"Pokoknya malam ini juga kamu harus segera pergi dari rumah ini!" Ada apa ini? Kenapa Mas Indra mengusirku untuk segera pergi dari rumah yang sudah menaungiku selama delapan tahun kebelakang. Rumah BTN ini memang atas nama Mas Indra, karena ia yang menyanggupi untuk mencicil uang kredit bulanannya. Tapi apakah ia melupakan dari mana uang DP nya berasal? "Mas, Mas gak bisa begitu! Rumah ini milik kita bersama. Apa Mas lupa kalau aku juga punya andil di dalamnya?" Tentu saja aku punya hak di rumah ini! Sebelum kami menikah, aku bekerja di sebuah counter hape bersama dengan Sita. Setiap gajian aku selalu menyisihkan uang gaji dan menyimpannya dalam bentuk perhiasan. Setelah menikah, kami berdua memutuskan untuk hidup mandiri dan membeli sebuah rumah BTN bersubsidi dari pemerintahan. Saat itu, kondisi keuangan Mas Indra masih pas-pasan. Maklumlah… karyawan dengan modal ijazah SMA seperti Mas Indra harus cukup bersyukur bisa mendapatkan status sebagai karyawan biasa. Baru-baru ini
"Mas Indra, istighfar, Mas!!" Pekik Bagas saat melihat ayahnya si kembar mulai berlari keluar masuk rumah sembari melemparkan barang-barang kami. Tangannya yang tadi terkepal kuat sudah mulai melonggar dan berusaha untuk membantu memunguti barang-barang yang berserakan di lantai.Seolah-olah telinganya tersumbat, Mas Indra menulikan pendengarannya dan tak menghiraukan seruan Bagas. Ia malah semakin kesetanan dan membuang semua baju, buku pelajaran, tas, hingga sepatu anak-anak ke pelataran teras.Anak-anak hanya bisa menjerit dan menangis menyaksikan barang-barang mereka dibuang keluar rumah oleh ayahnya."Ayah, jangan buang seragam sekolah kami!!""Ayah, jangan usir kami!!"Aku hanya bisa duduk bersimpuh menyaksikan bagaimana mantan suamiku itu menggila dan memaksa kami meninggalkan rumah ini.Bagas langsung berlari dan memeluk untuk menenangkan kedua putriku yang masih berteriak histeris. Padahal mereka berdua sangat membutuhkan aku saat ini. Tapi aku… aku bahkan tidak bisa menopang
POV Mona Ratuliuer. "Mbak, baju-baju yang beli di pasar tadi pagi siapin ya. Mau ngonten nih!" Titahku pada Mbak Las, ART yang bekerja di rumah mewahku. Bukannya menjalankan perintahku, wanita berusia tiga puluh tahunan itu malah kebingungan menatapku. Emang ada yang salah? "Ini gak salah apa, Non? Biasanya Non kan ngonten belanjaan pasar seperti sayur mayur dan lauk-pauk. Kok, sekarang jadi baju-baju?" Tanya Mbak Las kebingungan. Duh, cerewet sekali sih pembantu satu ini. Tinggal kerjain apa yang disuruh majikan aja pakai nanya-nanya segala. Suka-suka gue dong, gue yang ngonten, gue yang nentuin tema kontennya. Kenapa jadi Mbak Las yang ngatur?! "Udah jangan bawel, deh! Tinggal kerjain aja apa yang tadi gue suruh, gak usah nanya-nanya lagi. Mau kalau gaji lu gue potong?" Tampang udiknya langsung mengkerut. "I-iya, Non… jangan!!" Takut juga kan kalau gajinya gak dibayar? Dengan cekatan dia langsung menyiapkan apa saja yang dibutuhkan untuk membuat sebuah video konten sebelum
POV Mona Ratulieur."Sayang, aku udah telat satu bulan nih." Ku bisikkan kata kejutan ini dengan lirih di telinga Mas Indra."Hah, apa?!"Dikasih kabar gembira bukannya senang malah melotot tak percaya."Aku hamil, Mas, usia kandunganku sudah masuk dua bulan." Kesal rasanya mendapat tanggapan kesal Mas Indra yang malah terkejut.Laki-laki itu menggeleng tak percaya. "Gak, gak mungkin, Mon! Kita ngelakuin itu cuma satu kali. Itu pun aku pakai pengaman, gak mungkin bocor."Bibir s*ksi milikku langsung manyun ke depan."Gak ada yang gak mungkin, Mas. Banyak kok kejadian pengaman bocor dan langsung jadi anak. Ini buktinya!" Ucapku sambil menunjuk ke perut yang ukurannya semakin hari semakin melebar.Tampak Mas Indra menyugar rambutnya dengan kasar. Sepertinya ia masih belum bisa terima kenyataan bahwa aku hamil anaknya."Lagipula apa salahnya sih, Mas? Mas kan sudah jadi duda, aku juga gadis lajang. Gak masalah kan kalau kita menikah segera?"Aku harus memastikan Mas Indra mau bertanggung
POV Mona Ratulieur. "Pak Doni, aku hamil!" Kedua ujung jari telunjuk tanganku menjelajah dada bidang Pak Doni saat mengatakannya. "Hah? Ap-apa? Kamu hamil?" Kedua tangan Pak Doni langsung mencengkram kedua pergelangan tanganku. Membuat aktivitasku berhenti seketika. Laki-laki yang menanam benihnya di rahimku itu terkejut mendengar kabar mengejutkan ini. Akupun sama, pada awalnya sangat terkejut. Tapi bayangan akan menjadi istri dari Pak Doni, walaupun siri, membuatku bersemangat kembali. "Iya, Mas. Sudah 3 bulan." Jawabku dengan jujur. Aku berharap semoga ia segera menikahiku dan membuatku menjadi istri keduanya. Beberapa hari yang lalu aku merasakan sakit demam dan memeriksakannya ke klinik dekat rumah. Tanpa kuduga, dokter malah memberikan vonis bahwa aku sedang hamil muda. Aku tak menyangkalnya sama sekali karena memang selama ini aku sering melakukan hubungan layaknya suami istri dengan Pak Doni di setiap ada kesempatan. "Kamu udah ngomong ke Indra belum kalau kamu mau jadi
POV Indra Laksmana. Aduh pusing kepalaku!! Makin lama hidupku semakin kacau dan berantakan. Sepertinya masalah datang silih berganti menderaku. Gak di rumah, gak di kantor, masalah selalu ada aja. Tak pernah ada habisnya! "Ndra, bagi duit dong! Ibu mau beli beras sama telur, nih." Setiap hari ibu meminta uang kepadaku, ada saja yang mau dibeli. Entah menguap kemana uang belanja bulanan yang kuberi di setiap awal bulan. Belum tengah bulan juga ibu sudah menodong isi dompetku setiap hari. Dulu saja Maya bisa cukup dengan uang bulanan sebesar satu setengah juta rupiah. Kenapa ibu yang kuberi jatah tiga juta rupiah sebulan tak pernah merasakan kecukupan? Eh, kok malah jadi keinget sama mantan. "Duit Indra udah menipis, Bu. Cuma ini sisa di dompet buat ongkos beli bensin ke kantor." Kutunjukkan isi dompet yang masih tersisa lima lembar uang kertas berwarna merah. Tak disangka tangan ibu bergerak sangat cepat dan berhasil mencomot satu lembar uang kertas berwarna merah dari dalam d
POV Indra Laksmana. Lagi pula, aku takut jika aku menolak menikahi Mona, gadis itu akan merembet kemana-mana. Dia akan mengadu dan meminta pembelaan ibuku. Bagaimanapun, Mona pandai mengambil hati keluargaku. Ia sering kali membawakan banyak buah tangan untuk bapak dan ibuku. Ia juga pandai menyanjung kedua orang tuaku yang gila pujian. Tidak seperti Maya yang kaku dan terkesan menghindari orang tuaku. "Bener ya, Mas, kita nikah secepatnya." Berkali-kali Mona mengulangi pertanyaan yang sama seolah memastikan jawaban ku tak akan berubah lagi. Aku sampai bosan sendiri mendengarnya. "Iya, iya!" Lama-lama kesel juga dicecar pertanyaan yang sama terus menerus. Dengan gaya manja Mona bergelayut pada lenganku. "Ayo sekarang kita ke mall! Udah gak sabar pengen milih cincin pernikahan," rengeknya. Aku pun menuruti keinginan Mona untuk pergi ke mall dan memilih bakal cincin pernikahan kami nanti. "Aku mau yang ini ya, Sayang!" Bertingkah seperti anak kecil, Mona menunjuk sebuah cincin
POV Raden Angga Wijaya. Dengan penuh semangat empat lima, aku melintasi jalanan ibu kota yang licin dan basah oleh guyuran gerimis. Berkali-kali wipers kunyalakan untuk mengusap tetes demi tetes rintikan hujan yang membuat buram kaca mobil depan. Terkadang sesekali tangan kiri ku menyentuh lembut sebuah pigura berukuran 4R yang didalamnya terdapat sebuah foto lawas dari keluarga yang sangat harmonis. Terlihat jelas dari senyum yang terkembang dari wajah-wajah mereka yang berada di dalam foto tersebut. Maya, akhirnya aku menemukanmu setelah tiga puluh tahun berlalu. Gumamku riang sambil mengelus lembut bingkai foto tersebut. Sesampainya di depan rumah Maya, keadaan sangat sepi sekali. Tidak ada satupun lampu penerangan yang menyala, gerbang depan dikunci dengan gembok besar, juga terlihat beberapa sampah berserakan di teras rumah. Rumah ini seperti tidak memiliki aktivitas kehidupan sama sekali. Apa mungkin Maya dan kedua anaknya sudah tertidur? Atau jangan-jangan mereka sedang pe