"Ma ... kenapa sih mama harus ganti nama serifikat itu? Kenapa mama asal ganti aja nggak bilang aku dulu. Seharusnya mama nggak perlu bingung soal Irena karena aku pasti akan tanggungjawab padanya meskipun nanti berpisah dengan Dania. Kalau begini, sangat nggak adil buat aku, Ma. Rumah dan restoran itu jelas aku yang bangun, tanpa memakai uang Dania sepeser pun. Keenakan dia dong sekarang dapat dua aset berharga itu," protes Mas Bian saat keluar ruang sidang. "Keenakan dia gimana? Itu kan hak Irena. Keenakan perempuan itu kalau sampai aset itu jatuh ke tanganmu. Enak saja, dia datang tinggal ongkang-ongkang kaki. Mulai dari nol kalau beneran mau sama kamu. Katanya cinta setengah mati!" sindir mama lagi. "Nggak gitu juga, Ma. Ada hakku di sana. Masa buat Irena semua. Irena kan ikut Dania berarti Dania juga yang menikmatinya," protes Mas Bian lagi. "Wajarlah Dania ikut menikmati. Kan dia yang melahirkan Irena. Mempertaruhkan nyawa. Memangnya kamu, enaknya doang!" seru mama tak mau ka
|Kamu nggak akan pernah tenang tinggal di rumah itu, Dania. Karena apa? Kamu merampas hak suamiku di sana. Jadi, nikmatilah harta rampasan itu sekarang karena aku nggak akan pernah tinggal diam. Percayalah, mengambil sesuatu yang bukan hakmu hanya akan membuat hidupmu nelangsa. Kamu pikir aku akan merelakan semuanya begitu saja? Nggak, Dania. Aku pasti akan merebut semuanya darimu. Camkan itu!| Ancaman Irena beberapa hari yang lalu benar-benar terbukti. Berulang kali kulihat dari cctv rumah ada seseorang yang memperhatikan rumahku dari luar. Entah apa maunya, tapi aku yakin itu adalah tangan kanan Irena. Perempuan itu benar-benar ambisius dan ingin merampas apa yang kupunya. Tak hanya Mas Bian, ternyata dia ingin mendapatkan hartaku juga. Tak tinggal diam, aku pun berjaga-jaga dan memperingatkan Budhe Desy untuk lebih berhati-hati, takutnya dia akan mencelakai Irena atau siapapun yang dekat denganku. Untuk lapor ke mama ataupun ibu, rasanya nggak enak hati. Ibu saja masih butuh wakt
Pov : Bian "Aku datang, Irena!" teriakku dengan wajah berbinar saat memasuki teras rumah kontrakan Irena. Perempuan itu kini telah sah menjadi istri keduaku. Wajah cantik dengan mata beningnya menyembul dari pintu lalu mencium punggung tanganku seperti biasanya tiap kali kami bertemu. "Kamu beneran diusir, Mas?" tanyanya singkat lalu membawakan koper yang kupunya. "Iya. Dania benar-benar keterlaluan. Aku tak menyangka jika dia seegois itu bahkan menghalalkan segala cara demi ambisinya." Kupejamkan mata perlahan setelah menjatuhkan bobot ke sofa. Seperti biasanya, Irena pun menyeduhkan kopi untukku. "Kamu sih, Mas. Kenapa nggak cek dar dulu soal ini. Teledor," sungut Irena setelah meletakkan cangkir kopi itu ke atas meja. "Kupikir dia itu polos, Sayang. Dia kan cuma ibu rumah tangga biasa yang kerjanya ngurus rumah, mainan ponsel, iya gitu-gitu doang. Aku kira nggak bakal sempat mikir ke arah sana, ternyata dugaanku keliru. Dia cukup pintar bermain peran juga, pura-pura tak tahu
Pov : DANIA |Ma, seperti saran mama, rumah dari Mas Bian untuk Irena itu mau Nia jual. Rencananya uang itu mau buat tabungan pendidikan Irena. Untuk sementara Nia tinggal di rumah ibu, biar kalau ke toko juga agak dekat, Ma. Lagipula ibu di rumah juga cuma sama Mas Fano. Daripada sewa rumah, ibu minta Nia dan Irena tinggal di sana saja. Selain lebih hemat, ibu juga lebih tenang kalau kami tinggal di sana. Menurut mama, apa Nia harus bilang sama Mas Bian soal ini?| Kukirimkan pesan itu pada mama. Teringat kembali nasehatnya tempo hari untuk menjual atau menyewakan saja rumahnya agar Mas Bian atau mungkin perempuan itu tak terus-terusan mengusik bahkan menerorku dan Irena. |Sudah ada pembelinya belum, Nia? Atau mama tawarkan ke teman-teman mama saja? Barang kali ada yang mau buat investasi, iya, kan? Nggak usah bilang sama Bian, nanti repot. Istrinya pasti bikin ribet. Kalau dia marah, biar mama yang urus. Lagipula semua sudah atas nama Irena, jadi dia nggak bisa seenaknya sendiri|
Jam empat sore Mas Fano datang dengan seorang kawannya yang berencana membeli rumah ini. Namanya Mas Irham, teman kantor Mas Fano sekarang. Mas Fano sudah menjelaskan secara singkat bagaimana keadaan rumah itu, makanya dia berniat melihatnya secara langsung.Aku dan Mas Fano berboncengan naik sepeda motor, sementara dia mengikuti kami dengan mobilnya. Setelah sampai rumah, Mas Fano yang kembali menjelaskan detailnya sembari melihat-lihat ruangan yang ada. |Nia, kata mama kamu mau jual rumah itu? Kenapa harus dijual segala? Rumah itu penuh kenangan kita. Apa kamu memang nggak bisa move on dariku saat tinggal di sana?|Pesan Mas Bian benar-benar membuatku shock. Makin hari makin aneh saja ulahnya. Biasanya juga dia tak pernah peduli apapun yang kulakukan. Entah kenapa sekarang dia mendadak perhatian pakai menyebutku gagal move on segala. Teori darimana itu, menjual rumah dianggap nggak bisa move on.Bukankah seharusnya dia senang jika aku bisa melupakan semua kenangan buruk saat hidup
"Yena mau bobok di tempat Oma, Ma," ucap Irena dengan wajah penuh harap, berharap aku mengizinkannya. "Boleh, Ma?" tanyanya lagi sembari mengerjapkan kedua matanya beberapa kali. Dia terlihat begitu memohon. Tak ingin membuatnya kecewa, aku pun menganggukkan kepala lalu tersenyum tipis. Sorak sorai pun terdengar. Gadis kecil itu bahkan menari-nari seperti baleria di depanku juga di depan mama dan papanya. "Nanti kalau Yena mau pulang, Oma telpon mama, ya? Atau Oma antar pulang ke rumah nenek?" Irena menoleh ke arah Oma di sampingnya. "Diantar Oma juga bisa. Sekalian Oma mau bertemu nenek. Boleh kan Oma kangen sama neneknya Rena?" balas mama dengan senyum lebar. "Boleh dong, Oma. Nenek pasti seneng banget ketemu sama Oma." Wajah cantik itu berbinar dengan senyum lebar.Irena kembali memeluk Omanya erat. Mama pun menciumi puncak kepala cucunya. Ada kebahagiaan sendiri di wajah mama saat aku mengizinkan Irena menginap di rumahnya beberapa waktu ke depan.Tak apalah. Aku percaya pada
Hati ini mulai berdebar tak karuan saat melihat Mas Reza dan Irena berbincang di sana. Pikiran burukku pun mulai berjalan. Berbagai dugaan mulai lalu lalang di depan mata. Entah mengapa aku terlalu trauma didustai lagi, makanya kalau ada semacam ini perasaanku sudah tak menentu. Aku benar-benar khawatir ada sesuatu di antara mereka. Aku takut kisahku sebelumnya dengan Mas Bian terulang kembali. Sejak kapan mereka saling mengenal? Mungkinkah semua rayuan Mas Reza beberapa bulan belakangan hanya persekongkolan mereka saja? Mataku mulai memanas melihat mereka sepertinya cukup akrab. Terlibat obrolan yang nggak biasa. Seperti pernah ngobrol sebelumnya. Apakah mereka bekerja sama? Lagi-lagi pertanyaan itu seolah berputar di benak. Mas Reza yang mencintaiku dan Irena yang mencintai Mas Bian ... mungkinkah sengaja bersekongkol memisahkan kami? Ya Allah ... aku benar-benar takut jika itu memang rencana mereka berdua. Kedatangan Irena ke kota ini kembali, perpisahannya dengan sang suami, cu
Pov : Bian"Kenapa kamu meneror Dania, Iren?" tanyaku pada istri keduaku itu. Dia baru keluar dari kamar sembari menutup mulutnya saat menguap, sementara aku sudah menyiapkan nasi gorengku sendiri untuk sarapan. Seperti inilah tiap pagiku. Sibuk dengan menyiapkan sarapan karena Irena tak bisa diandalkan. Dia selalu bangun kesiangan bahkan shalat subuh pun kadang telat. Entah apa yang dilakukannya setiap hari di rumah karena gerak-geriknya seperti selalu kecapekan. Bahkan tak jarang mengeluh tiap malam. Nyaris lima bulan menikah dengannya, hanya beberapa kali saja dia menyiapkan sarapan. Itu pun saat awal-awal gajian, setelahnya dia mulai malas. Dia justru sering memintaku membuatkan sarapan untuknya sekalian. Lucu memang, tapi begitulah istri keduaku itu. Irena selalu bilang sudah kecapekan menemani Rizqi main seharian, sebab tak ada lagi asisten rumah tangga di sini. Aku tak tahu apakah secapek itu mengurus Rizki, padahal soal baju semua sudah di laundry. Beberes rumah pun seadany