Sepanjang jalan, kucoba menyusun kalimat demi kalimat untuk membuat Mas Bian shock berat. Setidaknya agar kekagetannya sama sepertiku saat tahu ternyata dia masih menyimpan semua kenangan bersama mantannya itu dalam hatinya. Saat aku tahu dia masih begitu mencintai perempuan di masa lalunya bahkan berniat menceraikanku hanya demi dia. Biar saja dia kaget, saat tahu aku bukan perempuan lemah yang begitu mencintainya. Bukan pula ibu rumah tangga biasa yang tak punya penghasilan apa-apa. Sekitar empat puluh menit aku sampai di cafe bianglala, seperti yang Mas Bian rencanakan. Mobil suamiku itu ternyata sudah parkir di sana. Kulihat jam di tangan menunjuk angka tujuh lebih tiga puluh menit. Tak terlalu terlambat menurutku. Gegas kumasuki cafe dengan mengucap Basmallah. Laki-laki itu terlihat gusar di kursi paling ujung, dekat jendela. Sesekali melihat arlojinya lalu mengusap layar ponselnya. Entah. Mungkin dia sudah mengirimiku pesan sedari tadi. Atau dia bertukar pesan dengan Irena. Ak
Malam ini, aku cukup lega sebab mampu membayar rasa sakitku pada laki-laki dan perempuan itu. Mas Bian yang sebelumnya memandangku penuh kasihan, kini berbalik aku yang memandangnya kasihan. Rencana yang dia pikir begitu spesial dan akan membuatku terkejut, kini justru dia yang kubuat kaget. Mas Bian selalu merasa paling berjasa dalam hidupku dan Irena. Dia merasa nyaris sempurna karena memberikan kehidupan sangat layak untuk keluarga kecilnya. Bahkan menganggapku sebelah mata hanya karena sebagai ibu rumah tangga. Kini aku yakin dia cukup tertohok dengan kata-kata singkat yang kuucap sebagai pamungkasnya. Aku yang ternyata memiliki penghasilan yang jauh lebih besar tanpa dia ketahui sebelumnya. Jadi, tak seharusnya dia merasa sesempurna itu sebagai seorang ayah ataupun suami, sebab dia hanya laki-laki biasa. Laki-laki yang cacat hati dan cintanya hingga tak layak mendapatkan cinta tulus yang kupunya. Mas Bian pasti masih tak percaya jika aku bisa membuatnya seperti ini. Aku yang
Seminggu sudah aku di rumah ibu dengan berbagai pertanyaannya yang sering kali menyudutkanku. Ibu tak melarangku menginap, selalu menyambutku dan Irena dengan tangan terbuka tiap kali datang. Hanya saja, ibu semakin curiga aku dan Mas Bian ada masalah sebab biasanya memang tak selama ini aku tinggal di rumah ibu. Mas Bian seringkali menjemput setelah aku menginap tiga malam, tak pernah lebih. Kecuali lebaran atau ada acara keluarga. Ibu sering bertanya ini dan itu, sementara Mas Fano lebih mengerti perasaan dan dengan segala keputusanku. Mas Fano pun berulang kali mengatakan pada ibu bahwa aku dan Mas Bian bisa menyelesaikan masalah sendiri jika memang ada yang harus diselesaikan, tapi ibu masih saja bertanya-tanya. Ibu sering kali bertanya kenapa aku tak pulang ke rumah sementara Mas Bian tak juga menjemput. Bahkan ibu sengaja menelpon Mas Bian, memintanya untuk menjemputku pulang. Padahal jelas aku bawa motor sendiri ke rumah ini.Ingin sekali aku jujur pada ibu atau mama sekara
Aku masih berusaha menenangkan debar di dadaku sendiri sebelum masuk rumah. Kulihat rekaman di ponsel masih menyala. Biar saja. Setelah mulai bisa bersikap biasa, aku pun mengucap salam. Tanpa menunggu balasan aku mengajak Budhe Desy masuk begitu saja. Terlihat jelas keterkejutan di wajah Mas Bian dan perempuan itu, tapi aku tak peduli. Seolah tak menganggap mereka ada di sana. Kuminta Budhe Desy membawa Irena ke kamarnya. Setelah itu kuantar Budhe Desy istirahat di kamarnya. Saat aku baru sampai depan kamarku, kulihat perempuan itu memanggil namaku sedikit keras lalu beranjak dari sofa."Tunggu, Nia!" Aku pun berhenti tepat di depan pintu kamar lalu membalikkan badan. Tepat dua langkah di hadapanku, Irena melipat tangannya ke dada sembari menatapku dengan seksama. Seolah tengah mengulitiku sesuai prasangkanya. "Kenapa, Ren? Aku masih sah istrinya Mas Bian loh ya. Jadi wajar pulang dan kembali tinggal di rumah ini, kecuali hakim sudah mengetukkan palu dan mengabulkan gugatanku," uc
Bakda maghrib. Kutitipkan Irena pada Budhe Desy yang masih membantuku menyiapkan makan malam di meja. Aku dan Budhe baru saja membuat opor ayam, tempe goreng dan udang goreng tepung. Menu favorit Irena dan Mas Bian. Sekalipun aku sudah menggugatnya, kuingin meninggalkannya dengan baik-baik, tetap setia hingga ketukan palu itu tiba. Terserah dia yang mulai mendua saat rumah tanggaku dengannya dalam posisi baik-baik saja.Aku akan membuatnya menyesal sudah memilih dia dibandingkan aku dan Irena juga mama. Sengaja kembali menabur cinta di detik-detik perpisahanku dengannya. Bukan karena aku ingin kembali, hanya saja agar dia kelak meraba-raba apa saja yang sudah kuberi. Hingga dia tenggelam akan penyesalannya sendiri. Aku tak tahu kemana Mas Bian pergi. Setelah tidur siang tadi, aku tak lihat Mas Bian dan perempuan itu di rumah ini. Budhe Desy pun sama saja. Tak melihat mereka sebab dia juga kuminta untuk istirahat terlebih dahulu sebelum membantuku beberes rumah. "Sayang, nanti sam
Aku sibuk mengipasi wajah mama dan memberinya minyak angin supaya lekas sadar. Tak selang lama, mama pun membuka kedua matanya lalu menatapku lekat. Ada luka yang begitu ketara di sana.Aku yakin mama pasti sangat kesal, sedih dan kecewa melihat sikap anak semata wayangnya yang begitu mamalukan. Dia tega mengkhianati kepercayaan istri dan mamanya sendiri hanya demi seorang perempuan. Sudah berulang kali mama memintanya menjauh, tapi yang ada Mas Bian semakin dekat dan lengket saja bersama Irena. Seolah sengaja tak mengindahkan permintaan mama. Kudengar mama mendesah lalu menyandarkan dirinya ke sofa. Kupijit lengan mama perlahan dan memintanya minum air putih yang baru saja kuambilkan. Mama menurut saja, tak banyak protes maupun perlawanan. "Nia ... kenapa Bian tega melakukan ini semua pada kita? Pada mama, padamu dan pada anak semata wayangnya." Lirih kudengar mama mulai protes atas sikap Mas Bian. Tak menyangka jika anak yang begitu dia sayang itu benar-benar mengejar cinta pe
"Hallo, Bian. Kamu sampai mana? Mama sudah di rumah," tanya mama setelah sampai di depan rumah. Belum ada mobil Mas Bian di garasi, makanya mama menanyakan keberadaannya. Tak selang lama, sebuah pesan terkirim di handphone mama. "Di jalan, Ma. Sepuluh menitan lagi sampai." Kudengar suara laki-laki itu dari seberang. Mama pun mengiyakan lalu menutup ponsel dan memasukkannya kembali ke dalam tasnya. Kututup gerbang lalu menyusul mama yang sudah mencium Irena dan mengusap perlahan rambut panjang cucu kesayangannya itu. Ada kepedihan dalam sorot matanya yang sayu. "Rena, ayo masuk. Oma belikan mainan buat Rena," ucap mama kemudian sembari menggandeng tangan Irena untuk masuk ke ruang keluarga. Sempat kulihat mama dan Budhe Desy saling berkenalan lalu Budhe mulai meracik minuman ke dapur. Mungkin Budhe Desy menawarkan minuman hangat untuk mama. Kubiarkan mama dan Irena bermain di sana. Gegas masuk kamar, berniat untuk bersih-bersih wajah dan mengganti baju. Terdengar sorak sorai keg
Mama demam selama tiga hari sejak mendengar ceritaku tentang gugatan cerai itu. Ditambah kabar pernikahan siri Mas Bian membuatnya semakin sakit. Sakit di hatinya jauh lebih parah dibandingkan sakit badannya. Berulang kali mama mengucap istighfar tiap teringat sikap anak semata wayangnya yang mulai setengah gila karena cinta. Mama sering kali menatapku dengan mata berkaca lalu mengucapkan maaf lagi dan lagi. Mama merasa benar-benar gagal mendidik anak lelakinya karena tak mengikuti jejak ayahnya yang begitu setia. Pasca sembuh dari sakit, sesekali aku ke rumah mama untuk menengok dan membawakan beragam camilan atau buah kesukaannya. Aku memang harus bolak balik sebab sejak dulu mama nggak mau tinggal bersamaku dan Mas Bian di rumah. Mama ingin anaknya mandiri setelah menikah. Bahkan saat sakit pun mama tetap tak ingin tinggal bersamaku karena takut merepotkan. Kini, mama teramat kecewa melihat rumah tangga anaknya yang dia pikir nyaris sempurna ternyata menyimpan bara sampai akhirn