Mendengar pertanyaan Lukas, Edo sedikit gelagapan. Namun bukan Edo namanya kalau dia tak bisa mengelak dari cercaan Lukas. “Hei, apakah aku mengatakan bahwa kehidupan seks Remy tidak normal?” tanya Edo merasa tak bersalah. Lukas yang sudah hafal dengan kelakuan Edo hanya tersenyum masam. “Tak perlu berpura-pura lupa dengan ucapanmu sendiri Edo. Jelas-jelas kamu mengatakan bahwa kehidupan seks Remy sekarang berjalan normal. Bukankah itu artinya dia tidak normal sebelumnya?” Edo tergelak. “Aku hanya menduga, Luke. Bagaimana mungkin Remy mengumbar kehidupan seksnya pada orang lain? Sudahlah, habiskan kopimu dan pulanglah. Rumahku tak cukup cocok dengan bujang sepertimu!” ujar Edo kemudian berdiri, mengambil jas kerjanya yang ada di sampiran kursi makan dan mengenakannya dengan santai. “Aku tak mau pulang hanya untuk melihat mereka kasmaran,” jawab Lukas dengan santai, mengabaikan pengusiran yang diucapkan Edo dengan terus terang tadi. Edo tersenyum miris melihat Lukas yang kelihatan s
Suasana di sebuah ruang rawat di klinik ini terasa begitu heboh dan penuh kegugupan serta kekhawatiran yang berlebihan. Remy terlihat begitu sibuk mengemas semua barang yang kemarin terbawa ke klinik ini meskipun barang itu tak begitu diperlukan karena fasilitas di klinik sudah sangat memadai. Setelah semua barang terkemas rapi, terlihat Remy yang tersenyum lega seolah baru saja menyelesaikan sebuah proyek besar dan bernilai milyaran.Nesia yang sudah siap pulang, kini duduk di sisi ranjang rumah sakit, mengawasi Remy yang sibuk sendirian. Namun, kali ini Nesia memilih diam tanpa banyak tanya karena sejauh ini dia masih belum yakin dengan sikap penerimaan yang dilakukan Remy atas kehadiran bayi di dalam perutnya itu.Awalnya, Nesia mengira bahwa Remy akan marah besar dan menceraikan dirinya kemudian mengusirnya dari rumah itu. Dan untuk semua praduga buruk itu, Nesia bahkan sudah menyiapkan banyak rencana jika memang dia harus terusir dari rumah Remy karena kehamilannya.Tapi siapa sa
Wajah Remy dan Nesia seketika bersemu merah ketika mereka melihat siapa yang sudah membuka pintu dan menampakkan wajahnya. Tak lain dan tak bukan adalah dokter Ilham bersama seorang suster yang menjadi asisten dokter Ilham pagi ini. Apalagi ketika mereka melihat bahwa dokter dan suster itu tersenyum karena memergoki ulah Remy. “Ehem!” Remy berdehem menghadap ke arah dokter Ilham untuk menetralkan suasana yang mendadak canggung. Tak sedikit pun Remy merasa ingin memperbaiki keadaan. Dia bahkan tak menjauh dari Nesia. “Sebaiknya kamu mulai belajar menahan diri terhadap keinginan apapun pada istrimu, Remy. Kehamilannya masih sangat muda. Aku khawatir akan membahayakan kondisi janinnya.” Dokter Ilham memberikan nasehat seolah mengerti apa yang Remy rasakan. “Berapa lama, Dok?” tanya Remy yang tahu kemana arah pembicaraan dokter Ilham. Pertanyaan sigap yang diajukan Remy membuat dokter Ilham tertawa kecil. Sambil memeriksa tekanan darah Nesia, dokter Ilham tersenyum. Suster yang berada d
Senja ini hujan tiada berhenti. Semenjak pulang dari Martha Hall, Nesia memilih untuk berdiam diri di rumah sambil bersiap diri untuk menunggu kedatangan Vino dengan sedikit rasa khawatir karena hujan masih saja turun meski tidak begitu deras.Yang membuat Nesia khawatir adalah karena malam ini Vino berniat mengajak Nesia ke rumahnya untuk bertemu dengan kedua orang tuanya. Memperkenalkan bahwa Nesia adalah kekasihnya.“Bang, tapi aku khawatir jika harus ke rumahmu,” kata Nesia tadi pagi dengan nada keberatan ketika Vino mengutarakan niatnya. Ketika itu, Vino sedang menjemput kemudian mengantar Nesia menuju ke tempat kerjanya sebagai pegawai kebersihan di Martha Hall.“Nes, apa yang membuatmu khawatir?” tanya Vino sedikit tersenyum.“Aku belum siap jika mereka tidak menerima kehadiranku. Abang tahu, kan, siapa aku dan bagaimana latar belakangku?” tanya Nesia penuh permohonan.Vino tersenyum.“Abang tahu. Dan kamu juga tahu, kan, bahwa Abang tak pernah mempermasalahkan apapun mengenai
Hujan masih saja turun meski tidak sederas sore tadi. Nesia hanya duduk diam di jok depan, samping Vino yang sedang mengemudi dengan gelisah dan wajah penuh rasa bersalah. Sejujurnya Vino merasa tak enak hati karena ucapan ibunya yang begitu pedas pada Nesia. Tapi Vino juga tak bisa menyalahkan ibunya yang memang selalu memasang targetnya dengan tinggi.“Andai saja kamu tidak mengatakan bahwa kamu berasal dari panti asuhan, mungkin semua tidak akan berakhir seperti ini, Nes,” ujar Vino dengan suara rendah.Nesia terdiam. Sakit hati yang dirasakannya malah membuatnya tak bisa menangis. Hatinya kosong.“Setidaknya aku ingin sebuah hubungan yang tidak dimulai dengan kebohongan, Bang.” Nesia menjawab dengan datar. Tatapan matanya kosong menatap jalanan yang basah dan menguapkan aroma anyir.“Setidaknya kita bisa sedikit punya waktu untuk menjelaskan pelan-pelan sama ibu,” ujar Vino lagi, seolah menyalahkan kejujuran Nesia.Nesia menghembuskan napas berat.“Mungkin memang seharusnya seper
Jantung Nesia seketika berdetak menggelepar oleh rasa takut karena ancaman yang dilontarkan oleh dua laki-laki tinggi besar serupa bodyguard itu.‘Siapa dua orang ini? Mengapa dia mengancamku seperti ini? Apakah mafia-mafia yang di film itu benar-benar ada?Apa salahku sehingga harus berurusan dengan mereka?’ Nesia masih saja bertanya-tanya dalam hati. Jantungnya menggelepar, tangannya mendadak basah oleh keringat. Ketakutan semakin kuat melanda jiwanya.“Apa? Membunuh saya? Memangnya salah saya apa?” tanya Nesia keras, berharap ada yang melihatnya.Namun semua orang sepertinya sedang fokus di depan dan juga ruang karyawan sehingga tak ada yang melihat bahwa Nesia sedang dalam bahaya.“Sebaiknya Anda tidak melawan!” tegas yang satunya lagi.“Tapi, Pak?” protes Nesia. Gadis itu menggeleng tegas, menolak tekanan yang tak masuk akal ini.Namun, protes Nesia seketika berhenti ketika salah seorang dari mereka mengeluarkan pistol yang terselip di pinggangnya dan menempelkannya pada pinggang
Tak ingin melihat keterkejutan Nesia yang sangat tidak elegan itu, Remy —calon mempelai laki-laki hari ini— segera mencengkeram lengan atas Nesia dan memaksanya berjalan menuju ke aula utama Martha Hall untuk melakukan prosesi pernikahan, seperti yang dikatakan oleh laki-laki itu beberapa menit lalu.‘Pernikahan?’ tanya Nesia dalam hati dengan bingung. Dia segera mencubit lengannya sendiri hanya untuk meyakinkan dirinya bahwa dia tidak sedang berhalusinasi karena kegagalannya menjalin hubungan serius dengan Vino, tadi malam.Beberapa bridesmaid juga sudah berjajar rapi dengan pakaian seragamnya yang terlihat sangat elegan, juga beberapa laki-laki yang berseragam semuanya sudah berjajar rapi di sisi kiri dan kanan liring menuju ke aula utama.Sungguh, Nesia ingin melepaskan dirinya dari cengkeraman tangan lelaki itu. Namun, jelas itu tak mudah dilakukannya. Karena selain cengkeraman laki-laki itu begitu kuat di lengannya, juga karena adanya beberapa penjaga yang berjalan siaga di belak
Suasana terasa sangat hening ketika Nesia membuka matanya. Orientasinya masih belum pulih sepenuhnya karena rasa pening yang masih dirasakan di kepalanya. Gadis itu mengedarkan matanya dan mendapati suasana kamar yang serba hijau muda. Nesia mengumpulkan kesadaran dan ingatannya dengan susah payah dan menyadari bahwa ini bukan kamar kontrakannya yang minimalis dengan car putihnya yang mulai kelabu itu.Nesia kembali melihat-lihat. Sebuah tiang infus berikut botolnya kini menjadi fokusnya. Matanya terus menelusuri arah selang infusnya yang ternyata berujung di tangannya. Nesia terkejut.‘Selang infus? Apa yang terjadi?’ pikir Nesia masih bingung.Kemudian deheman terdengar di ruangan itu, membuat Nesia spontan mengalihkan tatapan matanya pada sumber suara. Dan di ujung ruangan ini, di sofa yang ada di sudut ruangan, Nesia melihat ada dua orang laki-laki dengan ketampanan yang sempurna saling duduk dalam jarak terukur, dan sama-sama terdiam.Nesia terkejut karena kedua laki-laki rupawan