Dengan langkah yang tergesa-gesa dan sembari membawa makanan di atas nampan kayu, Daiyun bergegas menuju kuil istana.“Guru!” panggilnya. “Guru Ma!”Biksu Agung yang sedang berdoa di depan altar sang Budha seketika menghentikan lantunan Sutra-nya.“Amitabha,” lirihnya. “Kenapa engkau tergesa-gesa seperti dikejar setan, Daiyun?”“Guru,” Daiyun dengan cepat berlutut dan meletakkan nampan berisi makanan di dekat Guru Ma, lalu menundukkan kepala. “Maafkan murid, Guru. Akan tetapi, sepertinya sedang terjadi sesuatu yang genting, Guru.”Wajah memerah seperti bayi itu mengernyit.“Daiyun,” ucapnya dengan lemah lembut. “Angkat wajahmu, dan katakan dengan jelas. Apa yang engkau maksudkan barusan?”Sang Biksu Muda menyampaikan apa yang ia saksikan beberapa saat sebelumnya pada sang guru.“Mohon Guru segera bertindak,” ucapnya di akhir kalimatnya, “untuk menyelamatkan Nona Huang dan Tuan Muda Feng.”Ia bahkan menyentuhkan dahinya ke lantai.Guru Ma menghela napas dengan tenang dan panjang, mence
“Yang Mulia,” Galang kembali membungkuk pada sang raja, “Datu-Datu sekalian,” lanjutnya, dan tatapannya berhenti pada Feng dan Huang. “Tidak ada bukti-bukti pasti yang kami dapatkan di Air Hitam jika Feng dan Huang adalah pelaku dari pembunuhan keji tersebut.”Beberapa kepala terlihat kurang senang dengan kabar yang disampaikan sang komandan. Beberapa di antara mereka saling berbisik.Dapunta Hyang berdeham sekali, dan itu cukup untuk membuat suara bergumam di ruangan besar terhenti.Semua mata kembali tertuju pada sang komandan.“Teruskan!” titah sang raja.“Ini memang sangat menyedihkan,” lanjut Galang. “Satu keluarga dibantai dengan cara paling biadab yang bisa kita pikirkan. Sayangnya, orang yang sebelumnya menuduhkan perbuatan itu terhadap Feng, tidak dapat meyakini ucapannya sendiri.”“Jelaskan!” pinta Datu Tangan Selatan.“Menurut saksi sendiri,” lanjut sang komandan. “Dia hanya melihat sekilas perawakan dari seseorang yang keluar dari pintu depan rumah korban, Datu. Dia tidak
Datu Maripualam merasa kesal pada rekannya yang satu itu.Tidak saja Datu Arrumanda telah menghentikan persidangan yang hampir usai dengan lancang, namun juga telah menantangnya tadi meskipun hanya tersirat kecil saja, juga kini dengan seolah dia mengetahui lebih baik daripada orang lain di sana akan Feng dan Huang.“Tidak usah bertele-tele, Datu,” sahut Datu Maripualam dengan tersenyum masam. “Katakan saja, agar semuanya terang benderang!”Datu Arrumanda mendengus halus seolah menahan tawa.“Benar!” ucapnya dengan lebih keras. “Aku mungkin tidak mengetahui apa-apa dengan kejadian keji di Air Hitam. Tapi tidak dengan apa yang mereka lakukan di Pulau Alai!”Degh!Feng dan Huang sama terkesiap, namun dengan cukup cerdik menyembunyikan keterkejutan mereka.Telunjuk Datu Telinga Utara terarah kasar pada keduanya, diikuti pula oleh pandangan dipenuhi selaksa pertanyaan dari yang lainnya di sana.“Pulau Alai?” ulang Dapunta Hyang seakan teringat akan satu hal.Dan Feng serta Huang masih men
“Jika Yang Mulia mengizinkan,” kata Datu Arrumanda, “maka, sekarang juga patik akan berlayar ke Pulau Alai demi mendatangkan dua saksi kunci yang mengetahui kejadian sebenarnya di Batu Limau.”Dapunta Hyang sebenarnya meyakini bahwa Feng dan Huang bukanlah seburuk dan sekeji yang dituduhkan. Dia bisa saja melepas keduanya, membebaskan mereka dari segala tuduhan.Akan tetapi, hal ini tentu menjadi bertolak belakang dengan nama besarnya yang tersohor sebagai seorang pemimpin yang adil lagi arif.“Yang Mulia?”Sementara sang raja berpikir keras, Datu Maripualam pula dan yang lainnya di sana tidak tahu harus berkata apa lagi.Komandan Galang juga demikian. Padahal, dia dan Datu Panglima sengaja untuk menyimpan kejadian di luar tembok barat agar tidak dikait-kaitkan pada Feng dan Huang.Tapi tampaknya, peristiwa yang lebih besar lagi justru muncul ke permukaan, memberatkan pasangan suami-istri muda.Tatapan sang raja bertemu pandang dengan tatapan Feng dan Huang, bergantian. Dia menghela n
Sesosok pria berlari dengan sangat cepat dengan memanggul sesuatu di bahunya. Di bawah siraman cahaya sang rembulan yang lembut, dia berlari keluar dari hutan, menuju sebuah kuil. Sebuah kuil yang lama tidak digunakan.Tanpa halangan, sang pria bebas memasuki kuil sebab pintu kuil yang telah rusak.Brugh!Pria tiga puluh tahun menjatuhkan sosok di bahunya begitu saja ke lantai kuil yang kotor dan berdebu tebal, seorang gadis sepantaran 17 tahun dengan tangan terikat ke belakang. Begitu juga dengan mulut dan kakinya.Sang gadis mengerang kesakitan, air mata mengalir deras dari pelupuk matanya. Dia hanya mampu menggumam sebab mulut yang tersumbat. Dengan wajah pucat pasi, dia mencoba untuk menjerit dan meronta.Bagaimanapun, kondisi sang gadis sangat-sangat menyedihkan dengan pakaiannya yang tak lagi utuh, dan darah yang mengalir keluar dari sela kedua pahanya, membentuk garis lebar hingga ke ujung salah satu kakinya.Meskipun malam dan kondisi di sekitar cukup gelap, namun cahaya sang
Sang gadis mengangkat pedang bergagang merahnya, menunjuk Hoaren. “Kau benar-benar seorang iblis, Hoaren!”“Ahh …” Hoaren terkekeh. “Kukira siapa, ternyata Nona Muda Huang. Ada angin apa kau malam-malam begini mendatangi tempat yang terpencil ini, hmm?”“Tadinya aku tidak percaya bahwa kau menculik anak selir senior,” balas Nona Huang, 20 tahun. “Kau membuat Kasim Utara sangat malu dan terancam hukuman berat!”“Begitu, ya?” Hoaren dengan santainya tertawa pelan sembari mengusap-usap dagunya. “Jadi, kabar telah menyebar, hah?”“Dan kau juga membunuh Guru Liu!” Sorot mata Huang seolah sepasang pedang tajam yang bersiap menebas leher Hoaren. “Kau tahu dia hanyalah seorang guru sastra. Laki-laki macam apa yang tega membunuh orang tak berdaya, hah?”“Hei, tunggu dulu!”Hoaren seperti memikirkan sesuatu. Seolah-olah, dia tidak memedulikan kemarahan yang tersirat jelas di wajah dan mimik tubuh Huang, tidak pula ucapannya.“Tidak, tidak, tidak,” lanjutnya. “Tidak mungkin orang-orang di Istana
“Ya, itu sudah pasti.” Feng menghunus pedang bergagang birunya. “Jika kau tidak dihentikan, mungkin akan ada skandal-skandal lainnya yang muncul bersamamu di negeri ini.”Hoaren terkekeh. “Sombong sekali!”“Kakak Feng,” sahut Nona Huang. “Tidak ada gunanya berbicara dengan penjahat yang satu ini!”Wuush!Nona Huang sepertinya tak lagi hendak berlama-lama mendengarkan kata-kata dari mulut Hoaren sehingga dia melesat terlebih dahulu dengan pedang bergagang merahnya.Feng hanya mendengus pelan sebelum dia pun bergerak menyerang Hoaren dari sisi yang berbeda.Hoaren tahu pasti bahwa dia tidak akan selamat jika berhadapan dengan dua sejoli yang merupakan pasangan pendekar muda yang sedang naik daun di daratan Tiongkok ini.Memutar otak di tengah situasi yang sekarang ini adalah yang terbaik dibandingkan otot, pikirnya.Dia mengentakkan satu kakinya ke lantai. Sebuah balok kecil dari puing-puing rak yang ancur melesat ke atas dan disambar oleh Hoaren, lalu dengan cepat dia memutar tubuhnya
[Disclaimer: Cerita ini hanyalah fiktif semata. Tidak ada kaitannya dengan sejarah yang sesungguhnya.]Tahun 643 Masehi, di tahun ketujuh belas kepemerintahan Kaisar Taizong sebagai kaisar generasi kedua setelah menggantikan posisi Kaisar Gaozu yang wafat dalam silsilah Dinasti Tang, Negeri Tiongkok yang besar itu mengutus seorang pendeta Budha bermarga Ma untuk mengunjungi kerajaan-kerajaan yang ada di sekitar Laut Melayu.Pada masa itu, Kekaisaran Tiongkok telah maju pesat. Terutama dalam bidang seni, sastra, kebudayaan, dan militer.Guru Ma, 50 tahun, begitu dia biasa disapa, diutus untuk mempelajari dan menerjemahkan berbagai Sutra yang tersebar di seluruh kawasan Aisa. Terutama, Asia Timur, Selatan, dan Tenggara.Di saat yang bersamaan, Istana Terlarang digemparkan dengan kematian seorang gadis yang merupakan anak dari salah seorang selir Kaisar Taizong. Pelakunya adalah bernama Hoaren, kerabat dekat seorang kasim istana yang berjuluk Kasim Utara. Hoaren memperkosa dan kemudian m