"Aku seperti remaja yang kembali dimabuk cinta, Nia. Aku tahu ini salah, sebab dia masih sah menjadi suami perempuan lain. Namun aku juga kasihan dengannya apalagi jika dalam rumah tangganya memang tak ada cinta. Lagipula, istrinya juga masih memendam rasa dengan cinta pertamanya.Aku tersedak mendengar cerita Irena. Betapa Mas Bian terlalu memutar balikkan fakta. Padahal jelas, sejak menikah aku tak pernah berhubungan lagi dengan Mas Reza kecuali hari ini dia tiba-tiba mengirimkan pesan, tapi aku tak membalasnya. "Lantas gimana, Iren? Kamu tetap ingin bersama cinta pertamamu itukah?" Aku masih menunggu jawabN darinya sebab Irena mendadak terdiam."Awalnya nggak. Namun perhatian dan cintanya akhir-akhir ini tak bisa kutolak. Aku memang masih sangat mencintainya, Nia. Dan jam tangan ini pun kado spesial darinya kemarin, tepat di tanggal kelahiranku." Hatiku kembali mencelos. Rasanya begitu sakit, saat aku tak pernah meminta apapun darinya bahkan jikalaupun meminta sesuatu tak pernah m
Irena tak membahas soal Rizqi dan kerinduannya pada sosok ayah. Entah, sepertinya Irena keceplosan bicara sebab setelah aku menanyakan lebih lanjut, dia berusaha mengalihkan pembicaraan. Seolah tak ingin aku tanya banyak hal tentangnya. Sebelum pulang dari rumah Irena, aku sengaja foto bersama. Kelak akan kubuat Mas Bian tak bisa berkutik dengan foto ini. Aku yakin saat ini dia masih berusaha mencari cara untuk bicara denganku tentang rencananya bersama Irena. Dia pasti sedang kebingungan, sebab memilih Irena akan membuatnya kehilangan tiga wanita sekaligus. Namun jika tak memilih perempuan itu, jelas dia seperti membuang kesempatan yang baru saja hadir di depan mata. Pulang dari rumah Irena, kulihat mobil Mas Bian sudah parkir di garasi, sementara mobil mama ada di depan rumah tepatnya di tepi jalan. Mama memang bilang sore ini akan mengurus sertifikat restoran itu untuk Irena, sebab aku sudah berulang kali mengirimkan foto-foto dan rekamanku bersama perempuan itu pada mama. Aku
"Aku ingin bicara denganmu, Nia. Cukup serius dan mungkin harus berdua saja," ucapnya lagi. Aku kembali menghela napas. Yakin sekali jika Mas Bian akan membahas soal rencana pernikahannya dengan Irena. Meski aku sudah siap dengan segala resiko yang ada, tetap saja ada rasa sesak dalam dada. Mungkin karena aku masih sah istrinya, kalau tidak, pasti sudah beda cerita. "Bukankah ini sudah bicara berdua, Mas? Ngomong saja di sini. Nggak ada masalah, kan?" "Malam minggu saja di Cafe Bianglala. Lebih nyaman ngobrol berdua di luar, biar Irena sama mama," ucap Mas Bian kemudian lalu meninggalkanku sendirian di ruang keluarga. Laki-laki yang menikahiku empat tahun lalu itu melangkah menuju kamar dan menutup pintunya rapat. Aku tak tahu apa yang ada dalam benak Mas Bian saat ini. Kupejamkan mata perlahan sembari menyandarkan punggung ke sofa. Empat hari lagi mungkin Mas Bian akan menjatuhkan talaknya padaku, sebab dia pasti lebih memilih Irenanya. Mereka terlalu dimabuk cinta sampai tak ped
Sore ini adalah sore yang berbeda. Biasanya Mas Bian tak terlalu peduli dengan waktu yang semakin beranjak petang, tapi kali ini kutahu dia sangat gelisah dan tak tenang.Aku tahu gerak-gerik Mas Bian dari pagi memang cukup resah. Bolak-balik ke gazebo dan ke kamar dengan wajah kusut seperti menanggung beban. Mungkin dia masih berusaha menyusun cara untuk mengungkapkan semua isi hatinya padaku nanti. Seperti janjinya tempo hari jika malam ini dia akan mengajakku ke cafe bianglala. Tinggal menunggu beberapa jam saja. Entah mengapa detik ini aku jauh lebih tenang dibandingkan hari-hari sebelumnya. Aku anggap, tak ada harapan lagi untuk bersama. Jadi sekarang lebih ke tahap mengikhlaskan saja. Tak mau ambil pusing. Aku tak ingin mematahkan hatiku sendiri mendapati kenyataan bahwa dia jauh lebih memilihnya. Sebab itulah keputusanku semakin bulat untuk mundur dan merelakan dia bersamanya. Meski begitu, aku tetap melayaninya sepenuh hati. Tak ada yang berbeda meski sikap-sikapnya padaku
"Kamu dan dia sengaja ketemuan?" Pertanyaan Mas Bian membuatku menoleh. Kutatap kedua matanya yang menyiratkan rasa curiga dan cemburu. Namun, laki-laki itu mencoba mengelak dengan membuang pandangan. "Nggaklah. Memangnya kamu yang suka ketemuan sama mantan? Aku, mama dan Irena memang pernah nggak sengaja ketemu dia. Tapi tenang saja, Mas. Aku sangat menghargai pernikahan dan statusku sebagai istri. Nggak mungkin tergoda sama mantan apalagi kalau cuma dihadiahi tas branded atau jam tangan branded. Aku nggak semurah itu, Mas." Lagi-lagi Mas Bian membulatkan kedua matanya. Bola mata itu melirik ke kanan kiri. Sepertinya dia cukup kaget dan merasa tersindir. Baguslah. Tak adalagi pertanyaan darinya. Mas Bian lebih memilih pergi ke belakang. Seperti biasanya dia pasti menyendiri di gazebo. Gegas kuambil ponsel di kamar dan membaca pesan-pesan yang masuk di sana. Benar saja, dari pagi Mas Bian memang sibuk dengan Irena. Bahkan saat ini pun mereka tengah asyik bertukar pesan. Sepertinya
"Bukan begitu, Nia. Ibu selalu mengizinkanmu dan Irena menginap kapan saja di rumah ini. Hanya saja ibu merasa kamu dan Bian ada sesuatu. Tak seperti biasanya Bian mengizinkanmu pulang sendiri, kan? Maafkan ibu, Nia. Bian nggak memiliki perempuan lain di luar sana, kan?" Pertanyaan ibu membuatku tersedak seketika. "Ibu, jangan mikirin soal itu. Nanti tensi ibu naik lagi. Pokoknya yang penting Nia dan Irena bahagia, iya, kan?" Ibu terdiam sejenak lalu menghela napasnya. Tak lama setelahnya, ibu tiba-tiba memelukku begitu saja. "Jangan menutupi sesuatu dari ibu, sebab ibu tahu apa yang kamu rasa, Nia. Cerita saja jika memang ada yang perlu diceritakan."Ibu melepaskan pelukannya perlahan, berharap aku menceritakan semua yang terjadi padanya. Namun aku masih tetap dengan rencanaku semula, akan menceritakan dan memberikan semua bukti itu nanti setelah semua usai. Jika sekarang, ibu dan mama pasti memintaku untuk bertahan. Kuyakin mereka tak mengizinkanku berpisah dengan Mas Bian. Yang a
Sepanjang jalan, kucoba menyusun kalimat demi kalimat untuk membuat Mas Bian shock berat. Setidaknya agar kekagetannya sama sepertiku saat tahu ternyata dia masih menyimpan semua kenangan bersama mantannya itu dalam hatinya. Saat aku tahu dia masih begitu mencintai perempuan di masa lalunya bahkan berniat menceraikanku hanya demi dia. Biar saja dia kaget, saat tahu aku bukan perempuan lemah yang begitu mencintainya. Bukan pula ibu rumah tangga biasa yang tak punya penghasilan apa-apa. Sekitar empat puluh menit aku sampai di cafe bianglala, seperti yang Mas Bian rencanakan. Mobil suamiku itu ternyata sudah parkir di sana. Kulihat jam di tangan menunjuk angka tujuh lebih tiga puluh menit. Tak terlalu terlambat menurutku. Gegas kumasuki cafe dengan mengucap Basmallah. Laki-laki itu terlihat gusar di kursi paling ujung, dekat jendela. Sesekali melihat arlojinya lalu mengusap layar ponselnya. Entah. Mungkin dia sudah mengirimiku pesan sedari tadi. Atau dia bertukar pesan dengan Irena. Ak
Malam ini, aku cukup lega sebab mampu membayar rasa sakitku pada laki-laki dan perempuan itu. Mas Bian yang sebelumnya memandangku penuh kasihan, kini berbalik aku yang memandangnya kasihan. Rencana yang dia pikir begitu spesial dan akan membuatku terkejut, kini justru dia yang kubuat kaget. Mas Bian selalu merasa paling berjasa dalam hidupku dan Irena. Dia merasa nyaris sempurna karena memberikan kehidupan sangat layak untuk keluarga kecilnya. Bahkan menganggapku sebelah mata hanya karena sebagai ibu rumah tangga. Kini aku yakin dia cukup tertohok dengan kata-kata singkat yang kuucap sebagai pamungkasnya. Aku yang ternyata memiliki penghasilan yang jauh lebih besar tanpa dia ketahui sebelumnya. Jadi, tak seharusnya dia merasa sesempurna itu sebagai seorang ayah ataupun suami, sebab dia hanya laki-laki biasa. Laki-laki yang cacat hati dan cintanya hingga tak layak mendapatkan cinta tulus yang kupunya. Mas Bian pasti masih tak percaya jika aku bisa membuatnya seperti ini. Aku yang