Sore ini adalah sore yang berbeda. Biasanya Mas Bian tak terlalu peduli dengan waktu yang semakin beranjak petang, tapi kali ini kutahu dia sangat gelisah dan tak tenang.Aku tahu gerak-gerik Mas Bian dari pagi memang cukup resah. Bolak-balik ke gazebo dan ke kamar dengan wajah kusut seperti menanggung beban. Mungkin dia masih berusaha menyusun cara untuk mengungkapkan semua isi hatinya padaku nanti. Seperti janjinya tempo hari jika malam ini dia akan mengajakku ke cafe bianglala. Tinggal menunggu beberapa jam saja. Entah mengapa detik ini aku jauh lebih tenang dibandingkan hari-hari sebelumnya. Aku anggap, tak ada harapan lagi untuk bersama. Jadi sekarang lebih ke tahap mengikhlaskan saja. Tak mau ambil pusing. Aku tak ingin mematahkan hatiku sendiri mendapati kenyataan bahwa dia jauh lebih memilihnya. Sebab itulah keputusanku semakin bulat untuk mundur dan merelakan dia bersamanya. Meski begitu, aku tetap melayaninya sepenuh hati. Tak ada yang berbeda meski sikap-sikapnya padaku
"Kamu dan dia sengaja ketemuan?" Pertanyaan Mas Bian membuatku menoleh. Kutatap kedua matanya yang menyiratkan rasa curiga dan cemburu. Namun, laki-laki itu mencoba mengelak dengan membuang pandangan. "Nggaklah. Memangnya kamu yang suka ketemuan sama mantan? Aku, mama dan Irena memang pernah nggak sengaja ketemu dia. Tapi tenang saja, Mas. Aku sangat menghargai pernikahan dan statusku sebagai istri. Nggak mungkin tergoda sama mantan apalagi kalau cuma dihadiahi tas branded atau jam tangan branded. Aku nggak semurah itu, Mas." Lagi-lagi Mas Bian membulatkan kedua matanya. Bola mata itu melirik ke kanan kiri. Sepertinya dia cukup kaget dan merasa tersindir. Baguslah. Tak adalagi pertanyaan darinya. Mas Bian lebih memilih pergi ke belakang. Seperti biasanya dia pasti menyendiri di gazebo. Gegas kuambil ponsel di kamar dan membaca pesan-pesan yang masuk di sana. Benar saja, dari pagi Mas Bian memang sibuk dengan Irena. Bahkan saat ini pun mereka tengah asyik bertukar pesan. Sepertinya
"Bukan begitu, Nia. Ibu selalu mengizinkanmu dan Irena menginap kapan saja di rumah ini. Hanya saja ibu merasa kamu dan Bian ada sesuatu. Tak seperti biasanya Bian mengizinkanmu pulang sendiri, kan? Maafkan ibu, Nia. Bian nggak memiliki perempuan lain di luar sana, kan?" Pertanyaan ibu membuatku tersedak seketika. "Ibu, jangan mikirin soal itu. Nanti tensi ibu naik lagi. Pokoknya yang penting Nia dan Irena bahagia, iya, kan?" Ibu terdiam sejenak lalu menghela napasnya. Tak lama setelahnya, ibu tiba-tiba memelukku begitu saja. "Jangan menutupi sesuatu dari ibu, sebab ibu tahu apa yang kamu rasa, Nia. Cerita saja jika memang ada yang perlu diceritakan."Ibu melepaskan pelukannya perlahan, berharap aku menceritakan semua yang terjadi padanya. Namun aku masih tetap dengan rencanaku semula, akan menceritakan dan memberikan semua bukti itu nanti setelah semua usai. Jika sekarang, ibu dan mama pasti memintaku untuk bertahan. Kuyakin mereka tak mengizinkanku berpisah dengan Mas Bian. Yang a
Sepanjang jalan, kucoba menyusun kalimat demi kalimat untuk membuat Mas Bian shock berat. Setidaknya agar kekagetannya sama sepertiku saat tahu ternyata dia masih menyimpan semua kenangan bersama mantannya itu dalam hatinya. Saat aku tahu dia masih begitu mencintai perempuan di masa lalunya bahkan berniat menceraikanku hanya demi dia. Biar saja dia kaget, saat tahu aku bukan perempuan lemah yang begitu mencintainya. Bukan pula ibu rumah tangga biasa yang tak punya penghasilan apa-apa. Sekitar empat puluh menit aku sampai di cafe bianglala, seperti yang Mas Bian rencanakan. Mobil suamiku itu ternyata sudah parkir di sana. Kulihat jam di tangan menunjuk angka tujuh lebih tiga puluh menit. Tak terlalu terlambat menurutku. Gegas kumasuki cafe dengan mengucap Basmallah. Laki-laki itu terlihat gusar di kursi paling ujung, dekat jendela. Sesekali melihat arlojinya lalu mengusap layar ponselnya. Entah. Mungkin dia sudah mengirimiku pesan sedari tadi. Atau dia bertukar pesan dengan Irena. Ak
Malam ini, aku cukup lega sebab mampu membayar rasa sakitku pada laki-laki dan perempuan itu. Mas Bian yang sebelumnya memandangku penuh kasihan, kini berbalik aku yang memandangnya kasihan. Rencana yang dia pikir begitu spesial dan akan membuatku terkejut, kini justru dia yang kubuat kaget. Mas Bian selalu merasa paling berjasa dalam hidupku dan Irena. Dia merasa nyaris sempurna karena memberikan kehidupan sangat layak untuk keluarga kecilnya. Bahkan menganggapku sebelah mata hanya karena sebagai ibu rumah tangga. Kini aku yakin dia cukup tertohok dengan kata-kata singkat yang kuucap sebagai pamungkasnya. Aku yang ternyata memiliki penghasilan yang jauh lebih besar tanpa dia ketahui sebelumnya. Jadi, tak seharusnya dia merasa sesempurna itu sebagai seorang ayah ataupun suami, sebab dia hanya laki-laki biasa. Laki-laki yang cacat hati dan cintanya hingga tak layak mendapatkan cinta tulus yang kupunya. Mas Bian pasti masih tak percaya jika aku bisa membuatnya seperti ini. Aku yang
Seminggu sudah aku di rumah ibu dengan berbagai pertanyaannya yang sering kali menyudutkanku. Ibu tak melarangku menginap, selalu menyambutku dan Irena dengan tangan terbuka tiap kali datang. Hanya saja, ibu semakin curiga aku dan Mas Bian ada masalah sebab biasanya memang tak selama ini aku tinggal di rumah ibu. Mas Bian seringkali menjemput setelah aku menginap tiga malam, tak pernah lebih. Kecuali lebaran atau ada acara keluarga. Ibu sering bertanya ini dan itu, sementara Mas Fano lebih mengerti perasaan dan dengan segala keputusanku. Mas Fano pun berulang kali mengatakan pada ibu bahwa aku dan Mas Bian bisa menyelesaikan masalah sendiri jika memang ada yang harus diselesaikan, tapi ibu masih saja bertanya-tanya. Ibu sering kali bertanya kenapa aku tak pulang ke rumah sementara Mas Bian tak juga menjemput. Bahkan ibu sengaja menelpon Mas Bian, memintanya untuk menjemputku pulang. Padahal jelas aku bawa motor sendiri ke rumah ini.Ingin sekali aku jujur pada ibu atau mama sekara
Aku masih berusaha menenangkan debar di dadaku sendiri sebelum masuk rumah. Kulihat rekaman di ponsel masih menyala. Biar saja. Setelah mulai bisa bersikap biasa, aku pun mengucap salam. Tanpa menunggu balasan aku mengajak Budhe Desy masuk begitu saja. Terlihat jelas keterkejutan di wajah Mas Bian dan perempuan itu, tapi aku tak peduli. Seolah tak menganggap mereka ada di sana. Kuminta Budhe Desy membawa Irena ke kamarnya. Setelah itu kuantar Budhe Desy istirahat di kamarnya. Saat aku baru sampai depan kamarku, kulihat perempuan itu memanggil namaku sedikit keras lalu beranjak dari sofa."Tunggu, Nia!" Aku pun berhenti tepat di depan pintu kamar lalu membalikkan badan. Tepat dua langkah di hadapanku, Irena melipat tangannya ke dada sembari menatapku dengan seksama. Seolah tengah mengulitiku sesuai prasangkanya. "Kenapa, Ren? Aku masih sah istrinya Mas Bian loh ya. Jadi wajar pulang dan kembali tinggal di rumah ini, kecuali hakim sudah mengetukkan palu dan mengabulkan gugatanku," uc
Bakda maghrib. Kutitipkan Irena pada Budhe Desy yang masih membantuku menyiapkan makan malam di meja. Aku dan Budhe baru saja membuat opor ayam, tempe goreng dan udang goreng tepung. Menu favorit Irena dan Mas Bian. Sekalipun aku sudah menggugatnya, kuingin meninggalkannya dengan baik-baik, tetap setia hingga ketukan palu itu tiba. Terserah dia yang mulai mendua saat rumah tanggaku dengannya dalam posisi baik-baik saja.Aku akan membuatnya menyesal sudah memilih dia dibandingkan aku dan Irena juga mama. Sengaja kembali menabur cinta di detik-detik perpisahanku dengannya. Bukan karena aku ingin kembali, hanya saja agar dia kelak meraba-raba apa saja yang sudah kuberi. Hingga dia tenggelam akan penyesalannya sendiri. Aku tak tahu kemana Mas Bian pergi. Setelah tidur siang tadi, aku tak lihat Mas Bian dan perempuan itu di rumah ini. Budhe Desy pun sama saja. Tak melihat mereka sebab dia juga kuminta untuk istirahat terlebih dahulu sebelum membantuku beberes rumah. "Sayang, nanti sam