"Hallo, Bian. Kamu sampai mana? Mama sudah di rumah," tanya mama setelah sampai di depan rumah. Belum ada mobil Mas Bian di garasi, makanya mama menanyakan keberadaannya. Tak selang lama, sebuah pesan terkirim di handphone mama. "Di jalan, Ma. Sepuluh menitan lagi sampai." Kudengar suara laki-laki itu dari seberang. Mama pun mengiyakan lalu menutup ponsel dan memasukkannya kembali ke dalam tasnya. Kututup gerbang lalu menyusul mama yang sudah mencium Irena dan mengusap perlahan rambut panjang cucu kesayangannya itu. Ada kepedihan dalam sorot matanya yang sayu. "Rena, ayo masuk. Oma belikan mainan buat Rena," ucap mama kemudian sembari menggandeng tangan Irena untuk masuk ke ruang keluarga. Sempat kulihat mama dan Budhe Desy saling berkenalan lalu Budhe mulai meracik minuman ke dapur. Mungkin Budhe Desy menawarkan minuman hangat untuk mama. Kubiarkan mama dan Irena bermain di sana. Gegas masuk kamar, berniat untuk bersih-bersih wajah dan mengganti baju. Terdengar sorak sorai keg
Mama demam selama tiga hari sejak mendengar ceritaku tentang gugatan cerai itu. Ditambah kabar pernikahan siri Mas Bian membuatnya semakin sakit. Sakit di hatinya jauh lebih parah dibandingkan sakit badannya. Berulang kali mama mengucap istighfar tiap teringat sikap anak semata wayangnya yang mulai setengah gila karena cinta. Mama sering kali menatapku dengan mata berkaca lalu mengucapkan maaf lagi dan lagi. Mama merasa benar-benar gagal mendidik anak lelakinya karena tak mengikuti jejak ayahnya yang begitu setia. Pasca sembuh dari sakit, sesekali aku ke rumah mama untuk menengok dan membawakan beragam camilan atau buah kesukaannya. Aku memang harus bolak balik sebab sejak dulu mama nggak mau tinggal bersamaku dan Mas Bian di rumah. Mama ingin anaknya mandiri setelah menikah. Bahkan saat sakit pun mama tetap tak ingin tinggal bersamaku karena takut merepotkan. Kini, mama teramat kecewa melihat rumah tangga anaknya yang dia pikir nyaris sempurna ternyata menyimpan bara sampai akhirn
"Antar mama pulang, Bian. Biarkan perempuan itu pulang sendiri naik taksi, ojek atau apalah sesukanya!" perintah mama pada Mas Bian yang masih sibuk menenangkan istri barunya. "Tapi, Ma. Sekalian sama Irena pulangnya, ya? Nanti Bian antar Irena dulu baru antar mama sampai rumah," pinta Mas Bian kemudian. Dia menatap perempuan itu beberapa saat lalu beralih ke arah mama yang masih murka. "Mama nggak sudi semobil dengan dia," ucap mama singkat, tapi menurutku sangat menusuk hati. Mama bergeming lalu melipat tangannya ke dada seolah begitu muak dengan sikap Mas Bian yang selalu membela perempuan itu. "Kasihan Irena kalau pulang sendiri, Ma.""Itu Nia kemana-mana juga sendiri. Kamu nggak kasihan juga? Bawa anak loh dia. Sementara perempuan itu sendirian. Kok bisa tenang ya anaknya ditinggal di rumah sementara dia jalan-jalan dan berlama-lama di luar. Apa itu contoh ibu yang baik?" sindir mama lagi sembari menunjuk Irena dengan menaikkan sedikit dagunya. Mas Bian mendadak terdiam. Isak
Pov : Bian Malam semakin larut. Jarum jam menunjuk angka satu dini hari, tapi mataku belum mampu terpejam juga. Entah apa dan bagaimana perasaanku detik ini. Rasanya benak dipenuhi berbagai masalah yang tak ada habisnya. Justru semakin lama semakin sesak saja. Aku begitu menikmati pertemuanku kembali dengan Irena. Menikmati cinta yang sejak dulu kusimpan rapat dalam sudut hatiku itu dengan cara yang berbeda. Sebab statusku dan dia pun tak lagi sama. Aku tak peduli perubahan demi perubahan Dania yang semakin lama semakin ketara. Biarlah sesukanya. Lagipula, dia tak mungkin bisa berbuat apa-apa. Dia tak memiliki power apapun atas rumah tanggaku dengannya. Semua yang dia inginkan selalu aku yang memenuhi. Aku yang menyiapkan, hingga dia tinggal terima beres atas apapun yang dia butuhkan.Sepertinya dia terlalu nyaman hingga dia tak menyadari jika aku bisa saja bosan dengan semua ketergantungan dan ketidakmandiriannya. Meski pada awalnya memang aku dan mama yang memintanya menjadi ibu
"Ma ... kenapa sih mama harus ganti nama serifikat itu? Kenapa mama asal ganti aja nggak bilang aku dulu. Seharusnya mama nggak perlu bingung soal Irena karena aku pasti akan tanggungjawab padanya meskipun nanti berpisah dengan Dania. Kalau begini, sangat nggak adil buat aku, Ma. Rumah dan restoran itu jelas aku yang bangun, tanpa memakai uang Dania sepeser pun. Keenakan dia dong sekarang dapat dua aset berharga itu," protes Mas Bian saat keluar ruang sidang. "Keenakan dia gimana? Itu kan hak Irena. Keenakan perempuan itu kalau sampai aset itu jatuh ke tanganmu. Enak saja, dia datang tinggal ongkang-ongkang kaki. Mulai dari nol kalau beneran mau sama kamu. Katanya cinta setengah mati!" sindir mama lagi. "Nggak gitu juga, Ma. Ada hakku di sana. Masa buat Irena semua. Irena kan ikut Dania berarti Dania juga yang menikmatinya," protes Mas Bian lagi. "Wajarlah Dania ikut menikmati. Kan dia yang melahirkan Irena. Mempertaruhkan nyawa. Memangnya kamu, enaknya doang!" seru mama tak mau ka
|Kamu nggak akan pernah tenang tinggal di rumah itu, Dania. Karena apa? Kamu merampas hak suamiku di sana. Jadi, nikmatilah harta rampasan itu sekarang karena aku nggak akan pernah tinggal diam. Percayalah, mengambil sesuatu yang bukan hakmu hanya akan membuat hidupmu nelangsa. Kamu pikir aku akan merelakan semuanya begitu saja? Nggak, Dania. Aku pasti akan merebut semuanya darimu. Camkan itu!| Ancaman Irena beberapa hari yang lalu benar-benar terbukti. Berulang kali kulihat dari cctv rumah ada seseorang yang memperhatikan rumahku dari luar. Entah apa maunya, tapi aku yakin itu adalah tangan kanan Irena. Perempuan itu benar-benar ambisius dan ingin merampas apa yang kupunya. Tak hanya Mas Bian, ternyata dia ingin mendapatkan hartaku juga. Tak tinggal diam, aku pun berjaga-jaga dan memperingatkan Budhe Desy untuk lebih berhati-hati, takutnya dia akan mencelakai Irena atau siapapun yang dekat denganku. Untuk lapor ke mama ataupun ibu, rasanya nggak enak hati. Ibu saja masih butuh wakt
Pov : Bian "Aku datang, Irena!" teriakku dengan wajah berbinar saat memasuki teras rumah kontrakan Irena. Perempuan itu kini telah sah menjadi istri keduaku. Wajah cantik dengan mata beningnya menyembul dari pintu lalu mencium punggung tanganku seperti biasanya tiap kali kami bertemu. "Kamu beneran diusir, Mas?" tanyanya singkat lalu membawakan koper yang kupunya. "Iya. Dania benar-benar keterlaluan. Aku tak menyangka jika dia seegois itu bahkan menghalalkan segala cara demi ambisinya." Kupejamkan mata perlahan setelah menjatuhkan bobot ke sofa. Seperti biasanya, Irena pun menyeduhkan kopi untukku. "Kamu sih, Mas. Kenapa nggak cek dar dulu soal ini. Teledor," sungut Irena setelah meletakkan cangkir kopi itu ke atas meja. "Kupikir dia itu polos, Sayang. Dia kan cuma ibu rumah tangga biasa yang kerjanya ngurus rumah, mainan ponsel, iya gitu-gitu doang. Aku kira nggak bakal sempat mikir ke arah sana, ternyata dugaanku keliru. Dia cukup pintar bermain peran juga, pura-pura tak tahu
Pov : DANIA |Ma, seperti saran mama, rumah dari Mas Bian untuk Irena itu mau Nia jual. Rencananya uang itu mau buat tabungan pendidikan Irena. Untuk sementara Nia tinggal di rumah ibu, biar kalau ke toko juga agak dekat, Ma. Lagipula ibu di rumah juga cuma sama Mas Fano. Daripada sewa rumah, ibu minta Nia dan Irena tinggal di sana saja. Selain lebih hemat, ibu juga lebih tenang kalau kami tinggal di sana. Menurut mama, apa Nia harus bilang sama Mas Bian soal ini?| Kukirimkan pesan itu pada mama. Teringat kembali nasehatnya tempo hari untuk menjual atau menyewakan saja rumahnya agar Mas Bian atau mungkin perempuan itu tak terus-terusan mengusik bahkan menerorku dan Irena. |Sudah ada pembelinya belum, Nia? Atau mama tawarkan ke teman-teman mama saja? Barang kali ada yang mau buat investasi, iya, kan? Nggak usah bilang sama Bian, nanti repot. Istrinya pasti bikin ribet. Kalau dia marah, biar mama yang urus. Lagipula semua sudah atas nama Irena, jadi dia nggak bisa seenaknya sendiri|