"Key baik-baik saja, Pak. Anda tidak perlu khawatir."
"Ya, ya, ya. Aku bisa melihatnya. Kurasa hanya denganmu dia bisa bersikap manja, dan tertawa seperti tadi, kan?" Tawanya kembali terdengar. Aku sedikit tertegun, seperti melihat Papa yang dulu aku kenal.
Papa yang dulu. Dulu sekali.
Lalu, sudah sejak kapan mereka berada di sana memperhatikan kami. Memalukan. Kulirik sekilas wajah Erik, dia tampak begitu kecewa.
Oh, good. Setidaknya aku bisa melihat hatinya hancur saat melihat aku tertawa bersama Kahfi.
"Maaf, lain kali aku akan datang membawa Key, jika anda memanggil kami."
"Baiklah. Tak apa. Aku mengerti. Aku dan Erik hanya sedang melihat-lihat tanah di sekitar sini, jadi kami putuskan untuk singgah. Kau juga membuka kedaimu saat hari Minggu, ya. Kau sangat gigih rupanya," puji pria yang menggunakan busana santai itu.
"Benar, Pak. Biasanya hari Minggu pelanggan lebih ramai yang datang. Sayang kalau tidak di
"Apa kau tidak punya pertanyaan lain, ha?" Dia melepaskan tubuhku, dan mulai menjauh.Berpindah tempat untuk duduk, dimana biasanya kami berada. Dia meletakkan bokongnya, dan menyandarkan diri dengan santai. Lalu, langsung mengeluarkan sebungkus rokok, yang kini selalu tersimpan di kantong celananya. Licik sekali dia."Kau tak ingin menjawab?" tanyaku lagi."Itu pertanyaan konyol. Aku tak mau ketularan sakit jiwa dengan menjawabnya." Dia mulai menyulut api."Baiklah! Aku juga tak mau berlama-lama bicara dengan orang yang terlampau waras sepertimu. Kurasa aku mulai nyaman hidup sendiri dengan kegilaanku.""Kau mulai lagi!"Shit!Selalu saja seperti itu. Apa sedikit pun dia tidak punya hati? Ah, tidak. Tentu saja dia punya. Tapi sayangnya, itu bukan untukku."Oke. Kurasa aku harus pergi. Ada sesuatu yang ingin kukerjakan."Aku berbalik, dan melangkah keluar."Hei, kau mau kemana?"
"Ya. Aku cemburu. Kau puas?"Oh, shit."Lalu kenapa kau tak ingin menyentuhku. Bukankah cemburu itu, artinya kau juga menginginkanku? Apa kau jijik karena kau pikir aku sering tidur dengan sembarang pria? Kau pikir aku seorang jalang, ha?""Jaga ucapanmu, Key. Kapan aku pernah menuduhmu seperti itu?" ucapnya setengah berbisik."So, why?"Dia memejamkan matanya perlahan, dan aku paham maksud dari reaksinya itu. Dia mungkin merasa lelah, dan enggan untuk berdebat dan menjawab semua pertanyaanku."Kau izinkan aku masuk ke rumah, dan tidur di kamarmu atau tidak?" Aku juga mulai menurunkan nada bicaraku.Dia melonggarkan pegangannya dari bahuku."Itu kamar kita. Masuklah."Aku menepis sentuhannya, dan bergegas masuk tanpa menoleh lagi.Brengsek kau Kahfi!Aku melempar asal tas mungil yang kujinjing tadi. Lalu menghempaskan diri ke ranjang. Tubuhku menelungkup dan membena
Angin malam kian menyapa dari sela-sela jendela. Menghampiri tubuh kami yang sudah terpangkas jarak saat ini. Cahaya dari luar juga menembus ruangan melalui ventilasi, membuat tatapan liar matanya terihat jelas.Aku bisa merasakan deru napasnya juga naik turun. Terlihat sekali bahwa dia begitu menginginkanku. Apa lagi alasannya kali ini? Mengantuk? Dia bahkan terlihat segar saat menungguku di luar tadi."Aku menunggu jawaban darimu, Fi. Malam ini, atau tidak sama sekali," tegasku, setengah berbisik."Kau mengancamku?" Hangat napasnya menyapa tepat di wajahku. Kalau bukan karena harga diri, sudah kulumat habis wajah itu."Anggap saja begitu.""Kau akan pulang?""Aku tak punya pilihan lain, Fi.""Mengundang Erik masuk ke kamar, dan menghibur luka hatimu?""Ya, mungkin saja.""Key!" Dia menekan sedikit tubuhku.Apa itu tadi? Dia marah? Karena Erik? Great! Kelihatannya dia m
Kurasakan mimik wajahnya berubah. Seperti tak menyangka kata-kata seperti itu akan keluar dari mulutku. Aku merasa seperti wanita yang berbeda. Sungguh, aku tak dapat lagi mengendalikan perasaanku. Aku benar-benar hampir gila."Jangan bercanda, Key. Kau hanya menghiburku," decihnya."Aku tak peduli. Apa yang kau pikirkan saat ini, tak lagi penting buatku. Yang kutahu, saat ini kita saling mencintai. Kau harus mengakui itu. Kau juga menginginkanku lebih dari diriku sendiri. Aku tak akan membiarkan kau lolos kali ini, Fi."Segera aku menarik wajahnya, tak peduli lagi apa yang saat ini membuatnya takut. Kami semakin terlena, dan aku sudah mengambil ancang-ancang agar ia tak lagi melepaskan aku."Kau yakin, Key?" bisiknya, di sela-sela deru napas kami."Buktikan kalau kau memang laki-laki normal, Fi. Atau kau akan kehilanganku untuk selamanya. Aku sedang mengancammu," balasku dengan desahan menggoda.Ia kembali mengecup keningk
Kurasa Erik benar-benar terkejut dengan apa yang sudah kuketahui. Meski hubungan Mamaku dan Papanya telah lama berakhir, kurasa mereka masih saling mencari informasi satu sama lain. Itulah sebabnya aku mengetahui semua masalah yang mereka hadapi."Baguslah, kalau kau tidak menyangkalnya. Aku akan katakan semuanya pada Papa. Setidaknya dia harus berhati-hati pada orang kepercayaannya selama ini.""Tunggu, Key!" Dia menarik lenganku, yang baru saja berbalik hendak melangkah."Lepaskan tanganmu, brengsek!" Aku berusaha menepiskan pegangannya. "Kau tidak punya hak menyentuhku."Dia melepaskanku, kemudian mengangkat kedua tangannya ke atas, seperti tanda menyerah."Tolong rahasiakan hal ini, Key. Aku tak ingin Papamu salah paham," pintanya."Salah paham? Jadi kau mengakui bahwa kalian merencanakan sesuatu?""Demi Tuhan, Key. Aku tidak akan mungkin melakukan itu.""Kau pikir aku percaya?" Aku berdecih.
Oh, good. Suasana makan malam masih saja terasa kaku. Entah, mungkin karena aku tak terbiasa makan bersama mereka. Saat masih tinggal di rumah ini pun, aku lebih banyak menghabiskan waktu di luar, namun tetap harus pulang apa pun yang terjadi.Ya, itulah Papaku. Papa yang sudah tak kukenal lagi sejak bertahun-tahun yang lalu. Kata Mama, dia membenciku karena wajah dan sikapku mirip Mama. Tapi menurutku, akulah yang lebih membencinya.Aku benci situasi ini, dimana Erik dan Elena harus duduk di hadapan aku dan juga Kahfi. Sedang Mama mereka, duduk manis di sampingku. Rasanya ingin sekali mengeluarkan makanan yang baru saja masuk ke perut, melihat situasi keluarga kami yang aneh ini."Apa kalian tidak berbulan madu, Key?" ucap wanita itu dengan mulut manis, seperti biasanya.I dont know. Kurasa otaknya sudah bebal. Dia terus berbicara padaku, meski aku tak pernah menjawabnya. Apa dia tidak punya malu? Tak ada gunanya menjilatku. Toh P
Kami kembali melakukan sarapan bersama. Kali ini suasana hatiku cukup membaik. Setidaknya, aku sudah punya cara untuk mengawasi perusahaan Papa, dan juga kisah tadi malam bersama Kahfi tentunya. Uh, manisnya.Yah, walaupun untuk saat ini, aku tak tahu apa yang akan kulakukan nanti sesampainya di sana. Aku cukup pusing memikirkan pekerjaan yang tidak ada sangkut pautnya dengan keahlianku. Berfoto, dan hanya bisa menarik perhatian orang. Tapi setidaknya, aku punya alasan untuk selalu datang ke hotel, tanpa perlu mengendap-endap lagi.Wajah Elena masih tetap sama. Masih saja tegang dan sangat sinis terhadapku. Kalau aku jadi dia, mungkin aku tak akan turun untuk berkumpul seperti ini lagi. Dasar penjilat. Dia hanya ingin terlihat baik di hadapan Papa, hingga menebalkan muka untuk tetap hadir dan berkumpul bersama setelah semua yang terjadi.Secara bergantian aku terus melirik ke arah dia dan Erik. Berusaha membaca mimik wajah mereka tentang keputu
"Lepaskan aku bajingan!" Aku masih berusaha melepaskan diri dari cengkramannya."Berhenti menyiksaku, Key. Aku mohon. Hentikan semua ini. Lepaskan Kahfi, dan kita kelola perusahaan bersama. Kau hanya akan membuat malu Kahfi. Dia tidak tahu apapun tentang itu perusahaan sebesar itu." Suaranya terdengar parau."Oh, ya?" Aku semakin menantang. "Kita lihat saja nanti. Siapa yang akan dengan cepat menarik perhatian Papa. Anak tiri, atau menantu laki-lakinya!""Kau benar-benar berubah, Key. Semakin lama kau semakin keterlaluan. Kau bukan seperti Key-ku yang dulu.""Sorry, Erik. Aku memang tak pernah menjadi milikmu, walau hanya sebentar. Jadi, hentikan semua mimpi konyolmu itu. Aku, ataupun harta Papa, tak akan pernah jatuh ke tanganmu."Dia terdiam. Melonggarkan pegangannya. Aku jadi punya kesempatan untuk melepaskan diri, tanpa ditahan lagi olehnya. Aku bergegas mendorong tubuh tinggi kekar itu menjauh, kemudian membuka pintu yang berada te