa, Reino memegan
Reino tersenyum puas menatap kertas yang dia terima pada keesokan paginya. Lelaki itu bersedia membayar mahal, hanya untuk mempercepat proses tes DNA yang diminta sang istri dan hasilnya sesuai harapan. Anak Mary bukanlah anak Reino. Itu sangat melegakan, tapi tentu tidak untuk perempuan itu. Dia kini bingung dengan identitas ayah dari anaknya, sayangnya Reino tak peduli. “I ... ini pasti salah,” Mary tergagap saat menyanggah. “Maaf, Bu. Hasil tes ini akurat dan hasilnya negatif.” Seorang pria berjas lab menjelaskan. Entah dia dokter atau hanya petugas medis saja. “Kau.” Tiba-tiba saja Mary menunjuk Lydia. “Kau pasti membayar rumah sakit ini untuk memalsukan ini kan.” “Perlu kau ketahui, bukan aku yang membayar, tapi Reino.” Tentu saja Lydia akan balas menghardik. Dia pemenangnya di sini. Mary kemudian menatap Reino. Pria itu jelas tidak mau lagi berurusan dengan perempuan seperti mantannya itu. Perempuan yang dengan mudahnya berselingkuh ketika masih berstatus pacar. Reino yan
“Mama. Pak Hadi.” Lydia memanggil dengan tatapan kaget luar biasa. “Apa yang kalian lakukan berdua di sini?” “Lydia?” Liani refleks menarik tangannya yang digenggam oleh Hadi, menggunakan tangan yang tidak terluka. “Pak Reino dan Mbak Lydia kok ada di sini?” Kini giliran Hadi yang bertanya dengan nada canggung. Dilihat seperti bagaimanapun, dua orang yang tengah duduk dan terlihat canggung itu sedang berkencan. Masalahnya sekarang adalah sejak kapan 2 orang itu berkencan. Hal lainnya yang membuat Reino tercengang adalah kenapa harus mertuanya bersama Hadi. Demi Tuhan, Hadi itu pengawal pribadinya. Pegawai Reino Andersen dan ini hal yang sama sekali tidak lucu. “Apa yang kalian lakukan di sini?” Reino bertanya setelah keterkejutannya sedikit hilang. “Kami ... kami kebetulan bertemu.” Liani yang menjawab dengan sangat gugup. “Aku tiba-tiba ingin makan es krim dan melihat Pak Hadi, jadi kamu duduk bersama.” “Tiba-tiba ingin makan es krim?” tanya Lydia dengan kedua alis menjungkit
Reino masuk ke rumah dengan langkah sangat gusar. Dia tak segan membanting pintu mobil dan pintu kamar, walau itu berpotensi membuat Lydia terkejut. Untung saja rumah sedang kosong, jadi pria itu tak mendapat omelan dari sang mama. Sayangnya, Reino tidak akan lolos dari omelan. Tidak ada Clarissa, maka Lydia yang akan mengomeli suaminya itu. “Ada apa sih denganmu?” tanya Lydia menutup pintu kamar dengan lebih pelan. “Kau bertanya ada apa dennganku?” Reino melotot dengan suara yang meninggi. “Harusnya kau menanyakan itu pada ibumu.” “Memangnya kenapa dengan Mama? Tidak ada yang aneh dengannya.” Lydia mengedikkan bahu dengan santai, seolah tidak tahu apa yang dipikiran suaminya. “Dia berkencan dengan Hadi,” hardik Reino dengan nada suara yang sudah sedikit lebih rendah, tapi tetap saja merasa marah. “Lalu apa yang salah dengan itu?” tanya Lydia pura-pura bingung. “Apa Pak Hadi orang yang sudah beristri.” “Kau tahu dia belum menikah.” Reino kembali menghardik dengan gusar. Pria i
"YANG BENAR SAJA" Kenzo berteriak dengan suara yang cukup besar. "Mama mau menikah lagi?" Suara Kenzo sedikit mengecil setelah dipelototi sang kakak. "Ada yang salah dengan itu?” Lydia yang bertanya. Saat ini, kebetulan keluarga kecil itu tengah berkumpul di rumah Lydia sebelum menikah. Lydia yang menjadwalkan semua itu karena memang ingin membicarakan hal ini. Kenzo pun harus tahu soal ibunya yang sudah punya pacar. “Salah karena lelaki sialan itu tidak pernah datang ke sini. Bagaimana mungkin aku tidak marah ketika lelaki pengecut itu tidak pernah menampakkan batang hidungnya di depanku "Kenzo. Jaga mulutmu. Liani tentu saja menegur. "Hadi tidak seperti itu. Dia pria yang baik. Lagi pula Mama yang meminta untuk tidak memberitahu kalian dulu.” "Itu artinya Mama tidak serius dengannya. Kalau serius, kenapa dia tidak berani menemuiku? Kenapa tidak pernah memperkenalkannya secara resmi? tanya Kenzo membuat sang ibu terdiam. Itu adalah hal yang tidak salah. "Bagaimana mungkin aku