"Aku menyesal, Bu. Kebahagiaan yang dulu kudapatkan utuh bahkan nyaris sempurna harus terganti dengan kebahagiaan semu belaka. Aku sangat menyesal dengan segala kecerobohan ini." Lagi-lagi kudengar suara Mas Bian yang sedikit serak. Dia menyeka kedua sudut matanya yang basah. Aku tak percaya Mas Bian bisa menangis juga, padahal dulu air matanya seolah begitu berharga. Tak pernah kulihat dia terluka, sekalipun melihatku hampir meregang nyawa saat melahirkan Irena sebab ketuban pecah sebelum waktunya. Sesedih itukah dia hingga membiarkan air matanya menitik di sana? Seolah sengaja memperlihatkan penyesalan dan kepedihannya di hadapanku dan ibu. Namun sayang, semenyesal apapun dia tak akan pernah membuatku luluh dan kembali. Hatiku sudah terluka, mungkin bisa sembuh tapi jelas tak hilang semuanya. Masih ada celah di sana yang nggak mungkin tertutup sempurna. Aku ingin mencari bahagiaku sendiri. Bahagia yang selama ini aku cari dan kini kutemukan lagi. "Maksudmu gimana, Bi?" tanya ib
Pov : Dania|Kamu beneran mau menikah dengan Reza, Nia? Sudah kamu pikirkan matang-matang?|Pesan dari mama kembali muncul di whatsapp. Entah sudah berapa kali mama mengirimkan pesan yang hampir sama setelah aku dan Mas Reza minta restu padanya tiga hari yang lalu. Mama sepertinya masih cukup ragu untuk melepasku pergi, padahal sudah genap setahun aku berpisah dengan Mas Bian. Tak terlalu lama pun tak terlalu sebentar. Namun aku hanya ingin mengiyakan kata hati dan istikharahku sendiri. Benar kata ibu bahwa aku juga berhak bahagia setelah sekian lama memendam segala rasa sakit dan kecewa. Ibu selalu bilang, apapun yang membuatku dan Irena bahagia maka dia akan mendukung sepenuhnya asalkan tak melanggar aturanNya. |Nia, Bian sangat shock dan kecewa dengan istrinya. Bahkan kini dia memilih tinggal di rumah mama. Mama kasihan melihatnya yang cukup frustasi. Sesekali tertawa dan menangis sendiri. Cinta dan harapannya pada Irena mungkin terlalu tinggi hingga kini dia tahu bahwa semua ha
Aku bergeming. Tak tahu harus bicara apa pada Mas Reza yang telah seserius itu menyiapkan semuanya. "Bilang saja pada mama kalau Bian sudah tahu rencana ini jauh-jauh hari. Mungkin saat ini dia memang kecewa, tapi nanti seiring berjalannya waktu dia juga akan menerima semuanya dengan lapang dada. Lagipula, dia sendiri yang memilih pergi bukan? Tak seharusnya Kamu terus yang mengalah, kamu juga berhak bahagia. Setelah halal, kita pikirkan lagi soal Bian. Bagaimana caranya agar dia kembali normal seperti sedia kala," ucap Mas Reza begitu meyakinkan."Mama bilang, Mas Bian sesekali menangis dan tertawa sendirian, Mas. Sebenarnya aku tak ingin ikut campur soal itu, toh semua juga pilihannya sendiri. Hanya saja aku nggak tega dengan Irena. Dia pasti sangat bingung jika melihat papanya seperti itu." Lagi-lagi Mas Reza menganggukkan kepala. Dia cukup tahu kondisi keluargaku dan keluarga Mas Bian. Mengerti juga akan posisinya sekarang. "Nanti aku bantu jelaskan pada mama jika kita tetap ak
Pov : DaniaAku tak paham mengapa Mas Bian datang ke acara lamaranku semalam. Dia tak bicara apapun, hanya tersenyum tipis menatapku dan Irena lalu kembali menunduk. Ikut menikmati hidangan yang tersedia dan ngobrol dengan beberapa saudara hingga akhir acara. Sempat kudengar pertanyaan ibu sebelum dia pamit pulang, tapi Mas Bian hanya menjawabnya singkat saja. Aku sempat khawatir jika dia akan mengamuk atau semacamnya, tapi ternyata tak pernah dilakukannya. Hanya saja, tatapan matanya begitu tajam ke arahku sesekali bergantian ke arah Mas Reza. Kadang membuatku sedikit ngeri melihatnya. "Ma, semalam Mas Bian datang tapi tak bilang apa-apa. Dia hanya diam saja tanpa kata, sesekali tersenyum tipis menatapku dan Irena. Apa mama yang memberitahunya soal tanggal lamaranku?" Kutelpon mama saat aku sudah sampai di toko. Jarum jam di arlojiku menunjuk angka sembilan lebih sedikit. Mungkin mama juga sudah ada di rumah konveksinya atau hanya di rumah saja menemani Mas Bian? Entahlah. "Tiga
Kisah masa laluku cukup suram saat itu. Tiap kali mengingatnya, air mata ini seolah mengalir begitu saja dari porosnya tanpa pernah kuminta. Rasa sesak kembali menjalar dalam dada saat mengingat semua perjuangan bapak dan ibu saat itu. Betapa mereka berjuang sekuat tenaga demi mencukupi kebutuhan anak-anaknya. Mereka tak kenal lelah saat bekerja demi kembali membeli rumah untuk tempat kami berteduh. Rumah sederhana pun tak apa asalkan bisa melindungi keluarga dari panas dan hujan. Rumah yang dulu begitu kami nanti dan rindukan setelah rumah sederhana sebelumnya terlalap si jago merah. Perjuangan dan semangat mereka benar-benar membuatku terharu dan bangga sampai detik ini. "Jangan menangis." Suara itu kembali menyadarkanku dari lamunan. Gegas kuseka kedua pipi yang basah. Aku menghela napas panjang mencoba menghalau rasa gundah dan isak yang mungkin sempat terdengar."Siapa yang nangis sih, Mas," balasku sekenanya. "Nggak ada yang nangis, cuma pipinya basah." Aku hanya tersenyum
Pov : DaniaDetik ini, aku kembali ke butik Alexandra setelah beberapa hari yang lalu ke sini bersama Mas Reza untuk memilih kebaya. Warna abu muda menjadi pilihan untuk akad nikah nanti sementara resepsi memakai warna putih gading. Hiasan swarovski dan bordiran tampak cantik menghiasi sisi depan kebaya. Bagian bawah menjuntai dengan ekor cukup panjang. Begitu menawan dan elegan. Ibu bilang aku akan tampak begitu cantik dengan kebaya itu di acara spesial nanti. Aku pun berharap demikian, mampu memberikan kenangan terindah dan teristimewa dalam hidupku untuk mereka yang kucinta. Tak terkecuali Mas Reza. "Gimana kebayanya, Mbak Nia? Sudah pas atau ada yang perlu dirombak lagi?" tanya Mbak Niken designer sekaligus pemilik butik Alexandra ini. Perempuan cantik itu tersenyum menatapku yang masih berdiri di depan kaca besar, mengamati tubuhku dengan kebaya putih gading itu. Rasanya cukup berbeda saat mencoba kebaya ini. Aku tak menyangka jika akhirnya bisaencoba kebaya yang akan kupakai
"Nia, jangan melamun. Berbahaya," ucap mama tiba-tiba saat melihatku sedikit oleng. Kuucap istighfar beberapa kali saat mobil ini hampir menabrak trotoar. "Iya, Ma. Maaf," balasku singkat sembari melirik Irena yang masih sibuk dengan bonekanya. Boneka baru dari Omanya di jok belakang. "Biar mama yang nyetir gimana?" tawar mama kemudian saat melihatku memijit kening. Aku pun mengangguk pelan lalu menukar tempat dengan mama. Kini mama yang pegang kendali sementara aku duduk di sebelahnya. Irena tetap di belakang dengan aneka mainan dari Omanya. "Loh itu bukannya Irena?" tanya mama kemudian saat baru memasang seat belt. Perempuan yang ditunjuk mama itu masih di seberang jalan. Duduk di kursi cafe bersama seorang laki-laki dan anak semata wayangnya. Rizqi. "Bukannya dia bilang melaporkan penculik itu ke polisi? Kenapa sekarang mereka bertemu bahkan makan siang bersama?" gumamku pada mama yang masih memperhatikan menantunya. Beberapa kali mama membidikkan kamera ke arah Irena dan lak
Pov : Dania Ponsel di tas kecilku berdering saat aku baru keluar dari mini market untuk membeli minuman dingin. Nama Om Herman muncul di layar. Sembari melangkah ke area parkir, aku menerima panggilan dari papa Mas Reza itu. Mama yang masih menunggu di dalam mobil bersama Irena pun mengambil kantong kresek di tanganku lalu memberikan susu kotak dan biskuit yang baru saja kubeli itu untuk Irena. Sementara mama sendiri membuka botol minuman dingin pesanannya. "Assalamu'alaikum, Om. Gimana kabarnya? Tumben telpon siang-siang begini," ucapku setelah menekan tombol hijau di layar untuk menerima panggilan itu. Gegas kututup pintu mobil lalu memakai seat belt. Sementara benda pipih hitam itu kuletakkan di pangkuan. "Wa'alaikumsalam, Nia. Alhamdulillah kabar Om baik-baik saja. Kamu di mana sekarang?" tanya Om Herman dengan suara parau. Seperti ada sesuatu yang dia sembunyikan."Masih di depan mini market, Om. Ada apa?" Perasaan was-was pun mulai muncul. Dada semakin berdebar menanti jawab