"Loh, ada tamu rupanya, mari Dokter, kita makan siang bersama." Ibu keluar dari dapur dan melihat Dokter Indra ada bersamaku. "Bapak kemana, Buk? Kok belum turun? aku merasa khawatir. "Bapak tidak enak badan Nay, mungkin kelelahan.""Kan sudah Nay bilang, jangan terlalu banyak pikiran, kalau sudah sakit begini,kan jadi repot.""Boleh saya cek keadaan Bapak, Bu?" dengan ramah Dokter Indra menawarkan bantuan. Aku mendelik ke arah Ibu, memberi kode agar Ibu tidak mengijinkannya."Tidak usah Nak Indra, Bapak biasa begitu kalau lagi banyak pikiran. Setelah istirahat dan minum vitamin juga akan langsung baikan," Ibu beralasan. "Oh, ya sudah, Bu. Saya pamit dulu, nanti kalau terjadi sesuatu, jangan sungkan untuk datang ke rumah,ya." Dokter Indra menawari dan mungkin dia mulai sadar bahwa kehadiran nya kali ini tak begitu diharapkan. Aku menarik nafas dalam-dalam, merasa lega akhirnya Dokter Indra angkat kaki juga. Kutanyakan pada Ibu, kenapa Dokter Indra selancang itu dan terkesan terla
Apakah dia bermaksud ingin mengambil hati Alta yang sudah dikotori oleh racun dari Mas Ilham dan Viona. Baru kali ini juga Mas Rafi menawari agar membawa seluruh keluargaku. Apakah kepercayaan diri nya sudah tumbuh besar, karena aku sudah menerima lamarannya. "Kenapa Mas Rafi tidak pernah mengajak keluarga Nay sebelumnya?. Apakah Mas malu mengakui keberadaan mereka?" godaku."Bukan begitu, Nay. Mas hanya tidak percaya diri jika terlalu banyak orang di sini," jawabnya gugup. Bukankah dia seorang pengusaha dan pemimpin perusahaan yang seharusnya penuh rasa percaya diri dan pandai berbicara. Aku kurang puas dengan jawaban itu. Karena terus kudesak, akhirnya Mas Rafi mengakui bahwa dia bukan tipe orang yang percaya diri dan pandai bicara. Sebab, di dalam perusahaan pun Mas Rafi dulunya bukanlah pemimpin perusahaan, namun hanya seorang pengawas yang mengawasi secara diam-diam. Untuk urusan lobi-melobi dan humas perusahaan diserahkan kepada Mas Ilham yang notabenenya memiliki rasa perca
Aku sungguh terkejut melihat pemandangan yang baru saja aku saksikan. Berulang-ulang kali meyakinkan mata ini, dan jawabannya tetaplah sama. Dari sudut manapun terlihat, meski dari kejauhan, aku tak mungkin salah. Itu memanglah mereka. Sedang apa mereka disini. Berdua, seperti pasangan muda-mudi yang baru selesai berkencan dengan menonton film romantis di bioskop. Seribu tanda tanya berkecamuk dalam pikiran. Ingin rasanya ke sana dan menghampiri mereka, tepatnya Ratna. Ya. Itu Ratna dan Dokter Indra. Aneh bukan? Mereka yang notabenenya belum saling mengenal, bisa berjalan seakrab itu. Namun, terbersit juga di hati ini, apakah ini bagian dari skenario yang Ratna rencanakan tempo hari. Cepat kurangkul tangan Alta dan Mas Rafi, sembari membawa mereka pergi. Segera menjauh dari tempat ini. Aku khawatir mas Rafi salah paham dan kembali kesal begitu melihat wajah Dokter Indra lagi, kemudian mengacaukan segalanya. "Ada apa, Nay, kok tergesa-gesa?" tanya Ibu. Mungkin Ibu merasa aneh atas
"Ratna sudah tahu Bu! Kemarin Nay sudah cerita. Tapi belum Nay undang secara resmi. Besok saja Nay mampir ke rumahnya sehabis menjemput Alta di sekolah. Tidak enak kalau mengundangnya lewat hape.""Iya, Ibu cuma mengingatkan. Takutnya kamu kelupaan." Ibu sebenarnya belum tahu kalau aku melihat Ratna dan Dokter Indra di mall tempo hari. "Oh iya Buk, kok sudah beberapa hari ini Nay tidak melihat Dokter Indra, ya?" aku mencoba mengorek informasi dari Ibu. "Oh iya juga, ya. Kok Ibu juga jadi jarang melihatnya. Apa mungkin Dokter Indra sedang piknik atau keluar kota ya, Nay." Ternyata ibu juga baru sadar kalau Dokter Indra tidak pernah terlihat lagi beberapa hari kebelakang. "Tidak mungkin, Bu. Kan kliniknya buka terus kok seperti biasa. Mungkin dia nya saja yang jarang kemari.""Setiap hari Bapak melihatnya, kok. Dokter Indra masih sering lari pagi." Bapak yang mendengar percakapan kami mencoba menimpali."Cuma Dokter Indra agak aneh sekarang." sambung Bapak lagi. Aku yang semakin pe
Sakit sebenarnya mendengar ucapan Bapak barusan. Bahwasanya Dokter Indra mencoba dan terkesan memaksaku untuk menerima lamaran darinya. Hanya untuk dijadikan seorang pengasuh. Lalu apa bedanya dia dengan Mas Ilham yang hanya ingin aku mengasuh putri semata wayangnya itu. Mungkin itu jugalah penyebab Bapak enggan membicarakannya dengan kami. Bapak merasa tidak tega jika putri satu-satunya kembali menikah dengan seorang duda. "Sudah Nay, tak usah lagi kamu beramah-tamah sama dia." Raut wajah ibu terlihat marah. . Malam ini aku mengajak Ibu untuk bicara lagi. Tentu saja setelah Alta tidur dan tidak berisik. Banyak hal yang ingin kutanyakan dan meminta pendapatnya. Bukankah sedari dulu aku memang selalu meminta bantuan orang lain, atas segala masalah yang aku hadapi. Sejak dulu, Ratna lah yang selalu berhasil memecahkan semua masalah yang sedang kuhadapi dan dialah satu-satunya orang yang paling aku percayai. Tapi sekarang, aku mulai meragukannya. Apakah dia telah
Aku masuk menuju tempat yang sudah kami janjikan. Sebuah pendopo yang letaknya berada di sebelah taman rumah sakit ini.Tamannya berada di tengah-tengah bangunan yang mewah dan bertingkat.Nyaman sebenarnya berlama-lama disini. Selain tempatnya yang teduh dan sejuk karena di tumbuhi pohon-pohon yang rindang, juga terlihat sangat indah dan eksotis.Rumah sakit ini tergolong unik menurutku. Dibangun di daerah dataran tinggi nan curam. Dengan ke piawaian tangan-tangan manusia yang handal bisa di sulap menjadi tempat yang menarik.Bangunan rumah sakit ada di dataran tinggi sebelah barat. dan taman ada di bawah di tempat yang curam. Dan disebelah timur merupakan bangunan untuk Akademi keperawatan dan kebidanan. Disanalah Ratna menimba ilmu dulunya.Untuk sampai disini, kita harus melewati gerbang utama yang terletak diatas. Terus turun kebawah melalui tangga-tangga yang sudah di bangun sedemikian rupa. Berbelok-belok bentuk tangganya.Banyak para kerabat yang menunggui pasien beristirahat da
"Terus, kamu bilang apa?""Sudah, kamu tidak usah khawatir. Pokoknya aku jamin, dia tidak akan lagi mengganggu acara lamaran kamu nanti."Syukurlah, jika semua itu bukan menjadi masalah lagi. Semua dugaanku ternyata salah. Ratna masih tetap menjadi sahabatku yang dulu. Tadinya aku sempat berpikiran yang bukan bukan, kini aku harus percaya saja kepadanya.Walaupun dalam hati masih ada yang mengganjal. Entah lupa ataukah sengaja, dia tidak menceritakan tentang mereka yang pergi berkencan tempo hari. Bukan hak ku memang untuk ikut campur. Tapi kenapa Ratna masih juga tertutup.Haruskah kuceritakan niatan Dokter Indra ingin melamarku seperti yang di ceritakan Bapak kemarin, hanya untuk mengasuh anak-anaknya saja? Apakah dia nantinya akan melamar Ratna, juga hanya untuk jadi pengasuh. Ah, entahlah. Aku jadi bingung harus mengatakannya atau tidak. ********"Sudah Nay, kamu fokus sama acara kamu saja dulu. Percayakan saja pada Ratna tentang urusan pribadinya. Nanti, kalau dia kesu
Mbak lusi terlihat sabar menjawab dan menjelaskan tentang apa yang di tanya Alta padanya. Walaupun ku tahu tak semua yang dia katakan itu benar. Tapi, bukankah lebih baik berbohong jika tujuannya untuk kebaikan bersama.Biarlah Alta akan tahu seiring berjalannya waktu. Saat dia dewasa nanti, dia bisa lebih mengerti dan memahami apa yang di rasakan dan dialami oleh orang tuanya dulu."Mama, kenapa Mama menangis?" Kulihat Mbak Lusi menyeka matanya yang berair."Mata Mama perih karena mengupas bawang, sayang." Jawab Mbak Lusi dengan lembut.Kulihat Alta menatap wajah Mbak Lusi dalam, seperti mengerti apa yang sedang dirasakan ibu kandung nya itu saat ini. Begitupun denganku, aku yang sedang menggoreng kerupuk ikut terharu melihat kedekatan mereka berdua.Kadang terasa nyeri di dalam ulu hati. Mengingat jika harus berpisah dengan Alta kelak.tapi sakit juga rasanya saat melihat Mbak Lusi yang butuh seorang teman, mengingat sekarang dia masih sendiri.Ya. Allah. Apa yang harus aku perbuat.