"Kamu mau kemana, Han?" Sore itu Mas Reyfan yang baru saja memarkirkan mobilnya di halaman rumah, nampak panik bukan main melihatku, Keenan, dan Mbok Jum sudah bersiap-siap akan pergi dengan beberapa koper yang sudah kami seret ke teras. "Apa-apaan ini? Kalian mau kemana?" Mbok Jum yang melihat Mas Reyfan marah, langsung menggendong Keenan, mengajaknya masuk. Sementara aku mengajak Mas Reyfan duduk di kursi teras setelah menghela nafas panjang mempersiapkan apa yang akan kukatakan padanya. "Aku akan pindah sementara ke rumah Bapak, Mas." "Apa? Tidak boleh! Aku tidak mengijinkanmu, Han." Mas Reyfan bertambah panik. Wajahnya merah bersemu marah mendengar ucapanku. "Tapi ini demi keselamatanku dan Keenan. Kamu nggak mau aku atau Keenan celaka karena ulah ibu atau adikmu 'kan? Kamu lihat sendiri kan Mas apa yang mereka lakukan padaku kemarin?" Aku mencoba mengingatkannya. "Mereka tidak akan bisa berbuat itu lagi. Ada aku, Hani. Aku yang akan melindungi
Adam mengajakku melihat tempat yang akan kami sewa. Dari sekian banyak tempat yang sudah kami kunjungi, sepertinya tempat terakhir yang paling cocok untukku. Lokasinya strategis di pinggir jalan yang tidak terlalu ramai, ruangan utamanya di lantai bawah juga sangat luas bisa digunakan untuk melakukan banyak pekerjaan jika nanti usaha kami maju. Sedangkan di lantai atas, terdapat 3 buah kamar tidur, kamar mandi, dapur dan sebuah ruang lagi yang cukup besar untuk dijadikan ruang tamu dan dan ruang bersantai. "Kalau rumah ini kujadikan tempat tinggal saja gimana menurutmu, Dam?" "Tempat tinggal? Maksudnya?" "Ya tempat tinggal. Jadi aku sekalian tinggal disini, di lantai atas. Sementara lantai bawah buat kantor. Jadi nggak harus bolak balik ke rumah bapak. Lebih hemat waktu dan tenaga 'kan?" Mataku berbinar menatap Adam. Dan dia memicingkan matanya ke arahku. "Ide yang bagus, sepakat," katanya sambil menjabat tanganku. Lalu kembali memasukkan kedua tangannya lagi
"Senyum, Sayang!" perintahku pada Keenan. Anak itu segera saja memamerkan gigi-gigi kecilnya yang berderet rapi, dan .. 'Klik' Jadilah foto kami berdua yang sedang tersenyum manis menatap ke arah kamera dengan kepala saling berdempetan. Keenan, anak lelakiku ini memang sangat tampan. Dia mewarisi senyum manis papanya dan mata beningnya membuat wajahnya semakin terlihat cerah. Ditambah lagi rambutnya yang hitam legam dan lebat membuat kulitnya semakin terlihat bersih. Aku dan Keenan sedang berada di dalam kamar malam itu, berselfie ria sebelum tidur. Keenan terlihat puas memandangi foto dirinya di ponsel. Jam baru menunjuk pukul 8 saat kami merebahkan diri di atas ranjang tadi. "Keenan!" teriak ibu dari luar kamar. Mendengar panggilan eyangnya, segera saja anak itu lari tunggang langgang keluar kamar. Sebelum tidur adalah jadwal ibuku memanjakan Keenan dengan suapan susu hangat. Aku tersenyum melihat tubuh kecilnya yang berlari tanpa menoleh lagi ke arahku.
Daniel mengajakku makan siang di rumahnya. Dan ini benar-benar membuatku sangat kaget. Kupikir tadi kami hanya akan makan siang di restoran seperti yang dilakukan orang-orang pada umumnya. Aku dan Adam juga sering makan bareng. Tapi dia lebih suka mengajakku ke restoran, bukan di rumahnya seperti ini. Sedikit kikuk saat Tasya, putri Daniel itu memperlakukanku dengan sangat akrab. Setelah berkenalan, dia bahkan tidak segan menggandeng tanganku untuk masuk ke rumah. Dan seorang perempuan paruh baya bernama Bi' Marni menyambut kami di ruang tamu dengan ramah. Ternyata wanita itu pun telah menyiapkan makan siang untuk kami. Menu yang menurutku terlalu special untuk ukuran makan di rumah. "Maaf ya Bi', saya jadi merepotkan," kataku dengan nada tak enak pada perempuan paruh baya yang kulihat begitu menyayangi putri Daniel itu. "Tidak merepotkan, Bu. Saya justru senang Pak Daniel mengajak ibu kesini." Cara bicara perempuan itu sangat sopan, mengingatkanku pada Mbok Jum.
Seminggu setelah itu, aku sudah pindah menempati kontrakan yang akan kujadikan tempat bisnis dan tempat tinggal itu. Ibu sebenarnya berat melepaskanku tinggal berpisah darinya, tapi aku tak ingin selamanya bergantung pada orang tuaku. Aku pindah bersama Keenan dan Mbok Jum. Dua hari berikutnya setelah kami pindah, sudah ada dua orang karyawan yang berhasil direkrut Adam sebelumnya sebagai admin untuk bisnis kami. Mereka gadis-gadis muda fresh graduate bernama Santi dan Hera. Adam ternyata memang memiliki selera yang bagus. Gadis-gadis ini cantik seperti rata-rata karyawan wanita yang bekerja di kantornya. Aku menggoda Adam saat dia sedang sibuk mengajarkan job description pada dua gadis cantik itu. Kulihat keduanya memang seperti punya ketertarikan dengan Adam. "Apa senyum-senyum gitu?" tanya Adam berbisik saat kembali ke kursi kerjanya disampingku. "Apa? Nggak papa kok. Memangnya senyum dilarang?" kataku sewot. "Nggak, tapi senyummu aneh dan menyebalkan,"
Beberapa hari setelah pertemuan kami, Daniel tak pernah lagi mengirimiku pesan seperti biasanya. Mungkin dia memang benar-benar marah padaku. Bahkan dia melupakan janjinya sendiri waktu itu yang katanya akan menjemputku dan Keenan untuk liburan bersama Tasya, putrinya. Dan anehnya, aku justru merasa kehilangan perhatiannya yang walau terkesan sangat kaku itu. "Kamu lihat kan tadi, San? Nggak mungkin deh aku salah lihat. Dia melihat terus kesini." "Masa' sih? Tapi aku belum yakin, Her." Aku tersadar dari lamunanku tentang Daniel saat mendengar bisik-bisik dari kedua karyawanku yang sedang duduk di meja kerja mereka masing-masing. "Ada apa?" tanyaku penasaran. Keduanya nampak saling pandang sebelum akhirnya Santi berbicara. "Ini Mbak, masa' kata Hera dia melihat ada orang yang mengawasi rumah ini. Katanya melihat orang itu terus disekitaran sini beberapa hari ini." Dahiku berkerut. Ada yang mengawasi rumah ini? Apa itu Irwan? "Bagaimana ciri-ciri orang
P.O.V Adam Saat menerima telepon dari Hani hari itu dan dia tidak merespon candaanku, aku sudah tahu ada yang telah terjadi padanya. Apalagi saat dia berkata sedang membutuhkan uang dengan nominal yang cukup besar. Aku semakin yakin sesuatu sedang terjadi pada belahan jiwa yang belum sempat kumiliki itu. Segera kututup sambungan telpon darinya untuk segera menghubungi sahabatku. Daniel, pasti bisa membantu. Karena dia memang orang yang selalu bisa dalam hal seperti ini. Namun ada hal yang membuatku sangat kaget saat kuceritakan kecurigaanku tentang Hani pada Daniel. Daniel justru berkata dia sudah tahu semuanya. Hani sudah pernah menghubunginya beberapa hari yang lalu dan menceritakan bahwa dirinya mendapat ancaman dari seseorang. Hani? Menghubungi Daniel? Kenapa dia tidak menghubungiku jika memang ada masalah? Apa yang terjadi pada Haniku? Apa ada sesuatu yang tidak aku tahu diantara mereka berdua? Yang membuatku juga terkejut adalah bahwa Daniel juga sudah t
P.O.V Daniel Sepulang dari rumah Hani, aku melajukan mobilku bagai kesetanan menuju arena tembak tempatku sering melakukan latihan. Kuparkir mobilku asal asalan di pelataran dan bergegas menuju ruang ganti. Entah sudah berapa banyak sasaran yang berhasil kuhancurkan kali ini, tapi rasanya aku belum juga puas. Debaran jantungku sudah semakin menggila, mataku pun sepertinya semakin berkabut. Entah apa ini, tapi aku tidak mungkin menangis karena aku tidak pernah diajarkan untuk menangis selama ini. Saat rasa kesalku sudah tidak bisa lagi kuredam, kubanting senapan yang sudah tanpa isi itu ke lantai hingga menimbulkan bunyi yang sangat memekakkan telinga. Senior yang juga instrukturku menghampiri dengan wajah dinginnya seperti biasa. Dan saat sampai di depanku, dia mengulurkan sebotol air mineral tanggung yang tadi diambilnya dari lemari pendingin. "Ada apa? Soal wanita lagi?" tanyanya sambil memungut senapan yang baru saja kubuang itu. Tidak, dia bukan seda